Sistem Demokrasi, Pemilu Dijadikan untuk Meraih Kekuasaan dan Kepentingan Pribadi


Oleh: Hanifah Afriani

Pesta demokrasi semakin dekat, baliho, pamflet, kalender mulai tersebar dimana-mana. Para caleg dan capres mulai blusukan ke daerah-daerah. Mereka mengobral janji manis agar menarik hati rakyat supaya menjatuhkan pilihan kepadanya. Inilah wajah demokrasi dalam sistem kapitalisme. 

Mengobral janji kesana kesini dan bertemu rakyat kalangan bawah bisa dibilang hanya lima tahun sekali, menjelang pemilu saja, tak dipungkiri, biaya yang dikeluarkan untuk kampanye tidak sedikit. Lantas dari manakah dana yang mereka gunakan untuk kampanye?

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. (cnbcindonesia.com, 12/1/2024)

Adanya dugaan bahwa dana kampanye dari beberapa parpol dibiayai asing. Padahal hal tersebut dilarang. Dana dari pihak asing atau luar negeri tidak boleh digunakan oleh peserta pemilu untuk kampanye.

Karena hal tersebut bertentangan dengan undang-undang yang tertuang dalam pasal 40 ayat (30) poin a UU nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik.

Sudah tidak asing lagi dan diketahui bersama, biaya pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya yang besar tersebut biasanya dibiayai para korporasi dan pihak asing, selebihnya pakai dana yang ia punya.

Dengan membutuhkan biaya besar pada pemilu, caleg berlomba-lomba menjadi pemenangnya, kekuasaan seolah dijadikan ajang meraih kekuasaan untung kepentingannya. Setelah ia meraih kekuasaan, pasti biaya untuk kampanye harus balik modal. Tidak lain dan tidak bukan uang yang seharusnya menjadi hak rakyat bisa jadi masuk ke kantong pribadinya.

Politik dalam sistem demokrasi diartikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Pantas saja setelah berkuasa ia bukan menjadi pelindung dan pelayan rakyat. Malah menyengsarakan rakyat.

Janji manis yang ia ucapkan saat kampanye bisa ia lupakan ketika sudah memiliki jabatan. Jelaslah dalam sistem kapitalisme demokrasi buatan manusia tidak akan melahirkan kemaslahatan. Sebaliknya, malah melahirkan pribadi yang bermoral rusak, banyak kecurangan dan menyengsarakan rakyat.

Hal tersebut sangat jauh berbeda dalam sistem Islam. Islam memandang politik sebagai riayyah suunil ummah, mengurusi urusan umat. Penguasa menjadi pelindung dan pelayan rakyat. Menjadi penguasa merupakan amanah yang berat. Karena kelak di akhirat akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT.

Terlebih, untuk biaya pemilu tidak akan membutuhkan biaya banyak seperti halnya saat ini. Dalam sistem Islam juga tidak akan sembarangan mengangkat seorang penguasa, mereka yang menjadi penguasa harus masuk dalam kriteria yang telah Islam tetapkan. Yang jelas orangnya yang bertakwa kepada Allah dan memumpuni mampu menjalankan amanahnya.

Dengan menerapkan sistem Islam juga akan mencetak generasi yang berakhlakul karimah, taat pada sang pencipta dan menjadi pribadi yang baik yang setiap yang ia lakukan akan merasa diawasi oleh Allah SWT. Sehingga kemungkinan kecil tidak akan ada kecurangan dan kebohongan.

Hanya dengan sistem Islam, masyarakat akan sejahtera, aman karena menerapkan hukum yang berasal dari sang pencipta. Melahirkan pemimpin yang mencintai rakyatnya, menjadi pelindung dan mengurusi rakyatnya dengan baik. 

Allahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar