Oleh : Gavrila Syam
“Ketika semua orang berpikir seragam, tidak ada yang berpikir terlalu jauh,” kata Walter Lippmann. Hal ini juga mencerminkan kondisi orang-orang yang lahir pada tahun 90-an kebelakang. Mereka cenderung tunduk pada larangan tanpa mempertanyakan alasan di baliknya. Meskipun mendengarkan orang tua adalah hal baik, sikap kritis kadang diperlukan untuk mengurai masalah yang mungkin tersembunyi di balik seragamitas tersebut. Ketika bertanya menjadi hal tabu, atau dianggap banyak cing-cong maka tak heran jika ada orang yang berislam dengan alasan lahir dari orang tua yang menganut islam pula.
Keseragaman bisa menjadi pemandangan indah, terutama jika itu bertujuan menghilangkan diskriminasi. Sebagai contoh, keseragaman pakaian sekolah dasar. Namun, di tingkat tertentu, keseragaman tanpa alasan yang jelas dapat mengarah pada taqlid buta. Perilaku yang seragam mungkin sama, tetapi kemampuan untuk mempertanggung jawabkan tindakan tersebut bisa sangat berbeda. Kemampuan untuk berpikir kritis sangatlah penting. Dengan mengetahui alasan di balik tindakan yang dilakukan, kita dapat membuat keputusan yang lebih baik, entah itu untuk memacu pekerjaan atau malah menghentikannya.
Keseragaman tanpa dasar yang jelas dapat berdampak fatal. Pada masa kampanye politik, kebanyakan orang akan melakukan hal yang sama—memperhatikan liga debat calon presiden dan wakil presiden, mencari kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat. Namun, berulang tahun demi tahun, hanya menghasilkan janji-janji kosong dan saling menyalahkan setelah terpilih. Apakah kita harus terus terpaku pada sistem yang sama? Terbiasa dengan keseragaman mungkin membuat kita enggan menerima hal-hal di luar kebiasaan tersebut. Bahkan, saat ada yang berbicara tentang perubahan sistem, misalnya dengan menerapkan syariat Islam kaffah, justru dianggap sebagai penistaan.
Padahal, jika kita mau mendengarkan dan berpikir, kita mungkin akan menemukan bahwa penerapan syariat Islam kaffah bisa membawa perubahan positif. Hal-hal kuno yang mungkin kita anggap sebagai bagian dari syariat Islam dapat diakomodasi dengan baik. Namun, keseragaman berpikir yang dibangun di atas taqlid buta membuat sulit bagi kita untuk menerima ide di luar norma yang sudah ada. Saatnya untuk merenung dan membuka pikiran terhadap alternatif-alternatif yang mungkin lebih baik.
Mungkin saatnya kita mempertanyakan keseragaman tanpa dasar yang jelas, dan memberikan ruang bagi pemikiran kritis. Menggali lebih dalam melalui pertanyaan dan refleksi bisa membawa kita ke arah perubahan yang lebih baik. Mari buka pikiran, mendengarkan dengan seksama, dan bersedia menerima ide-ide baru. Dalam keberagaman pemikiran, mungkin kita akan menemukan solusi yang lebih bijak untuk masa depan yang lebih baik.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar