Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Pembelajaran di sekolah baru memasuki awal semester dua. Namun bagi siswa yang berada di kelas akhir, sudah jauh-jauh hari merancang dan mengincar kemana kira-kira akan melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Begitupun dengan orang tua dan wali dari siswa tersebut yang tentu menginginkan anaknya mendapat pendidikan terbaik untuk bekalnya di dunia juga akhirat.
Untuk meraih hal itu biasanya para orang tua dan wali memilih Pondok Pesantren (Ponpes). Namun akhir-akhir ini banyak sekali diberitakan kasus kekerasan yang menimpa santri, mulai dari kekerasan seksual hingga bullying. Bahkan ada diantaranya yang sampai meninggal dunia. Tentu hal ini membuat para orang tua dan wali ragu serta cemas untuk memutuskan agar anaknya mondok.
Kasus yang mencuat diantaranya: Santri Ponpes PPTQ Al-Hanafiyyah di Mojo, Kediri, Jawa Timur, Bintang Balqis Maulana (14) meninggal dunia akibat dianiaya seniornya. Sebelumnya, santri di Lawang, Kab. Malang dianiaya seniornya dengan cara disetrika dengan setrika uap. Santri di Jambi dianiaya senior hingga luka parah. Pada Desember 2023, seorang santri (18) Ponpes Husnul Khotimah di Kuningan, Jawa Barat tewas karena dikeroyok temannya. Pada September 2023, seorang santri (15) tewas dianiaya delapan rekan sebayanya di sebuah Ponpes di Temanggung. Pada Maret 2023, seorang santri di Bangkalan, Madura tewas dikeroyok oleh seniornya. Sementara itu, sempat viral pada 2022, seorang santri Ponpes Modern Gontor tewas dianiaya dua seniornya karena disebut menghilangkan alat berkemah. Belum lagi kasus kejahatan seksual yang menimpa santri putri maupun putra yang dilakukan oleh pihak pengasuh pesantren, seperti yang terjadi di salah satu Ponpes di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan pelecehan santri putri di Luwu, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menyatakan, karena lemahnya pengawasan di pesantren sehingga tidak terpantau setiap saat bagaimana perilaku anak, bagaimana pergaulan anak dengan sesama santri. Aris pun meminta Kemenag membuat sistem perlindungan anak di pesantren yang kuat dan menghadirkan regulasi pencegahan dan penanganan yang profesional. (Tirto, 29-2-2024).
Prof. Dr. Ing- Fahmi Amhar di laman medsosnya menyebutkan sebab terjadinya kekerasan di Ponpes, diantaranya:
1. Muaddib di asrama masih muda, kadang alumni pondok yang sedang menyelesaikan masa bakti, dan secara psikologis juga belum matang.
2. Ada santri yang memang memiliki kelemahan fisik (misal sedang penyembuhan dari TBC). Namun malah sering dibully oleh teman-temannya. Dipanggil "Si TBC". Kemudian ketika santri ini kurang sat-set (karena alasan fisik ini), muaddib atau bahkan ustadz, tidak percaya. Menuduh si santri berbohong soal kesehatannya. Dituduh berbohong ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi seorang santri di lingkungan pesantren.
3. Pernah juga terjadi, anak sebenarnya suka nyantri. Namun, dia dikenal anak seorang tokoh terkenal. Sayangnya bakatnya berbeda dengan ayahnya. Ayahnya ahli matematika. Anaknya senang bahasa. Nah anak dibully teman-temannya, "Masak anak Pak Anu, koq gak bisa matematika". Ini jadi beban tersendiri juga.
4. Ditambah ada doktrin dari unsur pimpinan pesantren, bahwa "Orang tua yang menitipkan anaknya nyantri, kalau pingin anaknya jadi, harus tega". Doktrin "harus tega" ini memang kadang diperlukan, namun tidak boleh mematikan empati terhadap kasus per kasus yang dapat saja melanda anak didik, semisal kalau ada perundungan seperti ini.
5. Orang tua mengirimkan anak ke pondok karena nakal, bandel, sudah kewalahan dinasihati tetap bandel. Begitupun banyak orang tua lain. Akhirnya anak-anak nakal berkumpul dari seluruh penjuru, jadi tambah nakal karena berjamaah.
Berdasarkan hal tersebut Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra membeberkan tips bagi orang tua sebelum memutuskan untuk menyekolahkan anak mereka ke Ponpes, antara lain:
1. Para orang tua wajib membekali anak-anaknya dengan pendidikan dan akhlak yang baik. Anak-anak perlu dididik untuk memiliki empati dan sikap menghargai orang lain sehingga dapat menempatkan diri di lingkungan manapun.
2. Para orang tua perlu memahami bahwa interaksi secara langsung dengan anak akan berkurang. Oleh karena itu, meski tidak bisa bertemu langsung setiap saat, orang tua perlu membangun pola komunikasi yang terbuka dan intens untuk mengetahui keadaan anak serta memastikan berada dalam kondisi yang sehat fisik maupun mental.
3. Para orang tua harus mengetahui secara pasti lingkungan dan budaya yang ada sebelum memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di Ponpes. Hal itu bertujuan agar orang tua benar-benar tahu dan yakin bahwa Ponpes yang dipilihnya sesuai dengan harapan. (Liputan6 online, 02-03-2024).
Namun ada hal mendasar yang tidak boleh kita lupakan, bahwa kasus semacam ini bukan hanya karena kelalaian individu santri, orang tua, ataupun pihak Ponpes semata. Semua ini akibat penerapan pola kehidupan sekularisme yang telah melahirkan gaya hidup bebas sehingga berpengaruh dalam kehidupan Ponpes. Akibatnya, pengasuh yang seharusnya mendidik dan menjadi teladan justru melakukan bullying terhadap santri. Begitupun dengan sesama santri. Mereka yang seharusnya saling membantu dalam thalabul Ilmi, justru saling baku hantam hanya karena persoalan ego masing–masing.
Ditambah dengan penerapan sistem pendidikan sekularisme yang telah menjadikan kajian Islam hanya sebatas untuk diketahui, bukan untuk diterapkan. Islam hanya mengatur ranah privat sebatas salat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan untuk ranah publik (politik), syariat Islam tidak boleh mengaturnya. Sekularisme telah menjauhkan manusia dari standar perbuatan dalam Islam, yaitu halal atau haram. Manusia sekuler tidak peduli pahala dan tidak takut dosa, mereka berbuat semaunya, asal menyenangkan dirinya. Selama sistem pendidikan dan sistem kehidupan di negeri ini masih sekuler, kekerasan seksual dan bullying akan terus terjadi.
Untuk menghentikannya, tidak ada jalan lain kecuali harus ada upaya besar mengubah pola kehidupan sekularisme dengan pola kehidupan Islam. Sistem Islam harus diterapkan dalam seluruh pengaturan kehidupan baik di ranah privat (ibadah mahdhah), maupun ranah publik dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk penerapan hukum Islam terkait sanksi (hukuman) bagi pelaku tindak kekerasan terhadap orang lain.
Islam memiliki seperangkat sistem yang efektif mencegah bullying. Dari sisi pengasuhan, Islam mewajibkan orang tua untuk mendidik anaknya agar menjadi orang yang saleh dan dijauhkan dari azab neraka.
Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6).
Sistem sanksi dalam Islam memiliki aturan yang sempurna, bagi pelaku kekerasan akan dihukum dengan sanksi yang menjerakan, sesuai dengan kejahatan yang dia lakukan. Setiap pelaku kekerasan yang sudah balig harus dihukum dengan saksi yang tegas, meski usianya masih di bawah 18 tahun. Terkait dengan penganiayaan, berlaku hukum kisas, yaitu balasan yang setimpal.
Allah berfirman,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama).”(QS Al-Maidah: 45).
Sistem pendidikan Islam tidak hanya mengurus santri, tetapi juga guru dan lembaga pendidikannya. Negara (Khilafah) tidak melarang adanya individu yang membuka sekolah, tetapi harus mengikuti kurikulum dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan negara. Hal ini berarti semua lembaga pendidikan di dalam negara, menerapkan kurikulum Islam berbasis akidah Islam dan aturan sesuai syariat Islam.
Sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan sehingga meringankan beban orang tua. Tidak ada istilah “kerja keras bagai kuda” hingga melalaikan pendidikan anak. Dengan demikian para orang tua akan bisa menjalankan fungsi pengasuhan dengan optimal. Tidak akan ada anak yang terabaikan karena orang tua terlalu sibuk bekerja. Setiap orang tua paham bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga dengan baik.
Selain itu, semua lembaga pendidikan di dalam negara yang menerapkan sistem Islam akan menyediakan pendidikan gratis, karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib menyediakan pendidikan terbaik bagi rakyat secara gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Bahkan, para murid/santri mendapatkan buku, alat tulis, seragam, makan minum, asrama, dan baju ganti secara gratis. Kalaupun dikenakan biaya, tentu akan terjangkau karena yang diutamakan adalah kualitas, bukan mencari keuntungan materi semata apalagi menjadi lahan bisnis seperti dalam sistem sekarang.
Para guru dan pengurus sekolah akan mendapatkan gaji yang sepadan, bukan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa/upah. Lembaga pendidikan akan dibina oleh negara agar mereka memahami visi, misi, strategi, dan kurikulum pendidikan Islam. Negara akan proaktif mendata, mengurus, mengevaluasi, dan mengawasi semua lembaga pendidikan yang ada di tengah masyarakat secara profesional sehingga tidak akan ada murid/santri yang terabaikan hingga mengalami penganiayaan.
Inilah gambaran negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah dalam institusi Khilafah. Dengan penerapan ini, para wali dan Calon santri tidak akan merasa cemas untuk memutuskan anaknya mondok. Namun tegaknya Khilafah membutuhkan para pengemban dakwah yang ikhlas dan bersungguh-sungguh. Mari bersama-sama berada dalam barisan terdepan para pengemban dakwah agar impian dan semua harapan segera terwujud.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar