Oleh : Anita
Harga beras mengalami gejolak sejak persediaannya tidak sebanyak yang dikonsumsi. Pada panen raya delapan bulan terakhir, produksi beras Indonesia mengalami penurunan. United States Department of Agriculture (USDA) melaporkan bahwa pada 2023, Indonesia hanya mampu memproduksi 34 juta metrik ton, padahal kebutuhan konsumsi masyarakat sebesar 35,7 juta metrik ton. Jadi, defisitnya 1,7 juta metrik ton.
Pada saat bersamaan, negara-negara tetangga justru mengalami surplus beras. USDA mencatat Thailand mendapatkan surplus 8,4 juta metrik ton, Vietnam surplus 5,5 juta metrik ton, dan Kamboja surplus 1,88 juta metrik ton. Kelebihan beras itu karena hasil produksi lebih banyak dari jumlah konsumsinya. (Katadata, 22-2-2024).
Upaya Pemerintah
Pemerintah melakukan dua strategi untuk menanggulangi naiknya harga beras. Pertama dengan impor, kedua dengan melakukan operasi pasar. Para pemegang kebijakan itu berharap dengan solusi itu, harga beras akan berangsur turun.
Di Kaltim Kebutuhan beras selama setahun di mencapai 350 ribu ton. Akan tetapi, produksi beras yang mampu dipenuhi baru 140 ribu ton. Kondisi itu membuat Kaltim harus mendatangkan pasokan beras dari luar daerah.
“Kita tidak bisa terus-menerus bergantung kepada beras. Untuk menggenjot produksi beras tergantung cuaca. Makanya ke depan harus ada upaya diversifikasi pangan dan tidak bergantung pada beras,” kata Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim Akmal Malik di sela-sela inspeksi mendadak di Kompleks Pergudangan Bulog, Jalan Mayjen Sutoyo, Kelurahan Klandasan Ilir, Kecamatan Balikpapan Kota, Senin (26/2).
Akmal menuturkan, diversifikasi atau penganekaragaman diversifikasi hasil pertanian penting dilakukan. Agar ketergantungan masyarakat Kaltim terhadap beras dapat dikurangi pada masa yang akan datang. Selain persoalan produksi beras yang belum mampu memenuhi kebutuhan Kaltim, masalah lainnya adalah penyusutan areal sawah di Kaltim. (Kaltimpost Balikpapan Selasa, 27/02/24)
Dari data yang diterima Akmal, dalam beberapa tahun terakhir luas sawah menyusut karena persoalan irigasi dan alih fungsi lahan. Terbanyak di tiga kabupaten yang selama ini menjadi lumbung beras Kaltim. Yakni Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Di PPU, sebut dia, tercatat lahan pertanian hanya menyisakan 6 ribu hektare. Dari luasan sebelumnya sekira 8 ribu hektare. Juga di Kabupaten Paser. Penyusutan lahan pertanian menyisakan 11 ribu hektare. Dari luasan sebelumnya sekira 12 ribu hektare.
“Karena petani kesulitan air, akhirnya mereka beralih menanam sawit. Di Kukar juga begitu. Dari 18 ribu hektare lahan pertanian, saat ini terancam sawit dan tambang.
Pemerintah juga memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat yang membutuhkan, pendistribusian beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), bahkan ada bantuan khusus karena El Nino. Namun sayangnya, bantuan itu tidak bisa dirasakan semua masyarakat. Masih ada masyarakat yang membutuhkan, tetapi tidak mendapatkan haknya.
Sebagai upaya mengurangi ketergantungan beras, pemerintah juga telah melakukan diversifikasi bahan pangan. Cara itu dinilai sangat cocok untuk mengganti beras dengan makanan pokok yang lain.
Semua Gagal?
Sayangnya, di tengah usaha besar itu, pemerintah tidak mampu mengendalikan harga pupuk. Lebih parah lagi, subsidi pupuk yang selama ini dibutuhkan para petani sudah berkurang sehingga para petani harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk dan obat-obatan. Pada akhirnya, banyak petani yang modalnya pas-pasan tidak bisa mengurus tanaman dengan maksimal.
Tidak sampai di situ, serbuan berbagai macam hama, seperti wereng, jamur, tikus, dsb. juga membuat tanaman padi tidak bisa tumbuh subur. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membasmi. Hanya saja, hasilnya tidak sebanyak panen sebelumnya.
Pengalihfungsian lahan secara besar-besaran dari tanah pertanian menjadi industri juga mengurangi luas lahan pertanian. Dengan kesulitan yang terjadi, ditambah lahan pertanian yang makin sempit, membuat hasil pertanian jadi menurun. Meskipun saat ini banyak proyek tentang food estate, nyatanya juga tidak banyak membuahkan hasil.
Kegagalan ini terjadi karena pemerintah selama ini terkesan hanya mengambil tindakan pada solusi praktis. Kebijakan yang diambil tidak menyentuh pada akar masalah. Kebijakan yang ada hanya dapat menahan lonjakan harga yang bisa jadi suatu saat akan terulang.
Cengkeraman Kapitalisme
Sejatinya, masalah defisit beras bukan hanya karena El Nino. Buktinya, negara lain yang sama-sama terkena imbas El Nino, produksi mereka masih surplus. Artinya, ada masalah lain yang lebih besar dari pada El Nino yang bisa memengaruhi produksi pangan.
Peristiwa pengalihfungsian lahan misalnya, tidak akan terjadi jika tidak ada pihak yang mencari dan menawarkan. Mereka yang bermodal besar akan melakukan apa saja untuk mewujudkan usahanya. Salah satunya adalah membeli lahan pertanian di wilayah pinggiran yang harganya lebih murah. Kemudian pengurangan subsidi pupuk juga menambah pilu nasib petani.
Adanya izin bagi para kapitalis untuk berbisnis pada bidang pangan khususnya beras juga berpengaruh. Mereka membeli padi dari petani dengan harga agak mahal sedikit dari pasar. Setelah masuk gudang, mereka “menyulap” padi-padi itu dalam bentuk beras kemasan dengan harga dua kali lipat bahkan lebih. Kalau begini, petani memang untung, tetapi para pengusaha tadi jauh lebih untung.
Upaya impor beras yang dilakukan pemerintah juga sering mendatangkan dikeluhkan petani. Dengan adanya beras impor, harga beras lokal ikut turun. Namun saat ini, meskipun sudah impor, ternyata harga beras masih terus bertengger. Kalaupun turun, tidak banyak. Pihak yang diuntungkan dalam hal impor beras tentu bukan petani atau masyarakat, melainkan perusahaan impor. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan para kapitalis?
Semua itu terjadi karena negara tidak menjalankan sebagaimana fungsinya. Negara harusnya mengeluarkan kebijakan yang mengayomi masyarakat. Pada kenyataannya, saat ini negara hanya bertindak sebagai regulator. Inilah bentuk cengkeraman kapitalisme. Negara tidak bisa berbuat apa-apa karena semuanya harus mengikuti sistem pasar ala kapitalisme.
Politik Pangan Islam
Islam sebagai sistem hidup yang sempurna sejatinya memiliki politik pangan tersendiri. Pertama, negara wajib hadir dalam setiap kebijakan. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya kelaparan. “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Kedua, negara akan senantiasa hadir pada produksi, distribusi hingga konsumsi. Pada tingkat produksi, negara akan menjalankan politik pertanahan Islam, seperti melarang pembangunan industri di lahan subur, memberikan lahan pertanian bagi siapa saja yang bisa menghidupkannya, melakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, dan lainnya. Sedangkan dalam distribusi, negara akan memotong rantai distribusi yang panjang sehingga harga tidak mahal, melarang adanya penipuan atau penimbunan, dan lainnya. pada tingkat konsumsi, negara memastikan setiap warga terpenuhi kebutuhannya.
Ketiga, untuk mendukung semua program negara, akan diterapkan sistem ekonomi Islam, sistem sanksi Islam, hingga sistem pendidikan Islam. Jika semua itu dapat dipenuhi, jaminan surplus pangan akan tercapai karena Allah telah berjanji dengan firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf: 96).
Dengan demikian, sebagai umat yang beriman, kita tidak boleh hanya menyalahkan faktor alam saat terjadi masalah pangan. Bisa jadi ini peringatan Allah Taala agar umat Islam mau kembali lagi kepada Islam. Sungguh, hanya Islam yang dapat menyelamatkan negeri dari cengkeraman kapitalisme. Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar