Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumedang dalam waktu dekat segera mencanangkan gerakan Revolusi Putih. Gerakan itu diartikan peningkatan konsumsi susu murni bagi balita dan anak-anak usia sekolah, dengan tujuan terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi sejak dini.
Menurut Pj Bupati Sumedang Herman Suryatman, gerakan ini perlu didorong oleh seluruh stakeholders dan dinas-dinas terkait di Kabupaten Sumedang, seperti Dinas Peternakan yang akan menjamin kesehatan hewan serta menyuplai ketersediaan susu murni. Kemudian Dinas Pertanian yang menjamin ketersediaan pakan yang sehat, dan Dinas Pendidikan yang akan membantu distribusi gerakan Revolusi Putih pada tiap-tiap sekolah. (KORAN GALA, 6-2-2024).
Memang stunting masih menjadi persoalan serius di Indonesia, termasuk Sumedang. Pada tahun ini, Sri Mulyani mengalokasikan dana untuk program penurunan stunting sebesr Rp30 triliun. Presiden Jokowi menargetkan zero stunting pada 2030. Untuk itu, ditargetkan penurunan angka stunting hingga di angka 14% harus dapat dicapai pada 2024. (Setneg, 25-1-2023).
Terkait hal itu, para kandidat Pilpres 2024 juga tidak melewatkan isu tersebut dalam kampanye mereka. Seperti Prabowo yang berjanji akan menekan angka stunting hingga di bawah 10% jika dirinya jadi Presiden. Ia pun berjanji akan menganggarkan Rp400 triliun dalam berbagai program pencegahan stunting.
Stunting merupakan kondisi terjadinya gangguan gizi kronis yang berlangsung dalam rentang 1.000 hari pertama kehidupan anak sejak dalam kandungan hingga berusia 2 tahun. Ditandai dengan panjang badan atau tinggi badan menurut umur berada di bawah -2 SD dengan akibat kecerdasan pada kemudian hari tidak optimal dan risiko penyakit kronis. Lalu apakah dengan gerakan Revolusi Putih dapat tercapai target yang dicita-citakan_atau dijanjikan_ pemerintah?
Persoalan stunting sebenarnya adalah bagian dari persoalan yang lebih mendasar, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Selama ini, negara abai akan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan bagi rakyat. Akibatnya, banyak rakyat yang kekurangan gizi, termasuk ibu hamil, bayi, dan balita. Terjadilah gagal tumbuh atau stunting pada anak. Program pembagian susu untuk mencegah stunting sebenarnya bukan kali pertama. Bahkan secara tegas mendapat kritikan dari Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak Indonesia (GKIA) yang menilai maraknya pembagian susu menunjukkan bahwa terminologi stunting itu tidak dipahami oleh banyak pihak. (Times Indonesia, 2-1-2024).
Kenapa sekarang malah diulang kembali? Diberi nama revolusi pula seolah-olah hal itu adalah perubahan yang dahsyat. Stunting merupakan problem yang bersifat sistemis. Solusi stunting tidak bisa hanya dengan pemberian makanan tertentu, apalagi hanya susu murni, melainkan butuh solusi integral yang berpijak pada asas yang benar.
Negara harus mendayagunakan seluruh sumber daya, aparat, lembaga, dana, fasilitas, dll. Selain itu, hal-hal yang terkait stunting juga harus dibenahi. Misalnya, kesejahteraan masyarakat dan stabilitas harga bahan pangan. Faktanya, kemiskinan masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Angka kemiskinan ekstrem juga masih tinggi.
Jika akar persoalan stunting terletak pada kemiskinan, sudah semestinya upaya yang dilakukan adalah menyelesaikan kemiskinan itu. Hanya saja, persoalan kemiskinan akan sulit diberantas jika kepemimpinan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme, masih menjadi platform kerja penguasa. Ini karena justru sistem inilah yang menciptakan kemiskinan ekstrem, bahkan permanen.
Sistem kapitalisme membatasi peran penguasa menjadi sebatas regulator, sedangkan seluruh persoalan rakyat malah diserahkan kepada swasta. Hal ini makin menciptakan kemiskinan dan kesenjangan. Ini karena ketika pengaturan tata kelola urusan umat diatur berdasarkan kemaslahatan pengusaha, profitlah yang menjadi orientasi utama, bukan kesejahteraan rakyat secara seluruhnya.
Politik demokrasi juga akan menciptakan politik oligarki. Pemerintahan hanya dikuasai oleh segelintir elite yang berkhidmat pada para oligarki. Alhasil, seluruh kebijakan yang ditetapkan bermuara pada keinginan mereka. Inilah yang menjadikan kebijakan selalu mandul dalam menyelesaikan persoalan rakyat. Kebijakan upah saja tidak pro pada para pekerja. Buruh tidak mendapat upah yang sepadan. Implementasi kebijakan dalam sistem demokrasi juga selalu menghadirkan perilaku korupsi. Dana yang seharusnya sampai kepada penderita stunting, malah masuk ke mulut tikus berdasi dengan dalih rapat dan perjalanan dinas.
Berbeda dengan sistem politik Islam. Sistem politik Islam akan melahirkan penguasa yang amanah dan kapabel sehingga akan benar-benar mengurus rakyat dengan sepenuh hati. Adapun fungsi pemimpin dalam Islam adalah sebagai pengurus sekaligus pelindung rakyat sehingga seluruh urusan rakyat menjadi tanggung jawab negara.
Seluruh kebutuhan dasar rakyat menjadi tanggung jawab negara. Negara akan memastikan setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Jika ada kepala keluarga yang tidak sanggup bekerja karena sakit atau cacat, misalnya, sedangkan kerabat mereka pun tidak mampu menanggungnya, keluarga tersebut tergolong keluarga yang akan disantuni oleh negara. Negaralah yang akan memenuhi seluruh kebutuhan keluarga tersebut, termasuk pangan bergizi, hingga keluarga tersebut bisa keluar dari kesengsaraannya.
Itulah sebab Khalifah Umar bin Khaththab ra. begitu khawatir tatkala ada seorang ibu yang tidak bisa memberikan makan kepada anak-anaknya yang kelaparan. Khalifah Umar ra. rela memanggul gandum sendirian dan memasaknya langsung untuk bisa memastikan keluarga tersebut makan dengan layak. Begitu pun saat Khalifah Umar menangis melihat keledai yang terperosok sebab ia khawatir terlukanya hewan tersebut disebabkan oleh lalainya ia memperhatikan jalan.
Sungguh, persoalan stunting tidak bisa diselesaikan secara tuntas dalam sistem demokrasi kapitalisme. Mari menggantinya dengan sistem Islam agar kehidupan rakyat kembali sejahtera.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar