Oleh: Maria Ulfa, S.S (Anggota Lingkar Studi Bali)
Jelang pemilu rakyat seolah terbangun untuk kembali memahami ulang dan mengamati perpolitikan, padahal politik itu seharusnya tidak hanya diamati pada saat jelang pemilu yang hanya terjadi lima tahun sekali saja.
Mengapa mengamati politik perlu dilakukan secara kontinyu atau berkelanjutan? Bagi kita, umat Islam, politik itu berarti terkait pengurusan umat dan negara, dan Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi).
Maka jika ingin diakui sebagai bagian dari kaum muslimin, sudah sepatutnya kita peduli dengan kondisi mereka dan peduli dengan kebijakan politik yang diterapkan atas kehidupan mereka.
Namun, saat ini rakyat khususnya umat Islam sendiri tidak memahami bahwa agama mereka punya aturan tersendiri dalam hal politik dan pemerintahan. Bahkan mereka terbelah dalam memahami apakah politik itu harus dicampur dengan konsep agama ataukah sebaiknya dipisah? Ada kalangan yang menilai bahwa politik itu kotor, sedangkan agama adalah suatu hal yang suci. Maka tak sepatutnya keduanya dicampurkan. Di sini menjadi jelas, bahwa selain tidak memahami Islam terkait politik dan pemerintahan, umat Islam juga teraruskan dengan paham sekuler, di mana urusan kehidupan harus dipisahkan dengan agama.
Mengapa ada yang menilai bahwa politik itu kotor? Lalu apa yang menyebabkannya dinilai kotor? Adakah sesuatu yang bisa membuatnya bersih? Nampaknya umat betul-betul tidak memahami kebatilan sistem demokrasi.
Di sisi lain, sembari mengatakan politik itu kotor, namun tak bisa menyangkal bahwa dirinya tak bisa terpisah dari keputusan politik pemerintah atau negara dalam pengurusan kehidupannya sebagai warga negara. Jadi, sekalipun mengatakan politik itu kotor, nyatanya ia tetap terlibat juga di dalamnya, baik sebagai pelaku atau subyek yang membuat kebijakan politik, atau turut serta mendukung urusan politik, termasuk turut serta dalam pemilu, atau sebagai obyek yang dikenai atas kebijakan politik yang telah diputuskan oleh presiden atau pejabat terpilih.
Jika politik dinilai kotor, maka apa pembersihnya?
Tak heran jika sebagian orang mengatakan bahwa politik itu kotor. Bagaimana tidak, karena politik yang diterapkan hari ini bukanlah politik Islam. Maka wajar memunculkan politik yang mereka sebut kotor.
Contoh praktik kotor dalam perpolitikan demokrasi adalah, 1. para politisinya adalah orang-orang yang bisa melakukan segala cara demi mendapatkan posisi atau jabatan, termasuk dengan cara curang sekalipun, 2. dalam politik demokrasi yang tampak adalah para pejabat yang tujuannya meraup pundi-pundi uang, mereka bekerja, bukan mengabdi, 3. biaya politik demokrasi itu tidak murah, sehingga orang-orang yang maju menjadi pejabat dan saat terpilih malah sibuk mengembalikan modal pemilu dan sibuk memperkaya diri termasuk dengan jalan korupsi, 4. dalam politik demokrasi tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi, ini sudah cukup membuktikan bahwa sistem demokrasi secara alamiah melahirkan para politisi hipokrit dan munafik, 5. politisi dalam sistem demokrasi tidaklah cenderung mementingkan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan golongannya sendiri dan partai politik yang mengusungnya, sehingga tidak heran saat mereka telah menduduki jabatan mereka tidak ingat lagi kepada rakyat. Rakyat hanya dicari suaranya saat pemilu saja, sedangkan saat sudah menjabat suara rakyat yang menjerit meminta haknya, atau sekedar menyampaikan aspirasinya atau kritik atas suatu kebijakan, tidak akan lagi didengar. Para pejabat itu memilih acuh dan tetap melenggang mengesahkan kebijakan tersebut, contohnya pengesaham omnibus law dan UU Cipta Kerja yang sudah didemo dan diprotes oleh berbagai kalangan rakyat dan di berbagai wilayah.
Alhasil, rakyat berputus asa akan mengadu kepada siapa apabila ada persoalan, rakyat memilih mengurusnya sendiri, sehingga terjadi trust issue di sini. Rakyat tak lagi percaya kepada penguasa dan pejabatnya. Jika melaporkan suatu permasalahan, bukannya membantu rakyat, para pejabat justru semakin mempersulit rakyat termasuk dengan memberikan aturan yang berbelit-belit dan kalau mau benar-benar diurus, harus bayar dulu.
Negara demokrasi bukanlah negara yang pejabatnya hadir dalam mengurusi dan mengatasi permasalahan rakyat, para pejabat di sistem demokrasi hanya hadir kepada rakyat tertentu saja, yaitu rakyat yang berduit saja.
Kalau ada yang mengatakan tidak semua pejabat seperti itu, maka silakan dipresentasi berapa persen pejabat yang baik itu di antara pejabat yang jahat. Sistem ini tidak cocok untuk orang baik. Secara alamiahnya, orang-orang baik dalam sistem ini akan tersisih dan kalah dengan orang-orang yang beruang, bermodal atau punya hubungan keluarga, walaupun tidak kompeten. Begitulah watak asli demokrasi yang merupakan tunggangan dari ideologi kapitalisme. Di mana para kapitalis atau pemodal adalah penguasa yang sesungguhnya, sedangkan para pejabat yang ada hanyalah menjadi kacung bagi mereka.
Lalu apa yang bisa membersihkan politik demokrasi ini?
Coba bukalah mata, hati dan pikiran kita untuk meninjau dan mempelajari lagi konsep Islam dalam hal politik dan pemerintahan. Karena menutup mata, hati dan pikiran dari memahami Islam secara menyeluruh atau kaffah, adalah salah satu tujuan para misionaris yang dulu berhasil meruntuhkan kekuasaan Islam. Maka jangan sampai kita berlarut-larut meninggalkan agama kita, karena jika begitu kita akan berlarut-larut dalam keburukan dan kemunduran, dan tidak akan bisa berkutik untuk membela saudara kita di Palestina atau negeri muslim lain yang sedang diserang oleh Israel dan sekutunya.
Islam adalah agama yang sempurna. Politik Islam adalah pembersih politik kotor demokrasi. Ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahualaihi Wassalam untuk mengatur tiga hubungan, yaitu antara hamba dengan Pencipta (hablumminAllah), antara hamba dengan dirinya (hablumbinnafsi), dan hubungan antara seorang hamba dengan sesamanya atau dalam bermasyarakat (hablumminannas).
Hubungan antara seorang hamba dengan orang lain atau bagaimana seseorang bermasyarakat adalah yang paling luas bidangnya, karena seorang manusia sebagai makhluk sosial itu saling membutuhkan dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik dan hukum. Dalam berbagai bidang tersebut ada semua aturannya. Aturan tersebut berasal dari Allah, sebagai al-Khaliq (Pencipta) dan al-Mudabbir (Pengatur).
Allah berfirman,
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maidah: 50).
Dalam hubungan inilah umat butuh penjaga, yaitu pemimpin atau penguasa yang akan menjamin penerapan aturan Islam dalam kehidupan. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi (asas), dan kekuasaan adalah tiang penjaganya. Sesuatu tanpa fondasi akan hancur, dan tanpa penjaga maka ia akan hilang.
Maka di sinilah letak urgensi keberadaan negara sebagai penjaga umat dan urusannya. Inilah politik Islam. Politik diatur dengan Islam adalah kewajiban, jika berharap keberkahan dari Allah. Maka landasan politik haruslah yang datang dari Allah, yaitu Islam. Negara yang mengatur kehidupan dengan Islam disebut Khilafah. Inilah satu-satunya sistem pemerintahan yang diwariskan atau yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Ketika Rasul melaksanakan haji wada' (perpisahan), Rasulullah berpesan dalam sabdanya, "Wahai manusia, tidak ada nabi atau rasul yang akan datang sesudahku dan tidak ada agama baru yang akan lahir. Karena itu, wahai manusia, berpikirlah dengan baik dan pahamilah kata-kata yang kusampaikan kepadamu. Aku tinggalkan dua hal: Al-Qur'an dan Sunnah, contoh-contoh dariku; dan jika kamu ikuti keduanya kamu tidak akan pernah tersesat."
Kemudian Rasulullah SAW juga menjelaskan, "Suku Israel dipimpin oleh Nabi-Nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang sesudahku, hanya para khalifah yang akan menjadi penerusku." (HR Bukhari, dalam Kitab Al-Manaqib).
Tak heran aktivitas penyadaran umat akan pentingnya keberadaan negara Khilafah, dan khalifah atau imamah yang merupakan sebutan bagi kepala negaranya, ini dijegal dengan berbagai cara. Hal itu semakin menguatkan para pejuangnya untuk terus mendakwahkannya sampai kemenangan Islam itu terwujud atau mereka mati dalam memperjuangkannya. Itulah yang sesungguhnya ditakuti oleh bangsa penjajah Yahudi dan sekutunya. Mereka takut akan kebangkitan umat Islam dengan konsep bernegaranya.
Lalu, bagaimana dengan Politisasi Islam?
Lain halnya dengan Politisasi Islam, aktivitas ini adalah aktivitas yang buruk, karena hanya mengambil sebagian apa yang datang dari Islam hanya untuk mengambil hati umat agar memilihnya. Atau hanya menarik simpati dengan mencomot dalil-dalil sembarangan, dan menggunakan atribut atau simbol Islam. Mereka yang mempolitisasi Islam ini tidak menyampaikan Islam secara kaffah.
Bahkan ada capres yang menyebutkan bahwa kekuatan militer yang lemah akan menjadikan suatu bangsa yang tertindas, ia menyebutkan Gaza sebagai contohnya. Kalau memang demikian, sebagai capres negeri muslim dan pernah menjabat sebagai menteri pertahanan yang juga mengurusi soal militer, mengapa tidak mampu menolong saudara di Palestina?
Dan pada faktanya kita lihat, sesungguhnya Palestina tidak lemah. Walaupun hanya milisi seperti Hamas yang melawan Israel, bukan militer, tetapi mereka berhasil membuat Israel kalang kabut. Sedangkan pemimpin negeri muslim yang lain hanya bisa mengucapkan turut berduka tanpa bisa menurunkan bala tentara untuk menunjukkan pembelaan dan keberpihakan kepada saudara seakidahnya di Palestina. Mereka tidak punya keberanian untuk itu. Sedangkan Yaman, yang disebut sebagai negara miskin justru turut membantu dengan segala keterbatasannya.
Maka benarlah sabda Nabi terkait Yaman, Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
إنه سيأتي قوم تحقرون أعمالكم إلى أعمالهم
“Sesungguhnya akan datang kaum, yang kalian akan merasa minder jika membandingkan amalan kalian dengan amalan mereka“.
“Apakah mereka kaum dari kaum Quraisy ya Rasulullah?” Tanya para Sahabat.
لا و لكن هم أهل اليمن
“Bukan, mereka adalah penduduk Yaman.” jawab Rasulullah.” (HR. Ibnu Abi Ashim, dishohihkan oleh Imam Muqbil Al-Wadi’i)
Dalam politik demokrasi, segala cara menjadi halal. Termasuk mempolitisasi agama. Tidak hanya kepada agama Islam mereka melakukannya. Bahkan ada calon pejabat yang rela masuk gereja, turut dalam ritual agama lain dan menggunakan simbol-simbol keyakinan umat lain demi meraih simpati.
Maka politik Islam jauh berbeda dengan Politisasi Islam. Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita saling menguatkan untuk mengusung pemikiran Islam termasuk politik Islam, dan menolak politisasi Islam. Sudah saatnya kita melayakkan diri agar Allah berikan pertolongan-Nya atas umat ini, sebagaimana janjinya dalam surat An-Nur ayat 55.
Allah berfirman,
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik" (TQS. An-Nur: 55).
Wallahua'lam bishawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar