Khilafah Adalah Ajaran IsIam


Oleh : Suharni

Narasi kebangkitan khilafah kembali lalu lalang di media sosial, bersamaan dengan peringatan 100 tahun runtuhnya khilafah Utsmaniyah di Turki. Menggunakan tajuk kebangkitan khilafah, optimisme yang dibangun oleh para pendukung khilafah tampak semu dan inkomprehensif.


Coba Mengurai Narasi

Pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf, M.A., mencoba mengurai narasi yang kembali mencuat mengenai kemungkinan kembalinya khilafah setelah 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah.

Dalam era informasi saat ini, narasi-narasi seputar kebangkitan khilafah kembali mencuat ke permukaan. Sejak 1924, ketika khilafah Utsmaniyah runtuh, sekarang, pada tahun 2024, beberapa kalangan mengklaim bahwa kembalinya khilafah akan menjadi kenyataan. Sejauh ini, klaim-klaim kebangkitan khilafah tidak pernah merujuk pada satu bentuk atau model yang pasti. Apakah yang bangkit nanti akan seperti khilafah di zaman Dinasti Utsmaniyah, atau seperti apa?” kata Iqbal Ahnaf, Rabu (10/1/2024).


Hadapi Dengan Kehati-hatian

Dirinya menjelaskan bahwa klaim mengenai 100 tahun sebagai panduan waktu kembalinya khilafah harus dihadapi dengan kehati-hatian. Perkara mengenai masa depan, termasuk tanda-tanda hari kiamat dan kemungkinan kembalinya khilafah, adalah rahasia Allah.

Klaim yang spesifik terkait waktu, apalagi dengan percaya dirinya menyebutkan angka 100 tahun, menurut Iqbal, seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.


Tidak Menunjukkan Indikasi Keberhasilan

Dari segi empiris, Iqbal mengungkapkan bahwa perjuangan kelompok Hizbut Tahrir untuk menegakkan Islam dan khilafah sampai saat ini tidak menunjukkan indikasi keberhasilan. Meskipun terdapat upaya kudeta di beberapa negara, tidak sesuai dgn harapan  kelompok tersebut. 

"Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan sebagai semacam panacea atau obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya jelas menggiurkan bagi beberapa masyarakat.” tambahnya.

Ia menambahkan bahwa ada dua jenis tawaran yang dibawa oleh pengusung khilafah. Pertama, adanya tawaran berupa ide atau gagasan khilafah itu sendiri. Kedua, adanya support system, baik moral ataupun material, terhadap mereka yang termarjinalkan.


Tawaran Gagasan Kurang Kuat

Hal ini memudahkan tergodanya masyarakat dengan tawaran-tawaran berikutnya. Namun jika yang ditawarkan hanya gagasan, maka tawaran tersebut menjadi kurang kuat dan sangat terbatas untuk mempengaruhi orang lain.

Dirinya berpendapat bahwa tawaran khilafah sebagai solusi cenderung bersifat teoritis, dan kelompok termarjinalkan lebih membutuhkan dukungan nyata untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia menekankan pentingnya memberikan solusi konkret yang dapat memperbaiki situasi mereka, bukan hanya ideologi tanpa dukungan nyata.

Iqbal pun menyinggung perihal hubungan narasi kembalinya khilafah dengan Pemilu 2024. Ia melihat, meskipun narasi tersebut akan ada yang memperbincangkan, dampaknya tidak sebesar pada Pemilu 2019.

Pada tahun 2019, pembelahan berbasis agama terasa cukup kuat karena diperparah dengan narasi-narasi keagamaan yang digunakan untuk kepentingan politik. Namun, pada 2024, polarisasi tersebut tampaknya tidak sekuat sebelumnya.


Dasar Pancasila

Iqbal menekankan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia dijalankan dengan dasar Pancasila yang melibatkan konsensus para ulama. Dibandingkan dengan khilafah yang tidak jelas wujudnya, demokrasi di Indonesia adalah upaya yang nyata untuk mengamalkan syariah.

Meskipun harus diakui bahwa sistem demokrasi Indonesia saat ini masih memiliki kelemahan, alternatif yang tersedia tidak serta-merta lebih baik. Sebagai warga negara, partisipasi dalam demokrasi adalah kesepakatan bersama untuk melindungi hak-hak sipil dan beragama bagi semua warga Indonesia,” jelas Iqbal.

Mengakhiri keterangannya, Iqbal mengimbau agar semua dapat berpartisipasi untuk menumbuhkan nasionalisme dan budaya berpikir kritis di masyarakat. Ini semua diperlukan agar rakyat Indonesia tidak mudah terprovokasi oleh narasi kembalinya khilafah.

"Saya mengajak kita semua untuk fokus memastikan terjaminnya hak-hak beragama orang Indonesia dalam kerangka demokrasi yang sudah ada. Demokrasi di Indonesia, dengan konsensus para ulama, adalah suatu kesepakatan yang harus diisi dengan usaha nyata untuk mendorong kemajuan masyarakat", jelas Iqbal Ahnat. 


Bagaimana Memahami Khilafah. 

Khilafah adalah ajaran Islam. Sebagai bagian dari ajaran Islam, sudah selayaknya materi dan hukum-hukum fikih terkait Khilafah tersampaikan di tengah umat. Jadi, jika ada pihak yang masih menganggap Khilafah sebagai sekadar narasi, ini sama halnya tidak meyakini apa saja yang Allah tetapkan dalam syariat-Nya.
Mengatakan Khilafah sebagai sekadar narasi sama halnya menilai Al-Qur’an dan Sunah bukan sumber hukum yang tepercaya. Khilafah bukanlah sekadar ide, melainkan merupakan hukum Islam seputar sistem pemerintahan Islam yang sudah dijelaskan oleh para ulama muktabar dalam kitab-kitab fikih pemerintahan yang mereka susun. Sebagai contoh, Imam Al-Mawardi menyusun kitab Ahkam Sulthaniyah sebagai pembahasan tersendiri seputar sistem pemerintahan Islam.

Khilafah bukan ideologi, melainkan sistem pemerintahan Islam yang diatur berdasarkan syariat Islam. Apa salahnya menjelaskan hal ini di tengah masyarakat? Jika Khilafah terkesan sebagai gagasan baru yang heboh beberapa waktu terakhir ini, hal itu tidak lain karena sebagian umat Islam belum mengenal Khilafah sebagai bagian dari hukum Islam. 

Menjelaskan Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam kepada umat Islam justru menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang mengetahui dan memahami hal ini. Tidak boleh ada yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan dalam menjelaskan setiap perincian dari syariat Islam. Umat harus memahami bahwa dari aspek hukum dan sejarah, mereka punya peradaban agung dan berjaya selama berabad-abad lamanya.

Khilafah bukanlah sekadar narasi atau romantisme sejarah. Khilafah juga bukan gagasan usang atau basa-basi teoritis. Khilafah adalah bagian dari syariat Islam yang harus terus disampaikan agar umat memahami syariat secara utuh tanpa cela. 

Menjelaskan Khilafah beserta dalil-dalilnya merupakan aktivitas dakwah yang tidak boleh dihalang-halangi dan diintimidasi. Jika kita mau membuka mata, pikiran, serta hati yang bersih, siapa pun pasti mengakui bahwa sistem Khilafah adalah produk syariat dan memiliki akar sejarah yang panjang bagi umat Islam.

Dari sini jelas bahwa khilafah, imamah, maupun imaratul mukminin adalah sama. Khalifah, imam, dan amirulmukminin juga sama untuk menyebut pemimpinnya. Khalifah juga dikenal dengan al-Imâm al-a’zham (pimpinan tertinggi).

Para ulama telah mengungkapkan dalam sejumlah penjelasan yang berbeda tentang makna “khilafah”, tetapi semuanya merujuk pada satu makna yang sama. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut, “Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat komprehensif dan umum, terkait dengan masyarakat umum dan khusus.

Khilafah mengarahkan seluruh umat berdasarkan sudut pandang syar’i dalam meraih kemaslahatan mereka di akhirat dan kemaslahatan mereka di dunia yang mengacu pada akhirat. Sebabnya, segala kondisi di dunia, menurut syariat, diukur berdasarkan kemaslahatannya di akhirat. 

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.”


Khilafah, Mahkota Kewajiban

Dengan penjelasan tersebut, Khilafah sebagai ajaran Islam tidak perlu lagi dipersoalkan, apalagi mencari-cari narasi negatif untuk menegasikannya. Bahkan, para ulama menyatakan Khilafah adalah mahkota kewajiban, induk dari penerapan hukum Islam secara totalitas. Tanpa Khilafah, hukum-hukum Islam tidak bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Lantas, di mana letak teoritisnya ketika sistem Khilafah ada dalam syariat dan pernah diterapkan selama 13 abad lamanya?

Terhadap Khilafah yang merupakan ajaran Islam, para pembenci dan musuh Islam selalu mencari-cari kesalahannya untuk menghilangkan legitimasinya sebagai bagian dari ajaran Islam. Namun, terhadap kapitalisme demokrasi yang jelas-jelas lahir dari pemikiran kufur Barat, mereka mencari-cari pembenaran, bahkan mengutak-atik dalil dengan dalih agar seolah-olah tidak bertentangan dengan Islam.

Sungguh menyedihkan dan miris! Tatkala seseorang mengaku muslim, tetapi lisannya begitu mudah menyebut narasi kebangkitan Khilafah sebagai ancaman yang harus diwaspadai. Apakah mereka yang menolak Khilafah tidak rela jika Islam  bangkit dan kembali memimpin peradaban dunia? Sedangkan kerusakan sistem kapitalisme sudah tampak telanjang, tidak dicari-cari kesalahannya pun sistem bobrok ini sudah menunjukkan kecacatan dan kezalimannya.

Harusnya, sebagai muslim merasa malu kepada Allah dan Rasul-Nya tersebab lisan yang tidak terjaga dari mengumpat pada perkara yang sudah jelas memiliki landasan dalilnya. Janganlah kita terjebak dan termakan narasi dusta Barat dan musuh Islam untuk memonsterisasi ajaran Islam. Ketakutan Barat akan kebangkitan Islam mestinya juga tidak terjadi pada diri seorang muslim. Masa iya muslim takut Islam bangkit?

Oleh karena itu, Khilafah tidak boleh dianggap sebagai ancaman. Jika memang perlu untuk adu gagasan, bandingkanlah kehidupan masyarakat ketika diatur Islam dengan masyarakat yang jauh dari Islam. 

Jika kita mau belajar sejarah, kita akan mendapati bahwa satu-satunya sistem dan ideologi yang mampu merangkul dan mengurusi urusan masyarakat tanpa melihat status, jabatan, ras, dan golongan justru adalah sistem Islam kafah dalam institusi Khilafah.

Jangan pernah takut mendakwahkan Khilafah. Jangan pernah menyerah untuk menyadarkan pemikiran umat tentang kerusakan kapitalisme. Yang optimis meyakini kebangkitan Islam dengan tegaknya Khilafah pasti akan memperjuangkannya. Yang pesimis dan menganggap Khilafah teoritis, semoga Allah memberikan kesadaran agar benar-benar jernih memahami tentang Khilafah. Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar