Penderitaan Perempuan Dibalik Kenaikan Indeks Pembangunan Gender


Oleh : Arini Fatma Rahmayanti

Belakangan ini perempuan dianggap semakin berdaya dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender. Dilansir dari  Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender.

"Perempuan semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender," kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Lenny N Rosalin mengatakan perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara.

"Semakin banyak perempuan menjadi pemimpin baik di desa, sebagai kepala desa atau kepala daerah hingga pimpinan di Kementerian atau Lembaga," katanya. KemenPPPA pun menargetkan peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan pada 2024.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menambahkan pihaknya akan berfokus pada penguatan kelembagaan dan perbaikan pelayanan publik, terutama terkait lima arahan prioritas Presiden dengan mengedepankan sinergi dan kolaborasi lintas sektor mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, dunia usaha, dan media.

Fakta tersebut seakan terdengar keren, padahal sejatinya ini adalah bencana bagi perempuan dan generasi. Penerapan sistem kapitalisme-sekuler saat ini membuat paradigma yang keliru dalam melihat perempuan dan solusinya. Sistem kapitalisme-sekuler merupakan sistem yang memisahkan peranan agama dari kehidupan, sehingga masyarakat yang hidup dalam sistem ini tidak menjadikan nilai agama sebagai standar dalam berbuat, begitupun dengan pemberdayaan perempuan saat ini, syariat-syariat agama terkait perempuan tidak dijalankan oleh pemangku kebijakan, seperti syariat penafkahan, kewajiban belajar, berdakwah, syariat suami istri, dan sejenisnya. Sistem ini memandang apabila perempuan hanya diam dirumah mengurus suami dan anak-anaknya adalah perempuan yang tidak produktif. Sehingga perempuan di tuntut untuk berdaya dengan beperan di setiap lini-lini kehidupan, sehingga tidak jarang perempuan tidak bisa membagi waktunya antara bekerja dengan memerankan peranan utamanya sebagai ummu warabatul ba’it dengan baik.

Peristiwa ini juga tidak lepas dari program sistem saat ini yaitu kesetaraan gender. Arus kesetaraan dengan berbagai derivat kebijakannya dipandang sebagai solusi atas permasalahan perempuan. Namun pada faktanya hal ini bukanlah solusi melainkan permasalahan baru bagi perempuan. Perempuan banyak mendapatkan masalah dan penderitaan dalam hidupnya seperti, tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual, dan lainnya. menjadi bukti perempuan menderita.  Selain itu juga maraknya persoalan generasi yang makin amoral, liberal, dan keji sebab pengabaian peran utama perempuan sebagai ibu sekaligus madrasah pertama anaknya. Sehingga jika permasalahan tersebut diselesaikan dengan pemberdayaan perempuan melalui tolak ukur indeks pembangunan gender maka sangat terlihat bahwa penguasa hari ini sangat sesat dalam berfikir.

Sangat berbeda dengan sistem islam, dalam islam bekerja mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki, nafkah perempuan ditanggung oleh walinya seperti, ayahnya, suaminya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, dan seterusnya. Perempuan juga dilarang terlibat dalam kepemimpinan yang mengharuskan perempuan mengambil kebijakan seperti menjadi seorang khalifah. Islam mensyariatkan kepemimpinan berada ditangan laki-laki. Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan” (HR. al-Bukhari)

Meski diharamkan dalam jabatan kekuasaan, bukan berarti perempuan tidak memiliki kesempatan diranah publik, islam mengatur ranah publik bagi perempuan bahkan ada yang wajib diikuti perempuan antara lain, menuntut ilmu, amar makruf nahi mungkar ditengah masyarakat, muhasabah bil hukkam atau menasehati penguasa, dan yang boleh untuk perempuan yaitu, menjadi anggota majelis umat, menjadi qadhi selain qadhi madzalim.

Perempuan juga boleh bekerja dengan syarat pekerjaan itu tidak menghinakan fitrahnya sebagai perempuan seperti mengeksploitasi kecantikannya, menghalanginya melakukan kewajibannya, dan bekerja untuk ekonomi. Pekerjaan yang dilakukan perempuan harus memberikan kontribusi keilmuannya untuk umat dan kemuliaan islam. Dengan demikian kemuliaan perempuan akan dilihat dari keberhasilannya menjalankan peran domestiknya sebagai ummu warabbatul ba’it dan madrasatul ulla. Serta peran publiknya sebagai entitas masyarakat yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Penerapan syariat perempuan sepeti ini ketika dijalankan oleh, individu, masarakat, dan negara menjadikan perempuan hidup dalam kemuliaan.

Wallahualam bi sawab
 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar