Inflasi Menjadi Tradisi, Mungkinkah Tersolusi?


Oleh: Maria Ulfa, S.S (Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali) 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga beras memberikan andil besar terhadap angka inflasi Indonesia 2023 sebesar 2,16%. Komoditas beras menyumbang inflasi 0,53%.

Selain itu, penyumbang lainnya pada inflasi 2023 yakni cabai merah dengan andil inflasi 0,24%, rokok kretek filter 0,17%, cabai rawit 0,10%, dan bawang putih andil inflasi sebesar 0,08%. Sementara inflasi bulanan pada Desember 2023 tercatat sebesar 0,14%. Penyumbang utama inflasi Desember 2023 adalah makanan, minuman, dan tembakau. (detikfinance.com 02/01/2024)

Inflasi adalah keadaan ketika harga rata-rata sejumlah barang dan jasa yang merupakan kebutuhan masyarakat cenderung naik dalam kurun waktu tertentu, biasanya dihitung dalam setahun. Inflasi bisa juga diartikan sebagai kondisi ketika daya beli menurun dari waktu ke waktu sebagai akibat dari kenaikan harga yang terus menerus (Investopedia.com). Kondisi ini seolah telah menjadi tradisi, apalagi pada saat hari raya atau mendekati hari raya. Harga-harga kebutuhan pokok menjadi semakin melambung tinggi. 

Mengapa inflasi terus terjadi? Kondisi ekonomi dalam sistem demokrasi yang mengadopsi sistem ekonomi bebas atau sistem ekonomi kapitalis memang meniscayakan terjadinya inflasi. Di mana para pedagang diberikan kebebasan berusaha dengan cara apapun. Dalam sistem ekonomi kapitalis dikenal asas dagang 'dengan modal sekecil-kecilnya, bisa dapat hasil sebesar-besarnya'. Maka akal pedagang besar kapitalis akan mampu kulak barang dalam jumlah yang banyak saat harga barang rendah. Dengan ini rawan terjadi penimbunan barang. Saat barang langka, dan harga menjadi mahal barang-barang yang ditimbun tersebut dijual. Islam melarang masyarakat menimbun barang, yang kemudian dijual dengan harga yang tinggi saat terjadi kelangkaan barang.

Faktor kelangkaan juga bisa menjadi faktor pendorong melonjaknya harga barang atau inflasi, karena sistem kapitalisme tidak memperhatikan terdistribusinya kebutuhan manusia dengan baik. 

Selain itu, sistem ekonomi kapitalis bersifat ribawi. Riba juga turut melanggengkan inflasi. Dalam ekonomi Islam, riba itu haram atau dilarang untuk diambil. Riba merupakan instrumen biaya yang akan ditambahkan secara terus menerus seiring pertambahan waktu yang kemudian akan mendorong tingkat kenaikan harga yang dapat menyebabkan inflasi. 

Allah berfirman, 
 وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا‌ ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ‌ؕ وَمَنۡ عَادَ فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِ‌ۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ
Artinya: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya" (QS Al Baqarah 275). 
 
Seharusnya negara bisa melakukan pencegahan karena inflasi merupakan problem yang berulang yang dapat dikaji pola permasalahannya dan diseriusi pemecahan masalahnya. 

Islam dengan syari'atnya yang sempurna mengatur bagaimana peran negara dalam menstabilkan harga agar tidak naik secara drastis. Terdapat pula mekanisme pemecahan masalahnya terkait bagaimana agar barang terdistribusi dengan baik sehingga tidak terjadi kelangkaan. 


Bagaimana Islam Mengatasi inflasi? 

Yang pertama adalah dengan menghapus sistem ribawi. Apabila sistem pemerintahan demokrasi berganti menjadi sistem pemerintahan Islam, maka tidak akan lagi diterapkan sistem ekonomi ribawi yang menimbulkan banyak mudarat termasuk inflasi. 

Kedua, pemerintah melakukan pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan, agar tidak ada pedagang yang menimbun bahan-bahan pokok. 

Pendistribusian dapat dilakukan dengan mengerjakan zakat, infaq dan shadaqoh. Kemudian harta itu dibagikan kepada orang yang membutuhkan untuk dapat meringankan beban hidupnya.

Ketiga, pembaruan terhadap sistem moneter. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya sistem keuangan di negara khilafah (sistem pemerintahan Islam) mengungkapkan bahwa, "sistem moneter yang berbasis kepada emas dan perak merupakan satu-satunya sistem moneter yang mampu menyelesaikan inflasi besar-besaran yang menimpa seluruh dunia, dan mampu mewujudkan stabilitas nilai tukar mata uang, serta bisa mendorong kemajuan perdagangan internasional" (M. Hatta, 2016).

Keempat, pemerintah melakukan pelarangan impor jika memang produksi dalam negeri masih mencukupi. Hal ini pernah terjadi semasa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab r.a. 

Pada masa itu kafilah pedagang yang menjual barangnya di luar negeri, membeli dari luar negeri lebih sedikit nilainya dari pada yang mereka jual (positive net export). Adanya positive net export akan menghasilkan keuntungan, keuntungan yang berupa kelebihan yang akan dibawa masuk ke Madinah, sehingga pendapatan dan daya beli masyarakat akan naik (Tsabita Fithriya, kumparan.com). 

Demikianlah cara Islam yang bisa diambil sebagai solusi untuk mengatasi inflasi. Namun, hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaan sistem pemerintahan Islam yang bisa menerapkan sistem ekonomi Islam secara totalitas. Penerapannya niscaya akan mendatangkan kemaslahatan yang nyata dan keberkahan dari Pencipta Kehidupan, Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Wallahua'lam bis shawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar