Khilafah, Solusi Hakiki Atasi Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan


Oleh: Imas Royani, S.Pd. 

Alhamdulillah kita telah memasuki bulan puasa meski dalam perbedaan awal puasa. Hal itu bukan yang pertama. Bahkan saking seringnya, masyarakat dan negara menganggap hal itu sebagai hal yang biasa. Dalam kelakar wakil presiden Ma'ruf Amin mengatakan, asal jangan awal puasa ikut yang belakangan, akhir puasa ikut yang duluan. Diharapkan Indonesia berpuasa dalam damai dan toleransi.

Perbedaan tersebut diantaranya, ada yang didasarkan pada hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sehingga awal Ramadhan jatuh pada Senin, 11 Maret 2024. Sementara Kementerian Agama mengumumkan hasil sidang isbat awal Ramadhan dimulai pada 12 Maret 2024, setelah melakukan pemantauan bulan atau hilal di 134 titik di Indonesia pada Minggu (10/3/2024). (diskominfo, 10/03/2024).

Televisi pemerintah Arab Saudi melaporkan bahwa otoritas setempat telah melihat hilal pada Minggu malam berarti, Senin 11 Maret 2024 adalah hari pertama untuk puasa. Setelah itu, sejumlah negara yang didominasi paham Sunni di Timur Tengah, mengikuti keputusan Arab Saudi, di mana Mekah dan Kabah sebagai kiblat sholat kaum muslim lima waktu sehari, ada di dalamnya.

Di Iran, yang menyebut dirinya sebagai pemimpin Islam minoritas Syiah, pihak otoritas biasanya memulai Ramadan satu hari setelah penganut Sunni memulainya. Kantor Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei sudah mengumumkan, bahwa Ramadan akan dimulai pada Selasa, menurut kantor berita pemerintah IRNA, (10/03/2024).

Ada juga sejumlah negara di Asia-Pasifik, seperti Australia, Brunei, Malaysia, Singapura, termasuk Indonesia, yang akan memulai Ramadan pada Selasa, setelah gagal melihat hilal lokal pada hari Minggu malam. (RRI, 10/03/2024).

Kendati perbedaan ini sudah dianggap biasa, namun tidak dipungkiri dapat berpotensi memicu konflik horizontal, bahkan disintegrasi, serta melemahkan posisi umat Islam di mata umat lainnya, perbedaan awal dan akhir Ramadhan ini memiliki akibat-akibat hukum yang tidak bisa disepelekan. Bukankah syariat Islam memerintahkan seorang muslim berpuasa begitu sudah masuk waktunya? Bukankah syariat juga menetapkan batas akhir waktu pelaksanaan zakat fitrah? Bukankah terlarang bagi seorang muslim untuk berpuasa pada hari raya?

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab munculnya problem tersebut. Pertama, masalah fikih, seperti penggunaan metode yang berbeda antara rukyat atau hisab, lalu antara rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya. Kedua, masalah ilmu pengetahuan (sains), terkait teknologi rukyatulhilal yang mestinya sudah selesai. Ketiga, masalah politik, yakni terkait siapa pemegang otoritas yang wajib ditaati oleh umat Islam dalam hal penentuan awal dan akhir bulan hijriah, khususnya Ramadhan.

Dalam khazanah keilmuan fikih Islam, perkara penetapan awal dan akhir Ramadhan memang masuk dalam ranah khilafiah. Diskusi para ulama tentang hal ini termasuk cukup intens, meskipun akhirnya mengerucut pada dua pandangan yang berbeda.

Di luar ulama tabiin bernama Muttarrif ibn Abdillah bin Asy-Syikhkhir (w. 95/714) yang disebut-sebut sebagai ulama yang pertama kali diketahui membolehkan penggunaan hisab untuk penentuan awal Kamariah, jumhur ulama, termasuk empat imam mazhab yang masyhur di tengah umat Islam, justru mewajibkan penggunaan rukyat sebagai metode penentuan awal dan akhir Ramadan atau penanggalan hijriah.

Hanya saja, Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi diketahui mewajibkan kesatuan awal dan akhir Ramadan bagi umat Islam di dunia (rukyat global). Mereka memahami bahwa rukyat seorang muslim di suatu wilayah berlaku bagi kaum muslim di wilayah-wilayah bumi lainnya (kesatuan/wihdatul mathla). Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw., “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” (HR Al-Bukhari 1776; Muslim 1809; At-Tirmidzi 624; An-Nasa’i 2087).

Sementara itu, kalangan Syafi’iyyah (bukan Imam Syafi’i) disebut-sebut memiliki pertimbangan soal perbedaan/ikhtilaful mathla (tempat terbit bulan) dengan jarak perbedaannya sekira 24 farsakh atau sekitar 133,057 km. Menurut mereka, rukyat pada suatu daerah, berlaku hanya untuk daerah tersebut dengan daerah terdekat yang diukur sebagai jarak antar matlak. Oleh karenanya, perbedaan matlak dalam konsep mereka memungkinkan terjadinya perbedaan awal dan akhir Ramadan.

Namun, para ulama yang mendalami diskusi ini menilai bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang paling kuat. Terlebih konsep ikhtilaful mathali’ yang digunakan kalangan Syafi’iyah ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tempat terbit bulan di muka bumi, nyatanya hanya satu, bukan ada pada daerah dengan jarak matlak. Hal ini sesuai dengan keberadaan bulan bagi bumi yang jumlahnya juga hanya satu.

Selain itu, pendekatan yang digunakan kalangan Syafi’iyah memang terkait dengan realitas sulitnya alat komunikasi pada zaman itu sehingga pendekatan konsep matlak ini menjadi sangat tidak relevan dengan kondisi hari ini yang kabar tentang rukyatulhilal di suatu tempat bisa dengan mudah diketahui oleh umat Islam di belahan bumi lainnya secara cepat bahkan real time, karena teknologi yang makin hari makin canggih.

Hanya saja saat ini dan pada sistem ini, urusan penetapan awal dan akhir Ramadan lebih dominan dipengaruhi oleh kepentingan politik pragmatis rezim penguasa. Terpecahnya umat Islam dalam lebih dari 50 negara bangsa membuat para penguasa, termasuk Indonesia, abai terhadap kewajiban syarak untuk memulai dan mengakhiri Ramadhan pada waktu yang sama. Mereka tidak peduli bahwa urusan ibadah puasa berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya. Pelaksanaan ibadah puasa jelas sangat berpengaruh terhadap corak kehidupan umat Islam sedunia.

Konsep perbedaan matlak yang ada dalam fikih Syafi’iyah dijadikan dalih untuk mempertahankan ego kebangsaannya. Mereka berani memodifikasi konsep matlak ala Syafi’iyah ini menjadi wilayah hukmiyah yang merujuk pada batas-batas wilayah negara bangsa buatan para penjajah dan jelas-jelas tidak ada landasan syar’i-nya. Alhasil rukyat negara tetangga yang berdekatan pun tidak dianggap sebagai rukyat mereka. Apalagi rukyat penduduk negeri-negeri lainnya yang letaknya lebih berjauhan.

Sungguh, mereka tidak merasa berdosa ketika umat Islam berulang kali terlibat dalam polemik panas setiap jelang puasa, lalu memulai dan mengakhirinya pada waktu yang berbeda-beda. Mereka pun tidak peduli jika pada saat yang sama umat Islam di dunia menjadi bahan tertawaan bagi musuh-musuhnya.

Munculnya perbedaan dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam. Hal ini terjadi terutama setelah lenyapnya pemerintahan yang menerapkan sistem Islam, yaitu Khilafah. Karena hanya dengan hadirnya seorang pemimpin yang menerapkan sistem Islam (Khalifah), maka umat Islam di seluruh dunia dapat bersatu dalam satu komando. 

Sebagaimana saat ini umat lain yang memiliki pemimpin dunia, maka mereka bersama-sama dalam perayaan hari besar mereka. Mereka dahulu mencontoh dari Islam. Mengapa umat Islam sendiri malah mencampakkannya, malah berbangga diri di bawah bendera toleransi? Jika benar penganut toleransi, contohlah Rasulullah Muhammad Saw. karena beliau telah mengajarkan bagaimana toleransi yang benar sesuai tuntunan Allah SWT. Bukan toleransi kebablasan ala kapitalisme. 

Ketika Khilafah tegak, sepanjang belasan abad, umat Islam menyatu dalam sebuah wilayah kepemimpinan. Khalifah benar-benar berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat dari segala hal yang membahayakan, termasuk pelanggaran syariat dan potensi keterpecahbelahan. Penerapan syariat kaffah oleh Khilafah kala itu benar-benar menjadi kunci kemuliaan dan kekuatan umat Islam.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali hidup di bawah naungan institusi pemersatu hakiki. Caranya adalah dengan menggencarkan aktivitas dakwah pemikiran di tengah-tengah umat agar mereka memiliki keimanan yang kukuh dan siap diatur dengan aturan-aturan Islam kaffah. Dengan dakwah ini pula umat diberi pemahaman bahwa hidup dalam sistem sekuler jahiliah ala Barat, termasuk negara bangsa, hanya berujung kehinaan dan penderitaan.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar