Tarif TOL Naik, Bukti Komersialisasi Layanan Publik Oleh Negara Kapitalis


Oleh : Maknathul Aini/Umma Jinan (Pengemban Dakwah dan Moms Preneur)

Fakta terkait adanya kenaikan tarif jalan tol menunjukkan adanya komersialisasi jalan tol.  Kenaikan secara berkala dengan alasan penyesuaian menunjukkan bagaimana hubungan rakyat dan penguasa. Hubungan ini adalah potret buruk sistem yang menjadi landasan kehidupan. Sebagaimana di lansir pada muslimah news, kebijakan pemerintah yang amat menyakitkan masyarakat datang lagi, yaitu kenaikan tarif tol. Tahun ini saja, jasa marga beberapa kali melakukan penyesuaian tarif tol. Bagaimana tidak menyakitkan? Pasalnya, kenaikan tarif tol akan membuat beban masyarakat makin bertambah.

Infrastruktur jalan dibangun dalam rangka memudahkan transportasi, hal yang amat dibutuhkan manusia. Bukan sekadar urat nadi ekonomi, melainkan merupakan urat nadi kehidupan. Ketika jalan untuk transportasi masyarakat dikenakan biaya, itu sudah menjadi beban. Apalagi tarifnya dinaikkan, akan makin bertambahlah beban masyarakat. Sebagaimana dikeluhkan oleh sopir-sopir truk pengangkut logistik, biasanya kalau keluar tol Palembang bayar Rp525 ribu, sekarang sudah Rp550 ribu.

Sekjen Asperindo Trian Yuserma dalam segmen Focus on Infra di Program Evening Up, Selasa (30-5-2023) menilai bahwa kenaikan tarif tol Bakauheni-Terbanggi tidak masuk akal. Dampak kenaikan 67% itu sangat luar biasa, salah satunya bagi perusahaan yang tentu akan meningkatkan kos operasional perusahaan logistik. Imbas kenaikan tarif tol juga jelas akan dirasakan masyarakat secara umum, khususnya pada berbagai harga barang yang akan mengalami peningkatan. Dapat dipastikan beban masyarakat makin bertambah.

Realitasnya, disadari maupun tidak, kenaikan tarif tol memang sebuah kesengajaan yang dilakukan secara berkala dua tahun sekali mengikuti laju inflasi. Hal ini diatur dalam UU 38/2004 tentang Jalan dan PP 15/2005 tentang Jalan Tol dengan perubahan terakhir pada PP 17/2021. 

Pemerintah juga mengeklaim kenaikan tarif tol sudah sesuai prosedur yang berlaku. Sebagaimana terjadi pada tarif tol Cimanggis-Cibitung yang mengalami kenaikan tarif pada 18-8-2023 pukul 00.00 WIB lalu, juga pemberlakuan tarif tol untuk seksi 2A On/Off Ramp Jatikarya-Simpang Susun Cikeas. Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dan Prof. DR. Ir. Soedijatmo (Sedyatmo) juga mengalami penyesuaian pada 20-8-2023 pukul 00.00 WIB. Kenaikan tarifnya mulai Rp500 sampai Rp1.000. Jalan tol ruas Ngawi-Kertosono juga mengalami penyesuaian tarif pada tanggal yang sama. Tarif ruas tol sepanjang 87 km itu naik 7,64%.

Beberapa hari kemudian, terjadi kenaikan tarif tol ruas Kanci-Pejagan yang menghubungkan Jawa Barat dengan Jawa Tengah pada 24-8-2023 pukul 00.00 WIB dengan kenaikan 6%. PT Jasamarga Gempol Pasuruan (JGP) juga memutuskan tarif tol Gempol-Pasuruan naik mulai 3-9-2023. Kenaikan tarif tol tersebut berkisar antara Rp1.500—Rp14.000 sesuai jarak. Tidak hanya di Jawa, tarif tol di Sumatra pun mengalami kenaikan. Kenaikan tarif tol Trans Sumatra Bakauheni-Terbanggi mencapai hingga 67%, bahkan kenaikan tarif Tol Medan-Binjai mencapai 100% lebih.

Pemerintah maupun operator jalan tol sama-sama menggunakan diksi “penyesuaian tarif”. Mereka beralasan bahwa kenaikan tarif tol memang suatu kesengajaan yang dilakukan sebagai wujud kepastian pengembalian investasi sesuai dengan business plan. Siapa pun yang akan membangun jalan tol, sudah mengetahui tarif ini dari awal. Selain itu, sudah ada kepastian kenaikan tarif bagi investor, yakni setiap dua tahun akan ada penyesuaian sesuai inflasi.


Kapitalisme, Sumber Biangkerok Peningkatan Beban Masyarakat

Sistem kehidupan kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, telah mengizinkan negara menyerahkan tanggung jawab tata kelola layanan publik kepada korporasi swasta/operator, termasuk pembangunan infrastruktur jalan umum. Inilah skema yang disebut Kerja sama Pemerintah dengan Swasta (KPS) atau Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

Dengan skema ini, pemerintah melakukan pembangunan jalan-jalan tol di Indonesia, baik dalam pendanaan maupun pengambilan keputusan. Wajar jika jalan-jalan tol yang dibangun mengharuskan adanya pengembalian dana pembangunan jalan sekaligus keuntungan yang didapat, yaitu melalui penarikan tarif bagi siapa pun yang melintasi jalan tersebut.

Sistem kapitalisme yang menerapkan konsep good governance, membuat pemerintah sebagai regulator wajib memberikan kemudahan regulasi kepada operator jalan tol yang terikat dalam KPS atau KPBU, serta membenarkan kenaikan tarif tol berulang-ulang alias berlanjut hingga mendapatkan keuntungan yang besar secara terus-menerus. 

Langkah ini diambil dalam rangka memastikan iklim investasi jalan tol yang kondusif, serta menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar terhadap industri jalan tol yang prospektif di Indonesia. Juga untuk menjamin level of service pengelola jalan tol tetap sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) jalan tol.

Jelas bahwa yang dilakukan operator bukan pelayanan prima kepada masyarakat, melainkan pelayanan minimum. Alih-alih memberikan kemudahan, justru menyusahkan masyarakat. Bahkan, operator jalan tol diberikan kekuatan secara regulasi oleh pemerintah untuk melakukan penyesuaian tarif tol yang merupakan penyesuaian tarif regular dan telah diatur dalam UU. Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun dijadikan senjata untuk dapat melanjutkan kenaikan tarif tol. 

UU maupun Kepmen PUPR memang layaknya “senjata ampuh” bagi pembenaran kenaikan tarif tol. Alhasil, hal tersebut menjadi legal dan tidak dapat digugat oleh siapa pun. Meskipun masyarakat umum tidak menyetujui kenaikan tarif tol karena beban hidup mereka akan makin meningkat, mereka tidak berwenang untuk mengubah aturan yang telah dibuat dan disahkan. Akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban.

Begitulah tabiat buruk kapitalisme yang menyebabkan pemerintah hanya berorientasi pada kelangsungan bisnis para korporasi (operator), bukan masyarakat. Bukannya memperhatikan masyarakat yang membutuhkan infrastruktur jalan yang bebas biaya, negara malah memberikan berbagai kemudahan kepada operator jalan tol.

Sedangkan dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri mengenai KPS, didapati bahwa kerja sama ini tidak bermanfaat. Alhasil, untuk apa skema ini dilanjutkan jika tidak ada maslahatnya bagi masyarakat? Inilah bukti kelalaian pemerintah kapitalistik yang menjadikan pengelolaan pembangunan jalan publik kepada swasta/operator, mengakibatkan jalan publik dikomersialisasi, jalan tol pun akan terus menjadi sumber pemasukan operator.

Selama kapitalisme diberlakukan di negeri ini, selama itu pula tarif tol akan terus naik dan sudah pasti akan membuat masyarakat makin susah. Oleh karena itu, kelalaian negara ini harus segera dihentikan.


Daulah Islam Meniscayakan Jalan Umum Gratis

Islam memandang jalan raya adalah bagian dari pelayanan negara  dalam memenuhi kebutuhan pokok dan penting. Jalan adalah milik umum, dan negara dilarang untuk mengkomersialisasi kebutuhan rakyat. Negara dalam Islam akan menjamin kebutuhan rakyat termasuk dalam bidang transportasi, baik sarana maupun prasarana yang memungkinkan umat dapat beraktivitas dengan nyaman.

Semua itu jauh berbeda dengan konsep Islam (Khilafah). Pembangunan infrastruktur jalan bertujuan untuk kemaslahatan publik sebagai realisasi tanggung jawab penguasa dalam pelayanan kepada publik. Tidak ada biaya yang harus dibebankan kepada publik alias gratis. Tata kelola transportasi publik dalam Islam merupakan tanggung jawab yang Allah bebankan kepada khalifah (kepala negara). Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Untuk alasan apa pun, khalifah tidak dibenarkan menyerahkan tanggung jawab tata kelola pelayanan publik kepada swasta/korporasi, termasuk pengelolaan infrastruktur jalan umum. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah menyebutkan bahwa dari sisi kepemilikan, jalan umum dipandang sebagai infrastruktur milik umum. Tersebab sifatnya sebagai milik umum, siapa pun boleh melintasinya tanpa dipungut biaya atau gratis. 

Tersebab tujuan utama pembangunan infrastruktur adalah untuk kemaslahatan masyarakat umum, bukan untuk kemaslahatan swasta atau korporasi, jalan umum tidak boleh dikelola swasta/korporasi yang mencari keuntungan dengan cara berbayar bagi yang melintasinya. Alhasil, orang yang tidak mampu membayar tidak boleh melintas di jalan tol. Hal semacam ini tidak boleh ada di dalam Khilafah.

Adapun untuk mengurangi kebutuhan transportasi, Khilafah akan melakukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang baik sebelum membangun sebuah kota. Contohnya, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu. Di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, tidak ketinggalan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Sebagian besar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ataupun untuk menuntut ilmu dan bekerja, sebab semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan memiliki kualitas yang standar.

Khilafah juga akan membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi termutakhir. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan, hingga alat transportasinya itu sendiri. Pemanfaatan teknologi elektronik dilakukan oleh Khilafah sebagai bentuk pelayanan kepada publik, bukan untuk meraup keuntungan materi dari masyarakat pengguna jalan. Dengan demikian, sehingga tidak diperlukan adanya jalan tol.

Pada dasarnya, publik menginginkan jalan yang mudah dan cepat untuk mencapai tujuannya, agar segala aktivitas mereka dapat terlaksana dengan baik tanpa dibebani berbagai pembayaran yang memberatkan. Hal ini tidak mungkin terjadi di dalam sistem kapitalisme yang berorientasi mencari keuntungan materi semata, bukan memberi kemudahan dan bukan melayani publik. 

Dengan demikian, negara harus segera beralih dari sistem kehidupan kapitalisme yang selalu membuat kesusahan ke sistem yang memberikan kemudahan dan kesejahteraan, yaitu sistem kehidupan Islam (Khilafah). Sebagaimana firman Allah Swt, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11).





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar