Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Alhamdulillah, bulan penuh berkah hadir lagi dan Allah masih memberikan kesempatan bagi kita menikmatinya. Ucapan selamat menjalankan ibadah puasa kita temui dimana-mana, aneka iklan yang hanya muncul di bulan Ramadhan pun semakin meramaikan suasana, pedagang-pedagang takjil dadakan memenuhi ruas jalan jelang waktu berbuka. Suasana di masjid-masjid juga semarak dengan aneka agenda, mulai dari buka bersama (bukber), tarawih, tadarus dan itikaf.
Diantara kebahagiaan menyambut bulan Ramadhan, ada rasa miris yang selalu hadir terutama bagi ibu rumah tangga, para pedagang di pasar juga pelaku usaha rumahan dalam bidang pangan. Hal ini dikarenakan di setiap datang bulan Ramadhan harga-harga kebutuhan pokok selalu mengalami kenaikan. Apalagi untuk tahun ini, beras sebagai makanan pokok mengalami kenaikan harga yang signifikan.
Dilansir dari cnbcindonesia.com (14/03/2024), harga pangan masih terus mengalami kenaikan. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menyebut bahwa harga beras masih bertahan di Rp 16.000 per kg untuk jenis medium, yang artinya jauh diatas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp. 10.900 per kg. Begitu juga dengan harga bahan pokok lain seperti bawang merah, bawang putih, cabe, daging ayam, daging sapi, telur, gula dan minyak goreng, semuanya juga mengalami kenaikan.
Adalah wajar terjadi permintaan konsumen yang meningkat pada bulan Ramadhan. Permintaan bertambah tentu akan berimbas dengan naiknya harga penawaran, namun sebenarnya hal ini sangat bisa diantisipasi oleh negara agar lonjakan kenaikan harga tak sampai memberatkan warga. Apalagi ini terjadi di setiap tahunnya. Namun sistem kapitalisme yang menguasai dunia memang membuat Ramadhan berkurang maknanya. Negara tak memprioritaskan agar warga dapat khusuk beribadah tanpa harus memusingkan kenaikan harga bahan pokok kebutuhan mereka.
Maka yang terjadi di bulan Ramadhan justru masyarakat bekerja lebih keras demi menambah penghasilan karena harga bahan pokok melonjak naik. Ditambah pola konsumtif masyarakat di sistem kapitalisme ini semakin menjadikan Ramadhan yang merupakan bulan mulia seakan hanya seremoni saja. Masyarakat justru sibuk mengejar berbagai promo dan diskon yang ditawarkan. Malam-malam terakhir Ramadhan justru diisi dengan keliling mall dimana para produsen bermental kapitalis melakukan banting harga produk mereka.
Sedih namun itulah yang terjadi. Selama sistem kapitalisme masih merajai maka bulan Ramadhan tidak akan mendapat keutamaan dan perlakuan istimewa dari negara. Akan berbeda jika Islam sebagai sistem diterapkan maka Ramadhan akan menjadi bulan yang istimewa.
Islam menghadirkan pendidikan akidah yang lengkap bagi masyarakat sehingga terbentuk pola pikir dan pola sikap Islami. Umat disadarkan akan pentingnya syariat dalam setiap perbuatan. Pemahaman Islam yang benar akan menekan pola konsumtif masyarakat selama bulan Ramadhan.
Fokus umat adalah bagaimana beribadah dengan sebaik-baiknya pada bulan Ramadhan. Permintaan yang meningkat adalah dikarenakan tingginya sedekah antar masyarakat bukan karena sikap boros dan konsumtif.
Negara menjaga kestabilan harga agar dapat dijangkau semua pihak. Berbagai kebijakan akan dilakukan agar tidak terjadi penimbunan yang mengakibatkan stok menipis di pasaran dan harga naik. Negara akan memberikan fasilitas terbaik melayani rakyat yang akan menjalani ibadah puasa Ramadhan karena fungsi negara dalam Islam adalah sebagai raa’in atau pengurus umat.
Kebijakan yang diambil pemimpin dalam Islam akan membuat warga nyaman dalam beribadah Ramadhan tanpa memikirkan harga bahan pokok yang melonjak. Kesadaran umat juga dengan sendirinya terbangun dengan pendidikan akidah yang benar sehingga berkah Ramadhan akan terasa di seluruh penjuru dunia ketika syariat Islam telah diterapkan secara kaffah.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar