Oleh : Hani Iskandar (Ibu Pemerhati Umat)
Berbagai cara seolah halal dilakukan atas nama kepentingan. Selama ada manfaat di dalamnya maka apa pun boleh, meski dilarang. Sekilas kalimat tersebut mungkin patut untuk diresapi karena faktanya apa pun boleh dilakukan di era sistem kapitalis demokratis saat ini.
Kebanyakan aturan yang dibuat oleh manusia, bisa kemudian tarik ulur dalam penerapannya sejalan dengan berbagai kepentingan yang mengelilinginya. Begitu pula saat ini, di mana pesta rakyat yang dimaksudkan untuk menjadi momen penting bagi rakyat menentukan arah kehidupan bernegara dengan jujur, rahasia, bebas, adil, dan tentunya independen.
Kini, tak lagi bisa didapatkan, pasalnya masih banyak yang menggunakan pola-pola tak layak untuk meraih simpati rakyat, mengumpulkan suara agar condong memilihnya dengan mengiming-imingi berbagai janji pelayanan, janji kesejahteraan, dan bahkan pemberian bansos yang tidak cuma-cuma, tidak merata, tidak standar jenis dan macamnya serta bersifat sementara.
Ya, hanya ramai menjelang pemilu. Padahal cara tersebut tidak sesuai dengan aturan main pemilu yang melarang menjadikan bansos (apa pun bentuknya) sebagai alat penarik suara, sehingga membuat rakyat tak lagi objektif dalam memilih para wakilnya di pemerintahan.
Mengutip dari BBC News Indonesia. Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri yang tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Sugianto dan Gibran Rakabuming Raka dinilai kian masif menggunakan program bantuan sosial sebagai alat kampanye pendongkrak suara. Meski telah memberi imbauan agar kepala negara tidak keluar jalur, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diharapkan lebih tegas. (BBC News, 30/01/2024)
Bansos Indikasi Kemiskinan Akut
Bansos (bantuan sosial) yang diberikan pemerintah memiliki pengertian bantuan berupa uang, barang, atau jasa yang diberikan kepada rakyat yang terkategori miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial. (Perpres Nomor 63 Tahun 2017). Tak jauh berbeda dengan istilah subsidi, keduanya merupakan bantuan yang diberikan kepada masyarakat yang terdampak suatu peristiwa, seperti bencana alam, pandemi, dan lain-lain.
Biasanya bantuan ini bersifat temporer, dengan nominal yang juga tidak tetap. Namun, perlu diperhatikan dengan saksama, bahwasanya kebutuhan rakyat adalah tanggung jawab negara dalam memenuhinya.
Istilah bansos mencuat dan marak digunakan pada saat masyarakat diperkirakan dalam kondisi perekonomian yang sulit. Adanya bansos, terlebih bansos berulang, sejatinya menggambarkan bahwa negeri ini sedang mengalami kemiskinan akut dan kronis yang harus secepatnya diobati. Jika tidak, para pengidapnya akan mengalami kematian.
Lebih parahnya lagi, bahwa rakyat (pengidap penyakit "miskin") ini kemudian diiming-imingi bantuan "obat" yang sama sekali tak menyembuhkan, tetapi cara mendapatkannya harus membayar dengan memberikan hak suaranya (keberpihakan, dukungan, ketaatan) kepada sang pemberi obat, tanpa jaminan apakah si pemberi obat dapat menyembuhkannya, menjamin kehidupannya, dan memperpanjang masa hidupnya dalam beberapa tahun kemudian ataukah tidak.
Namun, rakyat kadung dan telanjur menerima itu semua karena kebutuhan yang menghimpit. Demokrasi kapitalisme menjadikan rakyat tersandera dalam kebutuhannya. Sehingga tak mampu merdeka menentukan pemimpin yang diridai hatinya. Politisasi bansos, kentara sekali di negeri ini, sungguh ngeri!
Bansos adalah hak, wajib diberikan cuma-cuma tanpa politisasi tidak sedikit muslim yang alergi dengan kata "politik" karena menganggap politik itu identik dengan perebutan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, sebagaimana yang terjadi pada saat ini "politisasi bansos" untuk kepentingan pribadi/kelompok.
Islam menerangkan bahwa politik itu diperlukan semata-mata untuk mengatur segala roda kehidupan agar berjalan sesuai dengan perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sebab, makna politik dalam Islam adalah "siyasah", artinya ri’ayah su’unil ummah (mengurusi kepentingan umat), termasuk di dalamnya pengaturan urusan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang artinya, “Dahulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap meninggal seorang nabi, diganti oleh nabi lainnya. Sesungguhnya setelahku ini tidak ada nabi lagi, namun akan ada setelahku beberapa Khalifah …” (HR Muslim)
Dalam Islam negara wajib melakukan pengurusan ekonomi umat dengan cara menjamin segala kebutuhan primer, memfasilitasi rakyat mencukupi kebutuhan sekunder dan tersiernya melalui mekanisme ekonomi yang adil. Negara wajib memantau terdistribusinya segala kebutuhan masyarakat per individu, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan tanpa embel-embel dan tuntutan apa pun terhadap rakyat.
Rakyat hanya dididik dan diarahkan untuk senantiasa taat dan patuh terhadap aturan Islam, yakni aturan Allah Swt. Dengan terjaminnya kesejahteraan, masyarakat akan fokus dalam mendedikasikan dan memaksimalkan seluruh potensinya untuk kemajuan negara tempat hidupnya.
Politik dalam Islam bukanlah untuk memperebutkan hati rakyat agar memilihnya sehingga ia mendapatkan kekuasaan. Namun, politik dalam islam adalah tanggung jawab atas pengurusan pemimpin terhadap rakyat, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Islam mewajibkan para pemimpin untuk memiliki jiwa yang beriman, bertakwa, adil, amanah, kafa’ah (mampu)/berkualitas sehingga ia mampu memimpin umat di jalan yang Allah ridai.
Islam juga senantiasa mengedukasi masyarakat agar mampu memilih pemimpin sesuai dengan kriteria yang ada dalam islam. Tidak serta-merta memilih pemimpin hanya karena diberikan sumbangan, diberikan bantuan, tanpa memahami visi dan misi calon pemimpin tersebut, sehingga kelak akan menyesali dan membenci atas sikap pemimpinnya.
Bukan hanya itu, Islam pun mengajarkan kita semua bahwa selain pemimpin yang adil, pun kita harus memastikan sistem/aturan apa yang akan diterapkan oleh sang pemimpin atas rakyatnya. Janganlah sampai sistem yang diberlakukan justru adalah sistem kufur yang mendatangkan murka Allah Swt. karena bertentangan dengan aturan Islam.
Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar