Oleh : Ummu Hayyan, S.P. (Pegiat Literasi)
Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pada 2015-2016 banyak warga yang memintanya untuk segera menyelesaikan masalah sengketa lahan. Hal ini diungkapkannya pada saat sambutan pembagian sertifikat tanah di Sidoarjo, Jawa Timur.
"Di mana-mana saya tuh kalau masuk ke desa tuh di telinga saya selalu, tahun-tahun 2015-2016 'urusan sertifikat pak, urusan sertifikat pak, sengketa pak, konflik lahan pak' tapi masih ada 80 juta (lahan) yang belum bersertifikat, baru 46 juta dari 126 juta yang harusnya bersertifikat," ungkapnya, dikutip dari YouTube Kementerian ATR/BPN, Rabu (27/12/2023).
Saat itu memang baru 46 juta bidang tanah di Indonesia yang mendapat sertifikat. Hal itu memicu banyaknya kasus sengketa lahan, baik antar-warga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan. (Kementerian ATR/BPN, 27-12-2023).
Sementara itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) hanya mampu mengeluarkan 500.000 sertifikat per tahun. Oleh karena itu, membutuhkan waktu hingga 160 tahun lagi agar seluruh lahan di Indonesia memiliki sertifikat.
Solusi Palsu
Pemerintah menilai bahwa perkara sertifikat telah memicu banyaknya kasus sengketa lahan, baik antarwarga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan. (Detik, 28-12-2023). Oleh karenanya, untuk menyelesaikan konflik lahan, pemerintah menggenjot penerbitan sertifikat.
Sementara itu, banyak konflik agraria belum terselesaikan karena sejumlah proyek strategis nasional (PSN) merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah; Pulau Rempang, Riau; dan Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Upaya penyelesaian konflik agraria dengan menerbitkan sertifikat adalah solusi palsu. Narasi pembangunan PSN memang mengatasnamakan rakyat, namun rakyat justru tergusur dari tanahnya. Ruang hidup mereka dirampas oleh para pengusaha swasta.
Tak hanya PSN, masih banyak modus perampasan lahan yang dilegalisasi undang-undang. Penguasa elit berkolaborasi dengan para pemilik modal. Inilah politik oligarki. Kekuasaan dikendalikan oleh segelintir elit politik.
Politik oligarki lahir ketika negara menerapkan sistem demokrasi kapitalisme.
Dengan sistem demokrasi, manusia legal membuat aturan sendiri atas nama perwakilan rakyat. Ideologi kapitalisme menjadikan para pemilik modal bebas berkuasa. Agar kekuasaan ini legal, maka dibuat undang-undang. Jadi, selama sistem demokrasi kapitalisme masih digunakan untuk mengatur urusan negeri, jangan berharap konflik lahan selesai dengan tuntas.
Islam, Solusi Jitu
Jika sistem demokrasi kapitalisme menyuburkan politik oligarki khususnya dalam konflik lahan, maka tidak dengan sistem Islam. Ketika sistem Islam diterapkan oleh negara, keadilan akan dirasakan oleh umat manusia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hadid : 25, yang artinya : "Kami menurunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil".
Keadilan ini niscaya terwujud karena penguasa dalam Islam memiliki pemahaman mengurusi umat bukan tangan kanan oligarki. Rasulullah SAW bersabda : "Imam adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. al-Bukhari).
Terkait perkara tanah, Islam telah mengatur dengan jelas dan rinci. Syariat Islam menetapkan bahwa tanah memiliki 3 Status kepemilikan. Yakni, tanah yang boleh dimiliki individu, tanah milik umum dan tanah milik negara.
Tanah milik individu seperti lahan pertanian, perkebunan, kolam dan sejenisnya. Tanah milik individu dikelola dan dimanfaatkan oleh individu seperti dijual, diwariskan dan dihibahkan.
Tanah milik umum adalah tanah yang di dalamnya terkandung harta milik umum. Seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dalam jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta. Tanah milik umum haram dikuasai swasta.
Sedangkan tanah milik negara adalah tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum.
Undang-undang pertanahan dalam Islam akan didasarkan pada prinsip kepemilikan dan pengelolaan tanah sesuai syariat. Kasus perampasan lahan seperti yang terjadi di Rempang tidak akan terjadi karena tanah Rempang adalah tanah milik umum. Masyarakat setempat sudah lama mendiami dan menghidupkan tanah tersebut.
Dengan demikian, Islam adalah satu-satunya solusi jitu untuk menyelesaikan konflik lahan negeri ini.
Wallaahu a'lam bish-shawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar