Ruang Hidup Terampas, Kebahagiaan Hidup Terhempas


Oleh: Dianti Ummu Raisya 

Masihkah ku bisa tertawa terbahak
Dari sempitnya waktu yang begitu kelam
Perjuangan hidup memang sangatlah berat
Tuk melepas beban yang begitu memikat
Haruskah kuhentikan waktu yang sedang berputar
Namun ku tak mungkin bisa tuk merubah segalanya

Reff
Aku masih bisa terus berjalan
menikmati hidup
Meskipun sulit menjadi mudah
Jadikan cobaan untuk anugerah
Yang bisa merubah ruang yang gelap
Menjadi indah dan terus langkahkan ke depan
Berikan warna hidup kita menjadi indah
Dan terus langkahkan pijak kedepan
Berikan warna hidup kita menjadi indah

Begitulah kurang lebih lirik lagu grup band ST-12 yang berjudul "Ruang Hidup" yang menggambarkan ruang hidup saat ini yang memang begitu pelik masalahnya. Namun kita terus mencoba berjuang menghadapi berbagai kesulitan akibat ruang hidup. Meskipun ruang hidup itu adalah masalah yang sistemik bukan masalah individual yang bisa diselesaikan masyarakat sendiri. Karena permasalahan ruang hidup saat ini ternyata terkait dengan kebijakan pemerintah tentang Proyek Strategis Nasional(PSN). 

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.(PERPRES NO. 66 TAHUN 2022). Namun kini ruang tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya berada pada kondisi konflik yang kita sebut sebagai konflik agraria.

Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia, ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa. Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. (CNN Indonesia, 24/9/2023).

Di Provinsi Jawa Barat sendiri terdapat beberapa PSN yang berpotensi sebagai konflik agraria, diantaranya pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, segitiga rebana, waduk/bendungan Jatigede, dan tol Cisumdawu yang berdampak pada alih fungsi lahan, baik lahan pertanian atau lahan perumahan yang beralih fungsi menjadi lahan proyek, penyelesaian ganti rugi lahan yang terkesan abai, struktur sosial masyarakat yang harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, baik dari pendatang atau penduduk yang tergusur yang kemudian mereka pindah ke daerah yang baru, ekonomi masyarakat juga terkena imbas dari proyek ini karena mau tidak mau mata pencaharian sebagian dari mereka harus menyesuaikan dengan proyek pemerintah, perubahan bentang alam, dan banyak lagi dampak lainnya.

Perempuan dan generasi sebagai bagian dari sebuah keluarga yang paling tidak punya kendali atas lahan merupakan pihak yang paling banyak terkena dampak atas PSN ini. Pada skala Nasional, meletusnya bentrokan di Rempang Batam pada 7 September 2023 membuat banyak anak dan perempuan menjadi korban. Penembakan gas air mata di dekat SDN 24 dan SMPN 22 Galang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, hingga luka fisik pada anak-anak yang sedang melakukan pembelajaran. Menurut KontraS, sedikitnya 20 warga Rempang dari kalangan anak, perempuan, dan lansia, mengalami luka berat maupun ringan karena kerusuhan tersebut. Aparat dinilai serampangan dan  berlebihan dalam menggunakan kekuatan.

Efek yang sama pernah terjadi pada konflik agraria di Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada Maret 2017. Sebanyak 60 anak dari 220 kepala keluarga korban penggusuran ikut telantar dan terancam tidak bisa melanjutkan sekolah. Ditambah karena tergusurnya sekolah mereka, memaksa mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang tentu saja tidak mudah saat mereka mengalami trauma mental. Di sisi lain, penggusuran gedung sekolah memungkinkan layanan pendidikan yang mereka terima akhirnya seadanya saja.

Dampak buruk pembangunan nirpartisipasi warga bisa berlangsung panjang, dan sering luput dari perhatian. Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pembangunan Waduk Jatigede menyisakan kesedihan bagi penduduk setempat. Penggenangan yang dimulai dari tahun 2015 awalnya dimaksudkan sebagai penunjang kehidupan masyarakat kecil juga industri. Namun, bagi masyarakat sekitar, manfaat itu masih jauh panggang dari api. Sekitar 40 ribu jiwa terusir dari lahan mereka akibat proyek raksasa ini. Orang-orang dewasa kehilangan mata pencaharian, sementara anak-anak terpaksa putus sekolah. Anak perempuan memikul beban dua kali lebih berat karena harus mengambil jalan pintas menggaet mimpi keluar dari jurang kemelaratan, yakni dengan menikah muda. Masalah tak berhenti sampai di situ. Kemelaratan yang mereka alami, dimanfaatkan oleh ‘bank emok’ untuk menawarkan pinjaman dengan bunga selangit. Lagi-lagi perempuanlah yang harus menanggung beban paling berat. 

Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, setidaknya ada tiga catatan penyebab konflik agraria di negeri ini. Pertama, sistem administrasi pertanahan yang amburadul sehingga kepastian hukum atas hak tanah sangat rendah. Kedua, maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Kondisi ini memunculkan praktik mafia pertanahan yang melibatkan pejabat pertanahan, pemerintah, dan pengusaha. Ketiga, penegakan hukum lemah terkait masalah pertanahan. Hal ini juga menjadi penyebab konflik agraria. Lalu lahirlah dampak turunan, yakni sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, serta penggusuran tanah-tanah rakyat yang dimiliki secara sah untuk kepentingan oligarki. Nyatanya pula, dalam sistem demokrasi, konflik agraria tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Pelayanan penguasa pada oligarki tampak pada pemberian Hak Guna Usaha (HGU) yang sangat luas, bahkan mencakup hak masyarakat adat dan petani yang telah lebih dahulu berhak atas tanah tersebut.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga, sebagian besar lahan di Indonesia dikelola oleh korporasi. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara, dan mengamanatkan dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, sementara 94,8 persen bagi korporasi.

Kondisi ini wajar terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini mengakomodasi kerakusan para oligarki dan pemilik modal. Tersebab ulah oligarki yang menyatu dengan sistem politik demokrasi, terciptalah berbagai kebijakan yang membawa penderitaan bagi rakyat. Perselingkuhan oligarki-demokrasi sebenarnya sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi sekuler kapitalisme. Oligarki bisa berkuasa membutuhkan demokrasi, sedangkan demokrasi akan tetap eksis dengan peran oligarki. Oligarki dan demokrasi keduanya akhirnya bersimbiosis mutualisme.

Wajar juga jika dari sistem ini muncul berbagai kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan formal. Demokrasi menghasilkan kezaliman kepada rakyat, termasuk perampasan ruang hidup rakyat. Akibatnya, perempuan dan anak serta seluruh penghuni alam semesta ini tidak mendapatkan hak yang seharusnya.

Mirisnya, negara dan penguasanya justru berposisi sebagai agen bagi para oligarki. Kebijakan-kebijakan negara malah berpihak untuk memenuhi kepentingan para oligarki. Selain itu, akar masalah konflik agraria adalah sengketa kepemilikan tanah dan lahan. Tatanan sekuler saat ini yang mengambil sistem ekonomi kapitalisme telah memberikan kebebasan bagi individu-individu untuk memiliki tanah yang sangat luas.

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam benar-benar menutup celah pintu berbagai kezaliman, termasuk perampasan ruang hidup bagi perempuan dan anak. Dalam sistem Islam, negara wajib menempatkan kebijakan ekonominya untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh rakyat, termasuk kebutuhan tanah dan lahan. Syariat Islam mengakui kepemilikan individu atas tanah sebagai hak milik, hak pakai, serta hak untuk mewariskan. Dengan tanah yang dimilikinya, individu akan mudah membangun rumah untuk tinggal sesuai tuntutan kehidupan keluarga muslim, sekaligus menjadi sumber ekonomi untuk mencari penghidupan (nafkah).

Syariat Islam juga menetapkan kepemilikan umum sebagai kepemilikan bersama, termasuk dalam hal ini adalah hutan, pulau, dan bahan tambang (deposit besar). Jadi, sebuah kesalahan jika lahan dan tambang dimiliki oleh individu demi mengembangkan suatu usaha. Pembangunan dalam Islam tidak melibatkan investasi asing yang justru akan membahayakan bagi negerinya. Pembangunan semata-mata diambil dari dana baitulmal. Dengan pengaturan yang sempurna ini, kesejahteraan bagi semua rakyat akan terjamin, termasuk perempuan dan anak. Pengaturan kepemilikan berbasis syariat Islam akan menjauhkan dari konflik horizontal (sesama rakyat) maupun konflik vertikal (rakyat dan penguasa).

Sudah saatnya umat Islam menerapkan syariat Islam secara kaffah dan sempurna agar semua konflik agraria terselesaikan, perampasan ruang hidup tidak akan terjadi, perempuan dan anak pun bisa hidup aman dan sejahtera. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar