Oleh: Liza Khairina
Kerapan sapi yang bertajuk Piala Bupati Sumenep yang digelar di lapangan Bluto, Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep diwarnai adanya perjudian. Hal itu terang-terangan di depan garis start sebelum sapi dilepas meskipun di sekitarnya banyak petugas dari anggota TNI dan POLRI. Bahkan salah satu pengunjung merasa tidak nyaman dengan praktik perjudian dalam kerapan sapi itu, sebab telah menciderai budaya Madura. Pihaknya berharap kepada Kapolres Sumenep untuk menangkap para pelaku perjudian tersebut. (Sabtu 06 januari 2024, seputarjatim.com)
Even besar dengan latar belakang budaya, tidak ada yang salah pada realisasinya. Tapi yang membuat resah ketika even itu menjadi ajang untuk bermaksiat kepada Allah swt dan tidak mengindahkan norma-norma masyarakat yang sudah melekat sejak turun temurun. Budaya kerapan sapi yang tidak lebih adalah simbol kebanggaan masyarakat Madura dan ajang hiburan yang sedikit memberi ruang relaksasi bagi masyarakat untuk silaturahim dengan kegemaran yang sama, telah menyulap perhatian publik untuk senantiasa melestarikannya. Hanya, ketika ajang itu sudah tercemari dengan di dalamnya terjadi praktik yang merusak, yaitu perjudian (baca: taruhan). Tentu itu sangat kita sayangkan. Apalagi dilakukan dengan terang-terangan di hadapan khalayak dan petugas keamanan.
Bukankah ini menunjukkan bagaimana sistem masyarakat yang sudah makin tipis memegang nilai-nilai luhur agama dan bangsa. Sistem menjadi lemah pertahanannya tanpa sangsi yang tegas, membiarkan masyarakat semaunya asal tidak ada yang merasa dirugikan karena dilakukan suka sama suka. Hal itupun dipayungi dengan undang-undang negeri ini yang memberikan tempat bagi para pemain judi dengan ketentuan sesuai Undang-Undang Penertiban Perjudian yaitu Pasal 303 KUHP tentang pidana bagi pelaku judi bisa hilang jika ada izin dari pihak yang berwenang. Artinya, aktivitas perjudian itu menjadi legal dan sah. Astaghfirullahal 'adhiim.
Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan. Selain akan merusak tatanan masyarakat, juga akan merusak aqidah umat Islam yang seharusnya terikat penuh dengan perintah dan larangan Allah swt. Inilah potret buah kapitalisme sekuler yang diagung-agungkan oleh sebagian umat Islam, ketika persoalan agama hanya dicukupkan pada ruang pribadi masing-masing umat. Sedangkan pada ruang publik seperti sosial budaya, ekonomi, pemerintahan dan lain-lainnya malah berkiblat pada cara pandang dan perilaku Barat yang menjadikan kebebasan sebagai standar berpikir dan berbuat. Sungguh, hukum yang berlaku di tengah masyarakat kita hari ini telah secara terang dan jelas tidak menyelamatkan urusan dunia umat, juga akhiratnya.
Berbeda dengan sistem Islam kaffah yang secara tegas memberi rambu-rambu agar masyarakat tidak terjebak pada praktik yang terlarang. Praktik yang sudah ditetapkan oleh syariat sebagai sesuatu yang haram. Dalam Alquran surat al-Maidah ayat 90, Allah swt berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."
Praktik judi ini bagian dari kebiasaan orang-orang jahiliah sebelum Islam datang. Baik itu sebagai permainan maupun sebagai upaya untuk mendapatkan mata pencaharian. Namun ketika Islam datang, agama ini melihat praktik judi sebagai praktik yang memudharatkan, bahkan melahirkan banyak keburukan di tengah-tengah masyarakat. Seperti berangan kaya tanpa bekerja, melakukan tindak kriminal ketika butuh uang untuk ronde berikutnya dan lain-lain yang menyebabkan individu dan masyarakat resah. Karenanya, dalam sistem kepemimpinan Islam harus ada upaya edukasi umat terkait perintah dan larangan Allah swt dalam menjalani kehidupan, juga pelaksanaan aturan Islam kaffah oleh negara. Termasuk dalam hal ini keharaman judi yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat, sebagai upaya menjaga keseimbangan sosial masyarakat agar tetap kondusif.
Karena itu, keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan di sini. Ada keluarga yang harus menumbuhkan pemahaman Islam secara kaffah di antara anggota keluarganya. Kemudian kontrol antar masyarakat yang sangat mendukung dengan amar makruf nahi mungkar. Lebih-lebih adalah negara dengan seperangkat aturannya yang akan membuat suasana bertambah baik, aturan yang berasal dari Sang Pencipta yang tentu lebih tahu yang terbaik bagi hambaNya.
Tidak ketinggalan pula adanya sangsi tegas bagi pelaku judi yang menjadikan jera berupa ta'zir (sangsi yang ditentukan oleh khalifah), agar kemudian beralih pada kegiatan lainnya dengan kesadaran akan hubungannya dengan Allah swt (takwa). Semua itu hanya akan terwujud dalam negara yang menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan berperilaku. Yakni negara khilafah yang berasaskan aqidah Islam. Seni dan budaya yang menjadi wahana silaturahim umat akan benar-benar berjalan sesuai syariat tanpa rasa khawatir umat terjebak dalam maksiat, insyaAllah.
Wallahu a'lam.[]
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar