Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Ulama Aceh Abi Hasbi Albayuni meminta kepada masyarakat untuk menghentikan suara penolakan terhadap pengungsi Rohingya. Abi Hasbi juga mengajak masyarakat untuk ikut bersama-sama membantu para pengungsi itu atas dasar kemanusiaan dan saudara seiman.
“Secara pribadi saya melihat bahwa seharusnya masyarakat tidak boleh menolak, apalagi ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah,” ujarnya di Banda Aceh, Senin (8/1/2024).
Pimpinan Dayah Thalibul Huda itu menambahkan, segala sesuatu isu tentang etnis Rohingya yang beredar di media sosial belum tentu benar. Sehingga ia mengajak masyarakat Aceh untuk tabayyun atau mencari kejelasan saat menerima berita supaya tidak terpengaruh dengan informasi keliru.
Disisi lain, Abi Hasbi meminta pemerintah untuk segera merelokasi para pengungsi Rohingya yang berada di basement gedung Balai Meseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh ke tempat penampungan sementara yang lebih layak. “Saya melihat ini fasilitas yang tidak layak untuk mereka, sementara kita memiliki fasilitas yang lebih baik.”
Pimpinan Dayah Thalibul Huda itu menilai basement gedung Balai Meseuraya Aceh tersebut sangat tidak layak untuk ditempati oleh 137 orang pengungsi Rohingya itu, yang umumnya didominasi oleh kelompok anak-anak dan perempuan. Ia menjelaskan, sebenarnya pemerintah memiliki fasilitas yang layak untuk menampung sementara para pengungsi tersebut, salah satunya pilihannya seperti komplek gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh.
Mahasiswa Aceh Sudah Termakan Hoaks di Medsos
Aksi pengepungan dan angkut paksa terhadap 137 pengungsi Rohingya yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh pada Rabu (27/12/2023) menyedot perhatian dunia.
Sejumlah kantor berita internasional turut menyoroti dan memberitakan aksi mahasiswa Aceh yang mengangkut paksa pengungsi Rohingya dari basemen Balai Meseuraya Aceh (BMA), Kota Banda Aceh.
Aksi mahasiswa ini turut direspon oleh Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berada di New York, Amerika Serikat.
Melalui kantor berita resminya, News.un.org, aksi mahasiswa Aceh tersebut terjadi karena mereka telah terpapar informasi palsu alias hoaks yang berasal dari media sosial. “Serangan tersebut bukanlah sebuah tindakan yang terisolasi, namun merupakan hasil dari kampanye online yang terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi dan ujaran kebencian terhadap para pengungsi,” lapor PBB, dikutip Rabu (3/1/2024).
Penolakan masyarakat dan oknum mahasiswa di Aceh atas muslim Rohingya beberapa waktu lalu, direspons oleh Ditjen HAM Kemenkumham Dhahana Putra. Ia meminta semua pihak untuk mengedepankan kemanusiaan dan dapat menahan diri dari berbagai tindakan provokatif agar tidak menimbulkan kondisi yang tidak kondusif di Aceh dalam penanganan para pengungsi Rohingya. Aspek kemanusiaan yang bersifat universal ia nilai harus diutamakan dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal. (CNN Indonesia, 2-1-2024).
Tidak Ada yang Membantu
Salah seorang aktivis terkenal Rohingya yang bermukim di London, Nay San Lwin, menjelaskan kondisi muslim Rohingya dalam wawancaranya bersama wartawan Tribun Dhaka. Ia mengatakan bahwa orang-orang Rohingya telah menjadi subjek diskriminasi rasial sejak kudeta militer 1962. Pada 1978, dilancarkan operasi besar-besaran ‘Dragon King’ untuk mengusir orang-orang Rohingya, mengakibatkan lebih dari 250 ribu orang melarikan diri ke Bangladesh. Sejak itu, orang-orang Rohingya kehilangan banyak hak dasar mereka.
Selanjutnya pada 1982, orang-orang Rohingya kehilangan kewarganegaraan mereka di negaranya sendiri setelah pemberlakuan undang-undang kependudukan yang baru. Kemudian pada 1992, junta militer menerapkan pembatasan-pembatasan keras terhadap mereka, memaksa mereka hidup di penjara-penjara terbuka.
Oleh sebab itu, sungguh memprihatinkan tatkala kita menyaksikan sebagian kalangan yang mengaku intelektual (mahasiswa) di Aceh melontarkan kalimat pada pengungsi Rohingya, “Pulang sana ke negara kalian!” padahal mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Nyatanya, muslim Rohingya hidup menjadi manusia yang terombang-ambing di lautan, ditolak oleh negeri-negeri muslim lainnya.
Muslim Rohingya akhirnya terpaksa berjuang sendiri. Negara tujuan (negara penerima) pengungsi—yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967—pun masih belum menerima Rohingya. Di antaranya Australia, Selandia Baru, Jepang, sejumlah negara Timur Tengah, sedikit negara di Asia Tenggara, negara-negara di Eropa, hingga Kanada. Pertanyaannya, benarkah Rohingya adalah beban—terutama beban ekonomi—bagi negara mereka?
Racun Nasionalisme
Nasionalisme telah menjadi tembok besar yang tinggi dan kokoh hingga penguasa negeri muslim tidak bisa menolong muslim Rohingya. Sistem nasionalistis pun memandang Rohingya sebagai beban ekonomi dan mengusir mereka yang putus asa dari wilayah pantai setiap negeri muslim.
Jika ada yang menerima, itu pun dengan terpaksa dan menempatkan Rohingya di kamp-kamp yang tidak layak, bahkan menolak hak-hak dasar mereka. Rohingya akhirnya berada dalam lingkaran setan geopolitik yang melibatkan banyak kekuatan, baik regional maupun internasional.
Lebih mengiris hati lagi, para penguasa muslim seluruh dunia tidak berbuat banyak untuk membantu penderitaan Rohingya. Sudahlah ditindas karena menjadi muslim, demi menyelamatkan agama dan diri, mereka justru dihujat dengan perkataan yang menyakitkan. Sedangkan Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak (boleh) menzaliminya dan tidak (boleh) mengabaikannya.” (HR Muslim).
Selain itu, permintaan Ditjen HAM agar menangani muslim Rohingya dengan mengedepankan kemanusiaan, justru merupakan hal yang sulit terwujud dalam sistem sekuler demokrasi. Sistem demokrasi nyatanya melahirkan para penguasa yang minim empat dan malah bebas mengambil hak-hak dasar masyarakat lewat kebijakan. Sedangkan sistem sekuler terbukti melahirkan banyak orang yang individualistis.
Islam Menciptakan Masyarakat Manusiawi
Ketiadaan sistem Islam menyebabkan hilangnya sebagian negeri-negeri Islam, seperti Andalusia, Asia Tengah, Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Rohingya, bahkan Palestina. Ini menyebabkan adanya jutaan imigran, serta gelombang pengungsi dan deportasi. Kaum muslim dipaksa menghadapi ancaman hidup dengan kesengsaraan permanen di bawah status pengungsi.
Sementara, dalam Islam, negara akan memberikan hak kewarganegaraan yang sama bagi semua orang yang hidup di bawah pemerintahannya, terlepas dari agama, ras, ataupun etnisnya. Khilafah akan menyambut terbuka orang-orang yang mencari suaka ke wilayahnya dan menghukum orang-orang yang menganiaya mereka. Negara Islam pun akan menyatukan dan menciptakan keselarasan antara masyarakat yang beragam melalui kebijakan dalam negerinya. Inilah lambang kemanusiaan yang sebenar-benarnya.
Seorang penulis Inggris H.G. Wells sampai menulis tentang Khilafah (sistem Islam) “Mereka membangun tradisi toleransi yang adil. Mereka menginspirasi orang-orang dengan semangat kemurahan hati dan toleransi. Mereka berbelas kasih dan bersungguh-sungguh. Mereka menciptakan sebuah masyarakat yang manusiawi yang jarang terjadi kekejaman dan ketakadilan sosial, tidak seperti masyarakat yang ada sebelumnya.”
Selain itu, Khilafah akan menolak dan menghilangkan sekat nasionalisme. Rasulullah saw. bersabda, “Bukan dari kami orang yang mengajak kepada golongan, bukan dari kami orang yang berperang karena golongan dan bukan dari kami orang yang mati karena golongan.” (HR Abu Daud).
Sungguh, kebutuhan atas Khilafah sudah begitu mendesak. Sudah saatnya umat Islam memastikan diri agar bisyarah Rasulullah berikut dapat terealisasi, “...Kemudian akan ada Khilafah yang sesuai dengan minhaj kenabian…” (HR Ahmad). Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar