Waspadai Politik Transaksional di Balik Pesta Demokrasi


Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I (Pemerhati Sosial dan Media)

Pemilu (Pemilihan Umum) dikenal juga sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi, ada celetukan yang mengatakan "yang namanya pesta tak ada yang gratis." Faktanya bukan saja tidak gratis, Pemilu nyatanya memang berbiaya fantastis! Sudah menjadi rahasia umum jika biaya politik saat Pemilu di Indonesia sangat mahal. 

Untuk menjadi calon kepala daerah atau calon legislatif saja dibutuhkan Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar bahkan lebih. Sedangkan untuk menjadi presiden setidaknya seseorang tersebut harus memiliki uang minimal Rp 5 triliun. Biaya yang tidak bisa dikatakan sedikit ini akhirnya mendorong para calon pemimpin untuk mencari dana tambahan dari para 'sponsor politik'. 

Maka wajar jika dalam suasana kampanye seperti sekarang terjadi transaksi keuangan yang cukup mencengangkan yang memang kemungkinan besar digunakan untuk pendanaan Pemilu. Dilansir dari cnbcindonesia.com (12/01/24), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan ada 21 rekening bendahara yang terendus PPATK menerima aliran dana fantastis tersebut. Adapun, jumlah transaksinya mencapai 9.164 transaksi. Menurut Ivan, nilai transaksi aliran dana pada tahun 2023 tersebut meningkat dibandingkan 2022 yang hanya Rp 83 miliar. Sayangnya, ia tidak merinci nama dan parpol yang menerima aliran dana. Dia hanya menegaskan bahwa temuan tersebut mencakup bendahara parpol di semua wilayah di Indonesia.


Politik Transaksional Lingkaran Setan dalam Demokrasi

Aliran dana yang terjadi di atas menggambarkan mahalnya praktik Pemilu dalam demokrasi sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendanai biaya kampanye termasuk mencari donatur dari para oligarki, baik dari luar maupun dalam negeri. Begitulah kondisi pemilihan pemimpin dalam sistem kapitalisme-demokrasi, uang menentukan segalanya termasuk pada arah kebijakan yang akan diputuskan oleh para pemimpin yang berkuasa. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan lepas dari kepentingan para pengusaha yang telah berjasa mendanai selama Pemilu berlangsung. 

Bahkan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, sekaligus cawapres dari no urut 3, Mahfud MD, pernah mengatakan bahwa hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Dan setelah terpilih para calon kepala daerah tentu akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut, inilah yang disebut politik transaksional, berupa lingkaran setan dalam demokrasi yang sarat akan kepentingan dan intervensi dari para pemilik modal. Politik semacam ini harus diwaspadai karena bisa menghilangkan kedaulatan negara. 

Politik transaksional secara sederhana dimaknai sebagai pertukaran kepentingan dari berbagai pihak dengan tujuan agar tercipta adanya kesepakatan bersama. Pertukaran kepentingan ini terjadi antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang mau tunduk pada si penguasa, dan biasanya ini akan diiringi dengan pembagian kekuasaan di antara mereka, dalam kasus Pemilu biasanya terjadi antara calon penguasa, parpol dan para pemilik modal (kapitalis). Politik semacam ini merupakan suatu sistem politik yang egoistis karena hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan tanpa menghirauan rakyat. Politik transaksional terbukti akan melahirkan politikus-politikus kapitalis dan apatis terhadap beban penderitaan rakyat.


Buah Penerapan Kapitalisme-Demokrasi

Hal yang demikian sangat wajar terjadi dalam sistem demokrasi yang lahir dari pemisahan agama dari kehidupan yang merupakan asas dari ideologi kapitalisme. Sistem ini akan terus melahirkan kongkalikong antara penguasa dan para pengusaha. 

Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh penguasa di negara dengan sistem demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat dan bahwa kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada, karena faktanya kebijakan atau peraturan yang lahir dari penguasa adalah untuk kepentingan para oligarki pemilik modal, bukan untuk kepentingan rakyat. Oleh karenanya, selama Pemilu ini dilakukan dalam sistem demokrasi siapapun pemimpin yang terpilih, maka tetap oligarkilah pemenangnya. 


Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Kondisi berbeda akan kita jumpai dalam sistem Islam di bawah institusi Daulah Khilafah. Dalam Islam, hukum Pemilu adalah mubah, karena Pemilu merupakan salah satu uslub pemilihan pemimpin dalam Khilafah. Pemilu yang dilakukan dalam Daulah Khilafah adalah berlandaskan pada aqidah Islam, berarti standar dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan Syariat Islam. Standar inilah yang akan menjaga Pemilu dalam Islam berada dalam kondisi aman, jujur dan jauh dari kecurangan. 

Islam mengakui kekuasaan ada di tangan umat, namun Islam tetap menjadikan hukum Syariat sebagai kedaulatan tertinggi sekaligus sumber hukum dalam setiap kebijakannya. Oleh karenanya, pemimpin yang terpilih harus menetapkan dan melaksanakan aturan yang berasal dari Allah Azza Wa Jalla, bukan aturan yang lahir dari kongkalikong antara penguasa dan pengusaha oligarki. 

Politik dalam Islam bermakna riayah suunil ummah (mengurus seluruh urusan umat), maka siapapun pemimpin yang terpilih sebagai Khalifah maka ia wajib melakukan ri'ayah atau mengurus urusan umat secara keseluruhan, misalnya menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah, menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya baik berupa layanan kesehatan dan pendidikan, begitupun dengan pemenuhan sandang, pangan dan papan yang dibutuhkan umat. Khalifah juga akan menjamin keamanan masyarakat sehingga angka kriminalitas bisa diminimalisir dan masyarakat bisa beraktivitas dengan aman dan tenang. Dari sistem ekonomi dan persanksian Khalifah juga akan menerapkan aturan-aturan yang berasal dari Islam  sehingga akan melahirkan kesejahteraan dan ketentraman di tengah umat. 

Pemilu dalam Islam juga bukanlah ajang pertarungan modal politik, karena dalam Islam pemilihan pemimpin dilakukan secara  sederhana, efektif, efisien dan hemat biaya. Adapun dalam pengangkatan kepala negara, Islam memiliki metode baku yaitu bai'at Syar'i yang dilakukan maksimal selama tiga hari. Dengan begini Pemilu dalam Islam akan lebih sederhana, tanpa mengeluarkan biaya yang fantastis. 

Pelaksanaan Pemilu dalam Islam juga tidak dilakukan secara berkala selayaknya demokrasi. Pemilihan pemimpin hanya dilakukan jika memang dibutuhkan dalam kondisi tertentu, sebab masa jabatan Khalifah tidak mengenal periodeisasi. Khalifah hanya diganti atau diberhentikan jika Khalifah melakukan pelanggaran hukum Syariat atau ada kondisi di mana ia tak mampu menegakkan hukum Syariat. 

Demikianlah pemilihan pemimpin dalam Islam yang nyatanya sangat berbeda secara diametral dengan sistem kapitalisme-demokrasi yang sarat akan kepentingan oligarki. Oleh karena itu, sudah cukup umat Islam berharap pada sistem demokrasi dan tokoh-tokoh di dalamnya yang tak sungkan menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan-kepentingan pribadi. Umat Islam hanya akan mulia dengan perjuangan sejati yang akan mengantarkan pada kebangkitan hakiki. Perjuangan dan kebangkitan itu hanya dengan dan untuk Islam, bukan dengan yang lain. Wallahu a'lam bish-shawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar