Mencegah Caleg Gagal Agar Tidak Gagal Mental


Oleh: Imas Royani,  S.Pd.

Detik-detik menuju perhelatan pesta rakyat 2024 banyak sudah persiapan yang dilakukan. Sedia payung sebelum hujan. Pepatah itu diartikan bahwa kita harus siap sedia menghadapi berbagai kondisi yang mungkin akan datang. Pun saat ini ketika memasuki musim politik. Sejumlah RS dan RSJ tengah mempersiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi caleg termasuk keluarga dan timsesnya yang mengalami stres atau gangguan jiwa akibat gagal dalam kontestasi. Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, usai pesta demokrasi, RSJ mendadak kebanjiran pasien yang berlatar belakang dari caleg gagal sehingga diduga kuat kondisinya akan terjadi pula di pemilu tahun ini.

Persiapan ini dilakukan jauh-jauh hari. Setidaknya sejak beberapa bulan ke belakang. Dikutip dari Kompas TV, (24-11-2023), RS Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung, Jawa Barat, sedang menyiapkan 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu dan menyiapkan dokter spesialis jiwa untuk caleg yang mengalami gangguan kejiwaan, seperti gelisah, cemas, gemetar, dan susah tidur. RSUD dr. Abdoer Rahiem Situbondo Jawa Timur pun sama, tengah menyiapkan poli kejiwaan dan ruangan rawat inap jiwa, baik yang akut maupun kronis atau ringan. 

Begitupun yang dilakukan di Jakarta. Kepala Dinkes DKI Jakarta Ani Ruspitawati mengatakan Dinkes DKI menyediakan pelayanan dari psikolog yang tersebar di 25 puskesmas di DKI Jakarta. Adapun pelayanan kesehatan jiwa dimulai dengan proses skrining dan tindak lanjut awal di puskesmas yang ada di 44 kecamatan se-Jakarta. Kemudian, calon pasien akan mendapatkan surat rujukan untuk ditindaklanjuti di RSUD yang memiliki layanan psikiatri. (Tirto, 6-2-2024).

Wajar hal ini terjadi. Karena pemilihan caleg dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya besar hingga bermilyar-milyar. Menurut data LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar—Rp4,6 miliar. Ketua PKB Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp40 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp5 miliar untuk menjadi capres. 

Demi menutupi biaya tersebut ada diantaranya yang rela menggadaikan harga dirinya kepada oligarki, meminjam riba, bahkan ada yang sampai menawarkan ginjalnya untuk dijual. Istilahnya sudah cinta mati, sudah kadung segalanya telah dikorbankan, maka ketika gagal kecewanya tidak ketulungan, sakitnya tuh di sini (hati).

Psikiater dan Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.K.J. mengatakan bahwa banyak caleg gagal yang menjadi pasiennya karena terlilit utang, kecewa berat, dan ingin mengakhiri hidupnya. (Detik, 26-1-2024).

Hanya saja, kenapa solusi yang diambil seperti itu? Sudah tahu pesta demokrasi berakibat demikian, kenapa masih dipaksakan diadakan? Bukankah sebuah pesta harusnya membawa kebahagiaan bagi semua? Jika malah membawa huru-hara, namanya ganti saja dengan petaka demokrasi. 

Kembali, pada pepatah di awal, ketika keluar rumah di musim hujan, maka kita harus membawa payung untuk jaga-jaga sehingga apabila tiba-tiba hujan, kita tidak kehujanan. Diibaratkan ketika di rumah, kita sudah tahu atap rumah kita bocor maka antisipasi yang dilakukan adalah menyiapkan wadah untuk menampung air hujan. Apakah akan terselesaikan? Hanya yang berpemikiran dangkal yang akan melakukan hal konyol itu.

Karena apabila yang berpemikiran mendalam, apalagi cemerlang tentu akan diselesaikan mulai dari akar masalahnya kemudian dicari solusi tuntasnya. Contoh di kasus rumah bocor tadi, kita harus menemukan apa yang membuat bocor. Apakah atapnya sudah lapuk? Apakah ada genteng yang pecah atau bergeser? Apakah bisa diperbaiki Atau harus diganti?

Begitupun cara mengantisipasi caleg gagal, seharusnya diselesaikan mulai dari akar masalahnya kemudian dicari solusi tuntasnya. Mengapa begitu banyak yang mencalonkan diri sebagai caleg? Padahal ketika kita menelisik sejarah peradaban Islam akan kita temukan seseorang yang jika diangkat menjadi pemimpin maka akan menangis dan mengucapkan "Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un". Mereka khawatir dan takut akan azab Allah karena tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. 

Namun dalam sistem demokrasi, mayoritas caleg mengincar kekuasaan dan materi. Meskipun ada beberapa dari mereka yang tulus ikhlas untuk membangun bangsa, bahkan ada yang ingin menerapkan hukum Islam. Hanya saja, selain jumlah mereka amatlah minim, juga keberadaan mereka akan terlindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta yang akan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi, tidak peduli halal/haram, apalagi mudarat atau maslahat bagi umat. Tak ayal, kandidat yang ikhlas akan tersingkir sebab mereka tidak akan mau melakukan kecurangan.

Inilah diagnosa resiko awal. Kehidupan sekuler telah melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan manusia. Masyarakat sekuler juga tidak memiliki tujuan mulia dalam hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Standar kebahagiaannya hanyalah materi dunia. Termasuk dalam memaknai pengembanan jabatan. Jabatan malah dijadikan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan dalam mendapatkan fasilitas hidup sehingga ketika gagal maka caleg sekuler yang lemah imannya akan depresi, sebab mereka dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya.

Diagnosa resiko selanjutnya adalah pada kenyataannya pesta demokrasi ini hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah ambil andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur sedemikian rupa agar pemenangnya adalah mereka yang tunduk pada pengusaha. Akhirnya caleg gagal merasa depresi saat mengetahui suaranya bisa dicurangi, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Mari kita temukan dan tentukan obat mujarab untuk mengatasi penyakit ini. Penyakit ini terjadi karena pasien terlalu banyak mengkonsumsi sistem demokrasi kapitalis. Maka yang pertama harus dilakukan adalah menjauhkan dan membuang jauh-jauh sistem ini, kemudian menggantinya dengan sistem yang menjadi penawar. Mari kita buat resepnya.

Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya untuk memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah, balasannya adalah neraka.

"Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya." (HR Muslim). 

Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. dan Rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, haruslah yang mengerti agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.

Walhasil, para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah SWT. dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia kalah, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.

Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam juga sederhana, tidak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat harus menguras harta, apalagi harus berutang pada sanak saudara dan kolega. Inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Dengan keimanan yang tinggi, kemenangan dan kekalahan hanyalah ketetapan Allah SWT. yang ia harus syukuri.

Nyata sudah sistem Islam adalah solusinya. Tidak perlu sedia payung sebelum hujan, karena cahaya Islam telah singkirkan badai sehingga langit kembali cerah. Tidak perlu membeli wadah untuk menampung air hujan karena atap sudah diperbaiki, genteng pun telah diganti. Tidak perlu lagi menyediakan RS/RSJ bagi caleg gagal yang gagal mental, karena mental caleg telah terlebih dahulu ditempa oleh sistem Islam sehingga sukses dan gagal dalam pemilu bukanlah tujuan karena tujuan utamanya adalah meraih ridha Allah. Begitu mudahnya Islam memberi solusi. Begitu praktisnya Rasulullah memberi teladan. Tinggal kita menepis keegoisan dan keengganan kita menerapkan syariat-Nya. Saatnya melepaskan kebodohan dalam berpikir dangkal akibat sistem jahiliyah. Mari bersama-sama melakukan perubahan dengan berpikir cemerlang dalam keistimewaan sistem Islam yang gemilang. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar