Mewaspadai Narasi Khilafah


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk tetap mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah. Menurutnya, narasi-narasi tersebut berpotensi untuk mendapatkan momentum pada 2024, yang bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. Potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan menjadi semacam panacea atau obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya, jelas (itu) menggiurkan bagi beberapa masyarakat. Iqbal menambahkan, mayoritas rakyat Indonesia masih percaya pada pemerintahan dan demokrasi yang berdasarkan Pancasila, meskipun harus diakui, sistem demokrasi Indonesia saat ini masih memiliki kelemahan.  Alternatif yang tersedia tidak serta-merta lebih baik. Sebagai warga negara, partisipasi dalam demokrasi adalah kesepakatan bersama untuk melindungi hak-hak sipil dan beragama bagi semua warga Indonesia. (beritasatu.com, 12/01/2024)

Narasi-narasi yang menyatakan khilafah sebagai ancaman muncul kembali menjelang 100 tahun runtuhnya Kekhilafahan  Utsmaniyah, termasuk pernyataan adanya ancaman ideologi transnasional adalah pemikiran sesat. Pemikiran sesat tersebut terus diaruskan oleh musuh Islam ke tengah umat untuk mencegah kebangkitan umat Islam. Mereka ingin memperlemah pemikiran umat Islam dengan menjadikan ide khilafah itu sebagai sebuah angan-angan yang akan menguras energi secara sia-sia. Mereka berupaya menanamkan pemahaman bahwa gagasan menyatukan seluruh umat Islam di dunia dalam satu negara kekhilafahan itu merupakan hal yang mustahil. Itulah pemikiran negatif yang harus dibuang dan mengganti pemikiran positif tentang Islam. Sehingga masyarakat bisa memahami Islam secara utuh, bukan separuh-separuh.

Khilafah bukan ancaman, Khilafah adalah ajaran Islam. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Suatu sistem bernegara berdasarkan Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para pemimpin setelahnya. Khilafah ada sejak masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar yang menggantikan Rasulullah SAW setelah wafat. Kepemimpinan ini terus berlanjut hingga 13 abad lamanya, sampai masa Kekhalifahan di Turki Utsmani pada 1924 yang terbukti mampu membawa rahmat bagi seluruh alam.

Mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib. Diantara dalil kewajiban adanya khilafah, Allah SWT berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [TQS al-Baqarah [2]: 30].

Rasulullah SAW juga  mengisyaratkan, bahwa sepeninggal beliau harus ada yang menjaga agama ini dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari Khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Rasulullah SAW bersabda: “Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim].

Justru seluruh masalah itu muncul sejak Khilafah Utsmani runtuh pada tahun 1924 di tangan Mustafa Kemal. Setelah kaum muslim kehilangan induknya, umat Islam berpecah-belah hingga menjadi negara-negara kecil  yang tersekat dengan nasionalisme. Semenjak itulah kondisi kaum muslim di seluruh dunia terjajah, terzalimi, teraniaya, terusir, terfitnah, tertuduh, terbunuh, termiskin, terpecah, tersiksa, terhina, terpuruk, dan tertindas. Kemalangan demi kemalangan terus terjadi menimpa umat Islam. Seperti masalah Palestina yang terjajah Israel, muslim Xinjiang yang tersiksa, kaum muslim Eropa atau daerah minoritas yang menjadi korban islamofobia. Berbagai aksi penghinaan dan penistaan terhadap Islam, ulama, kitab suci Al-Qur’an bahkan penghinaan terhadap Allah dan Rasulullah SAW.

Sistem kapitalisme melahirkan paham liberalisme, yaitu kebebasan tiada batas. Serangan pemikiran kebebasan digencarkan. Dalam pemikiran liberal, yang halal dianggap haram dan yang haram justru dianggap halal dengan berbagai alasan tanpa dasar. Dalam pemikiran liberal, penghinaan terhadap Rasulullah SAW dianggap sebagai kebebasan berekspresi, sementara pembelaan terhadap Islam dianggap sebagai radikalisme. Budaya hedonisme dan pragmatisme berkembang, dimana mengukur segala sikap dan perilaku berdasarkan nafsu duniawi semata. Hedonisme dan pragmatisme telah melahirkan seks bebas, pornografi pornoaksi, pelacuran, homoseksual, miras, narkoba, dan pergaulan bebas yang akan menghancurkan generasi muda Islam.

Kapitalisme juga telah menjerat bangsa ini dengan hutang ribawi yang sulit untuk membayarnya. Negeri kita yang mayoritas muslim kini hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Rakyat yang telah miskin masih dibebani dengan berbagai pajak.

Itulah berbagai kerusakan tampak nyata di berbagai bidang dengan penerapan sistem kapitalisme sekulerisme. Oleh karena itu, umat butuh pemimpin yang mampu melindungi dan mengurusi kebutuhannya, pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka menerapkan Islam atas dasar ketaatan kepada Allah SWT bukan mengambil aturan lainnya. Sistem pemerintahan seperti ini disebut khilafah. Dan sebagai seorang muslim, kita wajib mengkaji atau mempelajarinya dengan sebaik-baiknya. Kemudian menyebarkannya, memahamkannya kepada umat. Setelah dipahami dan diyakini, selanjutnya diperjuangkan agar ajaran tersebut dapat  terwujud secara nyata di tengah-tengah umat hingga kebaikan akan menyebar ke seluruh alam.

Wallahu a'lam bi ash-shawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar