Banjir di Berau dan Beberapa Daerah, Apa yang Salah?


Oleh : Anita S.M (Aktivis Dakwah)

Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Berau beberapa waktu lalu telah mengakibatkan banjir di beberapa wilayah, termasuk Kampung Talisayan, Batu Putih, Biatan, Tabalar, dan Kampung Buyung-Buyung.

Nofian Hidayat, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), menjelaskan bahwa tim evakuasi dan patroli warga setempat telah dikerahkan untuk mengevakuasi warga yang terdampak banjir. "Banjir disebabkan oleh hujan lebat serta luapan air di Sungai Arru, Kecamatan Talisayan. Ketinggian air bervariasi di setiap kampung, mencapai 2-3 meter di beberapa lokasi," ucap Nofian, Sabtu (16/03)2024).

Hujan lebat seharian sudah menyebabkan banjir, tentu bukan salah hujan. Penanganan pemerintah untuk mencegah banjir sudah dilakukan seperti drainase dan alat penyedot lumpur namun banjir tetap terjadi. Padahal kalau dikaji lebih dalam faktor hulu atau penyebabnya adalah masifnya batu bara dan kelapa sawit yang akan gantikan batu bara nantinya. Banjir terjadi karena salah tata kelola alam dg paradigma kapitalis bukan hujan lebat semata.

Banjir sendiri terjadi karena ada dua faktor yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam yaitu karena curah hujan yang sangat ekstrim, sedangkan faktor manusia karena alih fungsi lahan dan perumahan.

Lahan yang seharusnya jadi daerah resapan namun berubah menjadi lahan komersial. Lahan yang semula hutan, pertanian atau perkebunan beralih fungsi menjadi pertambangan atau infrastruktur oleh para kapitalis (pemilik modal).

Jamak diketahui para Kapitalis tidak memandang halal dan haram. Mereka hanya memikirkan adanya keuntungan dari setiap apa yang mereka kerjakan. Jika diperhatikan kembali, penyebab utamanya adalah karena kebijakan negara baik menyangkut pengelolaan tata ruang / tata wilayah abai terhadap penjagaan dan kelestarian lingkungan.

Padahal akar dari masalah terjadi banjir adalah karena salahnya sistem yang dipakai, yaitu sistem sekuler-kapitalisme (sistem yang menerapkan para pemilik modal berkuasa karena berasaskan untung dan rugi saja). Banjir akan terus berulang meski pemerintah melakukan berbagai penanganan. Oleh karena itu perlu dikaji ulang sistem yang dipakai saat ini. Jangan sampai terjebak dalam solusi yang tidak menyentuh akar, yakni penerapan sistem kapitalisme. 

Balikpapan dan Kaltim padahal kaya dan termasuk wilayah IKN baru, tidak seharusnya banjir. Jika banjir terus berulang bagaimana nantinya jika pembangunan IKN rampung, akankah semakin terdampak kebanjiran?

Tentu berbeda dengan negara Islam. Sistem Islam mampu mewujudkan perlindungan terbaik untuk rakyatnya. Dalam hal mencegah terjadinya banjir maka negara akan melihat penyebab banjir dan memetakan kawasan. Jika banjir disebabkan karena hujan maka negara akan membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran air, hujan dan sebagainya. 

Selanjutnya negara akan membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah tersebut. Negara juga memberi sanksi berat terhadap pihak yang merusak lingkungan hidup tanpa pandang bulu. 

Cara tersebut sangat efektif dan efisien dalam menangani banjir. Jika terjadi banjir dan bencana lainnya negara dalam Islam memiliki badan khusus sigap yaitu biro At Thawari mereka dilengkapi dengan peralatan-peralatan alat berat, evakuasi, obat-obatan dan alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.

Demikianlah kehebatan sistem Islam dalam mengatasi banjir yang tidak akan bisa direalisasikan oleh rezim saat ini. Sungguh kita merindukan sistem Islam kaffah yang pemimpinnya betul-betul memperhatikan umatnya. Kita berdoa moga sistem Islam bisa segera diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Allahu’alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar