Oleh: Ibnu Rusdi (Pengamat Sosial)
Opini implementasi Syariat Islam dalam institusi Khilafah dianggap bermasalah. Sebagian kalangan lantas berupaya membendungnya. Di tataran eskalasi mendekati puncak, opini Khilafah bahkan dibenturkan dengan keutuhan eksistensi sebuah negara. Propaganda yang dipublish satu di antaranya menyatakan bahwa mendirikan Khilafah identik dengan merobohkan eksistensi negara.
Perkara sensitivitas semisal "merombak sebuah negara" tidak layak dianut tanpa kekuatan argumentasi. Kesempatan berimbang perlu dibuka pintunya lebar-lebar bagi terjadinya dialektika. Publik jangan sampai dibelenggu oleh sebuah informasi yang berat sebelah. Pada perkara-perkara yang sudut keberpihakan maupun penentangannya masih terbilang prematur, biarkan timbal balik informasi bergerak leluasa menciptakan keberpihakan yang semakin matang dan rasional.
Pendekatan yang sesuai untuk perspektif pemerintahan dan politik di atas adalah standar filosofis. Parameter pada level global, regional dan nasional bolehlah diakomodasi sebagian representasinya. Untuk bahan merefleksi gagasan Syariah dan Khilafah bisa diajukan beberapa perspektif berikut.
Pertama, Standar Hak Asasi Manusia dengan 4 pilar kebebasannya. Bebas beragama atau tidak beragama, sekaligus pindah-pindah agama; bebas berperilaku; bebas kepemilikan; dan bebas berbicara. Jika peristiwa pelecehan simbol-simbol Islam oleh orang-orang yang mengidap islamophobia dibiarkan banyak terjadi di negeri-negeri pengusung HAM, maka opini Syariah dan Khilafah yang memiliki kadar 'miring' lebih ringan daripada menghina figur nabi misalnya, tentu lebih rasional untuk dibiarkan bergerak leluasa. Artinya, HAM tidak memiliki cukup wewenang mencegah menjalarnya opini pemerintahan Islam dalam pilar kebebasan berbicara.
Kedua, Standar Demokrasi yang mengambil mekanisme voting untuk memastikan suara mayoritas. Masa sebelum penetapan putusan oleh 'rakyat' maupun masa-masa setelahnya, lazimnya iklim pertarungan pemikiran berlangsung dinamis dengan posisi peringkat yang bergantian saling mengungguli. Alur yang demikian memberi keleluasaan kepada setiap elemen rakyat untuk berlomba memperluas pengaruhnya. Berkaca pada filosofi "bumi berputar", tersirat makna bahwa sebuah gagasan asing pada mulanya, suatu saat nanti sangat mungkin berkembang menjadi gagasan umum.
Dengan demikian, mekanisme demokrasi pun kurang memiliki power sebagai rambu pengaman yang berkompeten melarang ide Syariah dan Khilafah. Bahkan jika mau sedikit berhujjah dengan logika paling gampang, negeri-negeri mayoritas Muslim seharusnya layak diatur dengan undang-undang Islam dalam wadah institusi Khilafah.
Ketiga, Standar Pancasila dan UUD 1945. Dua produk kenegaraan yang diklaim sebagai bangunan beton yang tidak boleh didekati opini Syariah dan Khilafah ini, rupanya tidak seangker yang dideskripsikan sebagian kalangan. Jika dicermati lebih jernih, Pancasila adalah sebuah rumusan falsafati yang general. Klausul operasionalnya berupa Undang-Undang Dasar 1945 justru membuka peluang bertebarannya bermacam opini, termasuk gagasan Islam di dalamnya. Jaminan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat jelas aturannya.
Perubahan klausul UUD jika dikehendaki oleh 2/3 anggota parlemen, juga boleh terwujud. Beberapa kali sejak bergulirnya Orde Reformasi, isi UUD 1945 mengalami amandemen. Sebuah bukti perundangan di negeri ini berjalan dinamis, terus berproses dan belum bisa disebut final. Hingga perspektif ini, opini Syariah dan Khilafah dipastikan bukanlah masalah.
Keempat, Standar Islam. Dalam risalah Muhammad saw, pengaturan urusan rakyat oleh kepala negara dituntunkan dengan hanya satu mafhum: "Putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah". Redaksi yang sedikit berbeda namun makna bersenyawa dengan perintah di atas, ditemukan bertebaran dalam banyak ayat Alquran maupun matan hadits. Persoalan pengaturan rakyat haruslah ditujukan tercapainya keadilan dan kemakmuran, serta mewujudkan rahmat bagi siapapun tanpa diskriminasi agama, suku, ras, klaster sosial, golongan, gender dan lain-lain.
Perintah menampilkan diri sebagai rahmat bagi alam bukan sekedar anjuran, tapi kewajiban kolektif bagi kaum Muslimin. Menyeru manusia kepada persoalan asasiah ini merupakan tugas bersama. Khilafah sebagai satu-satunya bentuk negara yang memiliki anatomi paripurna untuk kejawantah atas seluruh peraturan Islam sejatinya ditampilkan pada fokus utama dan porsi terbesar dalam menyerukan al-Islam.
Konsistensi di atas seruan ini, pada gilirannya akan dibalas hadiah keduniawian terbaik oleh Allah berupa terwujudnya kesadaran umum dalam hal merindukan pengaturan publik oleh Islam. Golongan Ansharullah akan menapaki perubahan peradaban dengan telapak kaki yang kokoh, sebagaimana tergambarkan dalam Alquran: "Jika kamu menolong (agama) Allah, tentu Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
Alhasil, selama opini Syariah dan Khilafah dijajakan tanpa sikap pemaksaan dan kekerasan, tak ada satupun amanah dari norma-norma standar yang bisa digunakan untuk membelenggunya. Pembahasan profil Khilafah adalah menguraikan politik Islam dalam mengatur umat manusia, bukannya kaum Muslimin saja. Universalitasnya memastikan opini tentangnya bisa bergerak dengan jumawa dan leluasa!@
•••••••••••
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar