Oleh: Nindy
Lagi dan lagi, tindakan bullying (perundungan) yang dilakukan oleh sekelompok anak remaja di Batam mewarnai jagat media sosial. Adapun yang semakin membuat miris adalah pelaku merupakan anak-anak perempuan rentang usia 14 hingga 18 tahun dan melakukan tindakan bullying pada sesama anak perempuan.
Dikutip dari kompas.tv (02/03/24), Polresta Barelang telah menetapkan empat tersangka pada kasus tersebut. Kapolresta Barelang Kombes Pol Nugroho Tri N mengatakan bahwa empat pelaku dalam kasus ini adalah NH (18), RS (14), M (15), dan AK (14). Kasus ini bermula ketika pelaku dan korban saling ejek di aplikasi WhatsApp. Pelaku kemudian mengajak beberapa temannya untuk mendatangi korban. Korban dan pelaku sama-sama sudah tidak sekolah atau putus sekolah. Mereka juga saling mengenal satu sama lain.
Terdapat dua video yang beredar. Pada video pertama, korban mengenakan kaos putih dan celana hitam dihajar oleh sekelompok remaja putri. Pelaku menendang kepala korban dan menjambak rambut korban. Adapun, pada video kedua, korban mengenakan kaos hitam dan celana kuning. Pelaku menendang wajah korban hingga kepalanya terbentur ke pintu besi ruko. Berdasarkan hasil penyidikan sementara, kelompok remaja putri tersebut menganiaya korban karena sakit hati, di mana korban disebut merebut pacar pelaku. Namun demikian, polisi masih mendalami dugaan tersebut. Selain itu, korban juga dituduh mencuri barang milik pelaku. Korban mengalami luka, memar, dan bekas sundutan rokok pelaku. (kompas.tv, 02/03/24)
Pihak kepolisian menjerat pelaku dengan dua pasal yang berbeda, dikarenakan tiga dari empat pelaku merupakan anak di bawah umur, dan satu pelaku lainnya sudah dinyatakan dewasa. Pelaku dijerat Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta, dan juga dijerat dengan Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama dengan ancaman penjara 7 tahun. (liputan6.com, 03/03/24)
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum mengacu pada UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diperbarui terakhir melalui UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Adapun usia yang masuk kategori anak yakni 12-18 tahun atau belum berusia 18 tahun.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada hal tersebut, pelaku perundungan yang notabene disebut ‘anak’ diterapkan hukum peradilan anak padanya. Anak yang berkonflik dengan hukum, memiliki sanksi yang lebih rendah dibanding ia yang disebut ‘dewasa’. Padahal, model peradilan yang merujuk pada definisi anak adalah di bawah usia 18 tahun ini berpotensi menjadi celah banyaknya kasus bullying yang tak membuat jera pelaku. Pelaku tidak menjadi jera berbuat aniaya karena ancaman sanksi untuk anak lebih ringan. Sejatinya, mereka yang berusia di bawah 18 tahun, dapat dikatakan sudah dewasa dalam artian ‘baligh’ karena di kisaran umur mereka sekitar 14 tahun ke atas menunjukkan tanda-tanda tersebut.
Maraknya anak remaja menjadi pelaku kekerasan ini sejatinya menggambarkan begitu lemahnya pengasuhan keluarga. Keluarga seharusnya menjadi awal tempat penanaman pemahaman mana yang baik/buruk sehingga anak saat keluar ke lingkungannya dapat memandang kejadian-kejadian di depannya dengan menimbang segala sesuatunya terlebih dahulu berdasarkan pondasi pemikiran yang dimiliki.
Hanya saja, fungsi keluarga tersebut kini telah lenyap. Anak-anak cenderung dididik oleh gadget yang mereka genggam. Para orang tua sibuk bekerja, pemenuhan kebutuhan ekonomi yang menekan, tingginya biaya hidup sehingga membuat orangtua cenderung lalai dalam memenuhi tugas pengasuhan tersebut. Tak heran, lahirlah generasi yang amoral, bertindak bebas semaunya memenuhi hawa nafsu.
Oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah tersebut meningkat 9 kasus dari tahun sebelumnya (kompas.id, 01/01/24). Sistem pendidikan hari ini pun belum bisa menjawab secara tuntas bagaimana mencetak anak didik yang memiliki kepribadian mulia. Bukan hanya cerdas secara pemikiran namun juga menghias dirinya dengan adab yang tinggi.
Pemahaman sekuler yang begitu mengakar dalam konsep kehidupan yang diterapkan hari ini sesungguhnya merupakan akar dari maraknya tindak bebas generasi khususnya dalam perilaku bullying. Pemahaman sekuler meniscayakan seseorang untuk membuat jurang pemisah antara agama dengan kehidupan. Agama cenderung hanya dianggap dalam ibadah ritual semata, namun dalam potret kehidupan sehari-hari, aturan agama ditinggalkan. Dengan kata lain, dalam berpikir dan bertindak asal ‘suka-suka saya’. Efeknya, anak akan merasa bebas untuk bertindak sesukanya, tanpa ada perasaan takut akan sanksi dosa yang akan mereka dapatkan. Satu sisi, hukum peradilan anak yang diterapkan saat ini tidak akan membuat mereka jera.
Islam memiliki seperangkat sistem yang efektif dalam mendidik generasi menjadi sosok yang memiliki kepribadian mulia baik pola pikir maupun pola sikap yang menjadikan mereka pribadi yang sebenar-benarnya ‘manusia’. Untuk kasus bullying, dalam ranah keluarga, Islam mewajibkan para orangtua berikut sanak keluarga turut serta dalam mendidik anak agar menjadi pribadi yang sholih dan jauh dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6). Orangtua dapat menjalankan fungsi pengasuhan dengan optimal juga didukung oleh sistem ekonomi islam yang mewujudkan kesejahteraan umat. Tidak boleh ada anak yang terabaikan dan lepas dari pengasuhan. Anak adalah amanah dari Allah SWT yang harus dijaga dan dididik yang sejatinya merupakan proses mengenalkan mereka pada perjalanan menuju Rabbnya.
Sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam berikut kurikulumnya pun turut menyokong lahirnya generasi yang memiliki kepribadian islam yang utuh. Adapun dalam sistem sanksinya, Islam memiliki pengaturan yang efektif dalam membuat jera. Seseorang yang sudah baligh meskipun usianya masih dibawah 18 tahun, tentu akan dihukum sesuai dengan kejahatan yang ia lakukan. Untuk kasus penganiayaan, berlaku hukum kisas, yakni balasan yang setimpal (QS Al-Maidah: 45).
Dengan demikian, kunci dari pemecahan masalah bullying yang masih marak ini adalah dengan diterapkannya seperangkat aturan islam dalam kehidupan. Inilah kunci lahirnya anak-anak yang berkepribadian mulia, lembut, penuh kasih sayang, salih, dan jauh dari kasus perundungan, karena mereka sadar akan Rabb yang senantiasa mengawasi dan juga sadar akan hakikat tujuan hidup mereka di dunia ini.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar