Penjahat Berdasi Dari Perguruan Tinggi


Oleh : Ayu Annisa Azzahro (Aktivis Dakwah Muslimah)

Ironis, bersamaan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) ketua KPK Fihri Bahuri ditangkap sebagai tersangka korupsi. Sungguh fakta yang memilukan. Dengan dirayakannya Hakordia menjadi harapan bagi warga negara agar pemerintahannya terbebas dari penjahat-penjahat berdasi yang melakukan korupsi. Sayangnya, hal itu hanya harapan semata tanpa perwujudan nyata. Lantas, kepada siapa rakyat harus percaya jika ketua dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka langsung dari korupsi itu sendiri?

Mirisnya lagi adalah mayoritas koruptor berasal dari kalangan perguruan tinggi. Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan sekaligus calon wakil presiden nomor urut tiga menyatakan dalam pidatonya di hadapan ribuan wisudawan Universitas Negeri Padang bahwa 84 persen koruptor yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lulusan perguruan tinggi.

Selain Johnny G. Plate Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) , ada Juliaru Batu Bara mantan Menteri Sosial yang terlibat korupsi bansos pada masa covid-19 lalu. Kemudian Imam Nahrawi Menteri Pemuda dan Olahraga, Idrus Marham mantan Menteri Sosial.  Serta masih banyak lagi pelaku korupsi lainnya yang berasal dari perguruan tinggi.

Seharusnya moment peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia bukan lagi hanya sebatas seremoni belaka yang hanya mengajak masyarakat bersinergi memberantas korupsi. Melainkan untuk mengevaluasi ulang apa sebenarnya yang menjadi akar masalah korupsi bisa terjadi?

Suburnya tindakan korupsi di negeri ini tentunya tidak lepas dengan asas yang digunakan oleh sistem negara yakni sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Jauhnya mereka dari pemahaman agama membuat mereka tak takut akan dosa yang diperoleh oleh tindakan 'pencurian' yang mereka lakukan. Nilai-nilai ketakwaan hingga politik lenyap dari kehidupan. Pada akhirnya hawa nafsu lah yang menjadi kontrolnya. 

Kemudian mendarah dagingnya politik demokrasi yang mahal sehingga untuk mereka yang mencalonkan diri baik menjadi kepala daerah hingga provinsi atau yang menduduki kursi-kursi DPR kudu merogoh kocek yang tidak sedikit. Tentu hal ini dibukakan jalan oleh sistem. Adanya kongkalikong antara penguasa dan pengusaha. Para pengusaha memberikan modal kepada calon-calon penguasa tersebut. Sampai kemudian tatkala mereka terpilih, para penguasa ini, tidak akan berfokus pada umat. Fokus mereka akan dominasi oleh kepentingan-kepentingan pengusaha atau oligarki yang hendak menyuburkan praktik usahanya. Belum lagi mereka kudu mengembalikan modal kampanye yang menghabiskan puluhan triliun sehingga menghalalkan praktik korupsi. Alhasil, umat semakin tercekik karena penguasa yang diharapkan tak kunjung memberikan bantuan.

Sistem demokrasi ini memang tak khayal menyuburkan korupsi berjamaah. Sehingga bisa disebut bukan lagi trias politica melainkan trias coruptica: legisla-thieve, execu-thieve and judica-thieve. 

Belum lagi tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku-pelaku korupsi dan hal itu membuat mereka semakin gencar melakukan aksinya dan menarik semakin banyak peminat korupsi. Pengurangan hukuman kerap kali terjadi. Misalnya pada kasus mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Edhy Prabowo dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara dengan alasan ia telah berbuat baik selama menjabat. Atau yang terjadi pada Djoko Tjandra dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun. Anas Urbaningrum dari 14 tahun menjadi 8 tahun. Dan masih banyak lagi kasus korupsi yang dikurangi masa hukumannya. 

Bagaimana mungkin mereka tidak berpikir, oh tak mengapa untuk korupsi. Toh ujung-ujungnya hukuman akan dikurangi? Atau tak mengapa korupsi asal sedikit. 

Rsulullah Saw. bersabda, ''Siapa saja yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).'' (HR. Abu Dawud)

Dalam hadist lain Rasulullah shalallahu a'alahi wasalam bersabda, "Sesungguhnya kaum Quraish merasa bingung dengan masalah seorang wanita dari kabilah Makhzumiyah yang telah mencuri. Mereka berkata, "Siapakah yang berani berbicara kepada Rasulullah saw. untuk meminta pembelaan bagi wanita itu?" Dengan serentak mereka menjawab, "Kami rasa hanya Usamah saja yang berani, karena dia adalah kekasih Rasulullah saw. " Maka Usamah pun pergi dan berbicara kepada Rasulullah saw. untuk meminta pembelaan atas wanita itu. " Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Jadi kamu ingin memohon syafaat (pembelaan) terhadap salah satu dari hukum hukum Allah?" Kemudian baginda berdiri dan berkhutbah, "Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan binasanya umat-umat sebelum kalian ialah, apabila mereka mendapati ada orang yang mulia yang mencuri, mereka membiarkannya. Tetapi, apabila mereka mendapati orang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah!, sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Faktor-faktor di atas sudah cukup membuka mata kita bahwa suburnya korupsi disebabkan oleh sistem ini sekulerisme-demokrasi. Maka sudah saatnya kita mengganti sistem dengan sistem yang benar yang di mana Allah meridhoinya. Islam sendiri mempunyai beberapa cara untuk memberantas korupsi.

Pertama, penanaman aqidah kepada setiap individu agar menjadi insan yang taat kepada Allah swt sehingga dari sini masyarakat yang takwa akan terbentuk. 

Kedua, lingkungan yang mendukung. Dengan terbentuknya masyarakat islami dan pembiasaan amar ma'ruf nahi munkar maka lingkungan pun akan terjaga dari kemaksiatan karena mereka akan takut melakukan kemaksiatan tersebut.
Ketiga, pengawasan yang ketat. Didalam kitab Al-Amwal Fi Daulah Islam karya Syeikh Abdul Qadim Zallum dijelaskan bahwa khilafah akan membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksaan Keuangan sehingga akan terhindar dari kecurangan. 

Keempat, gaji yang layak. Sehingga dengan gaji yang layak itu pejabat tidak akan melakukan korupsi. Bahkan khilafah akan melakukan pemeriksaan harta secara berlaka kepada para pejabat.
Kelima, diberlakukannya sanksi yang tegas. Para pelaku korupsi akan dikenai sanksi takzir berupa tasyhir atau pewartaan. Yaitu diarak keliling kota atau kalau sekarang bisa dengan ditayangkan ditelevisi.
Demikianlah islam mempunyai solusi untuk berbagai permasalahan bahkan diberlakukannya sanksi yang tegas agar menjadi efek jera dan contoh bagi  yang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.
Wallahu a'lam bishawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar