Kebijakan Import Beras, Kebijakan Menyakitkan Petani


Oleh: Hamnah B. Lin

Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah menjelang panen raya mendapatkan penolakan keras dari para petani. Pasalnya, hal tersebut membuat harga gabah di tingkat petani anjlok. Penolakan terhadap kebijakan impor beras dilakukan Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Partai Buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Jumat pagi (19/1/2024). 

Dalam aksinya, SPI mendesak pemerintah untuk stop impor beras. Ketua Departemen Bidang Politik dan Hukum SPI, Angga Hermanda, menyampaikan, dalih pemerintah mendatangkan beras dari luar negeri akibat adanya fenomena El Nino hingga penurunan produksi tidak dapat diterima oleh para petani. “Sesungguhnya di lapangan kita petani tetap memanen dan harga kita sedang bagus-bagusnya. Gabah [kering panen] kita di kisaran Rp7.000-Rp8.600 [per kilogram],” kata Angga kepada awak media, Jumat (19/1/2024). (Bisnis.com, 20/02/2024).

Sebagaimana yang disampaikan oleh Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa rencana impor beras sebanyak tiga juta ton pada tahun 2024 ini telah diputuskan sejak Februari 2023 lalu. Satu juta ton dari India, dua juta ton dari Thailand. Upaya impor beras tersebut ditempuh untuk mengamankan cadangan pangan nasional.

Sedangkan menurut peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian, keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai dengan data. Pasalnya, kebutuhan awal 2024 masih dapat dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Per Desember 2023, stok Bulog masih 1,6 juta ton, di ID Food kurang lebih 2 juta ton, dan di level daerah ada 6,7 juta. Artinya, stok beras awal tahun masih di atas 10 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional per bulan berkisar hingga 2,5 juta ton. (CNN Indonesia, 10-10-2024).

Jika mengutip data dari BPS, pada 2022 produksi beras nasional 31, 54 juta ton, sedangkan konsumsi hanya 30,2 juta ton. Begitu pun 2023, produksi beras 30,9 juta ton, sedangkan konsumsi hanya 30 juta ton. Artinya, tahun-tahun sebelumnya pun, jika tidak impor, ketersediaan beras dalam negeri terpenuhi. Apalagi 2024 diprediksi produksi beras akan naik dengan alasan yang sudah disebutkan di atas.

Lalu jika alasan impor adalah karena cadangan beras harus 20% dari kebutuhan nasional, bukankah itu sudah terpenuhi sebenarnya? Mengapa penguasa tidak mendengar jeritan petani, mengapa penguasa tiada pernah berpihak pada rakyatnya sendiri. 

Jika melihat data stok beras sebenarnya terpenuhi, sedangkan banyak rakyat yang belum bisa mengakses beras, maka tuduhan pemerintah bahwa produksi petani menurun adalah fitnah, akar masalahnya sebenarnya ada pada pengaturan stok dan distribusi. 

Beras sebagai kebutuhan pokok rakyat nyatanya telah 90% dikuasai oleh swasta, jika swasta yang menguasai pasti tingginya profit yang menjadi tujuan. Maka siapa yang memiliki modal besar dialah yang akan menguasai beras. Inilah sistem kapitalis yang menjadi aturannya. Penguasa hanya sebagai penyalur, pemilik dan penentu harga ada ditangan swasta. 

Jumlah penduduk yang besar jika dikelola dengan baik, tentu akan meningkatkan produktivitas. Akan banyak SDM yang siap memproduksi beras. Sayangnya, berbagai kebijakan kontraproduktif terhadap swasembada pangan malah terus ditetapkan. Misalnya saja kebijakan konversi lahan pertanian yang kian deras.

Para petani kehilangan sawah-sawah mereka karena lahannya dialihfungsikan untuk pembangunan industri. Saprotan (benih, pestisida, pupuk, dsb.) makin dikuasai swasta. Alhasil, insentif para petani makin kecil sehingga profesi petani dianggap profesi yang melekat dengan kemiskinan.

Hal ini sungguh sangat jauh berbeda jika sistem Islam diterapkan dalam waktu dekat ini. Dalam Islam penguasa harus benar-benar memastikan setiap warganya dapat mengakses pangan sehingga perangkat negara dari pusat hingga level RT akan bersinergi untuk memenuhi seluruh hak warga. Jika ada warga yang tidak sanggup membeli beras, santunan akan terus diberikan hingga mereka sanggup memenuhinya sendiri.

Kedua, swasembada pangan dilakukan semata untuk terpenuhinya kebutuhan umat. Dalam kondisi tertentu, seperti paceklik atau bencana alam atau lainnya yang menyebabkan stok pangan berkurang, kebijakan impor boleh diambil dengan ketentuan syariat terkait dengan perdagangan luar negeri.

Ketiga, syariat Islam mengganjar pahala yang besar pada orang yang dapat menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat). “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia akan mendapatkan pahala padanya. Dan apa yang dimakan oleh ‘awafi, maka ia adalah sedekah baginya.” (HR Ad-Darimi dan Ahmad).

Syariat Islam pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya.

Keempat, intensifikasi pertanian, misalnya dengan penggunaan alat pertanian berteknologi canggih hasil karya dalam negeri. 

Kelima, penelitian untuk menghasilkan bibit unggul dan alat-alat pertanian modern. 

Keenam, bantuan pupuk, benih, dan saprotan lainnya.

Ketujuh, memastikan tidak ada gangguan dalam pasar, seperti monopoli, penimbunan, dan penipuan.

Langkah - langkah ini akan bisa terlaksana tatkala negara yang menerapkan sistem Islam yakni khilafah Islamiyah tegak di penjuru dunia. 

Wallahu a'lam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar