Oleh : Widya Soviana (Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat)
Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh keberkahan, karena berbagai amalan akan mendapat pahala berlipat ganda. Namun sayangnya kekhusyukan Ramadhan acapkali dihadapi oleh, tantangan ekonomi bagi sebagian besar rakyat. Kenaikan harga pangan menjelang bulan suci merupakan situasi musiman seperti tahun-tahun sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan harga komoditas pangan mengalami inflasi pada bulan Ramadan (cnbcindonesia, 01/03/2024). Hal ini menjadi sebuah tradisi yang tidak menyenangkan dan memberatkan bagi rakyat yang memiliki pendapatan harian dengan upah rendah. Waktu yang semestinya dialokasikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala terpaksa tergantikan dengan peningkatan beban kerja, memeras keringat dan membanting tulang. Masyarakat terpaksa memilih kondisi ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari setiap kali Ramadhan tiba.
Beberapa penyebab kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan khususnya beras, dapat dijelaskan berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2024. Inflasi bulan Februari tersebut mencapai 0,37 persen secara bulanan, 2,75 persen secara tahunan dibandingkan dengan Februari 2023, dan mencapai 0,41 persen secara year to date. Komoditas yang paling berpengaruh dalam menyumbang inflasi pada bulan Februari adalah beras. Harga beras dan gabah terus meningkat sejak Januari 2022 dan mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah. Kondisi ini menjadi pemicu utama kenaikan harga pangan secara umum, dengan dampak yang terasa dalam berbagai sektor, termasuk warung makan dan rumah makan sehari-hari (kumparan.com, 01/03/2024).
Ramadhan yang semestinya mengurangi makan dan minum, tetapi justru meningkatkan permintaan terhadap pangan tersebut. Fenomena ini juga disebakan berbagai keadaan seperti salah satunya adalah memanfaatkan semangat bersedekah dan berbagi yang tinggi pada bulan suci ini. Sebagian umat Islam tidak segan untuk memanfaatkan momen ini guna meraup keuntungan yang besar dalam meraih pahala di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizhi, Ibnu Majah dan Ahmad “Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga.”
Namun adapula sebagian umat Islam yang memiliki kesalahan persepsi mengenai bagaimana seharusnya beribadah dan beramal shalih selama bulan Ramadhan. Meningkatnya keinginan yang tidak didasari oleh kebutuhan juga turut berkontribusi pada naiknya permintaan dan harga pangan. Ramadhan yang semestinya mengajarkan untuk menahan diri sehingga munculnya rasa empati untuk berbagi terhadap masyarakat fakir dan miskin, malah melampiaskan segala ingin terhadap berbagai hidangan yang aneka rupa di kala berbuka puasa. Puasa menjadi sebatas ritual menahan makan dan minum saat siang hari, namun tak ada hikmah untuk menjadi diri yang semakin bertakwa. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam surah Al Baqarah ayat 183 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaiman diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ajaran Islam mendorong setiap muslim untuk memasuki bulan Ramadhan dengan memperbaiki amal dengan banyak melakukan ibadah. Peran pemerintah menjadi sangat penting dalam memfasilitasi masyarakat agar dapat menjalani ibadah Ramadhan dengan lancar. Negara berkewajiban memberikan pendidikan terbaik kepada umat agar mereka memiliki pemahaman yang benar tentang ibadah Ramadhan, termasuk pola konsumsi yang bijak. Hal ini semata untuk memperoleh ridha Allah Ta’ala dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi masyarakat yang menjalankan ibadah puasa.
Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala negara memiliki peran yang signifikan sebagai suri tauladan. Seorang Khalifah mampu mendorong umatnya untuk bersegera dalam kebaikan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat rezeki yang lebih besar. Nilai-nilai keislaman menjadi fondasi utama, menggantikan budaya hidup individualis dan kapitalis. Negara berusaha menciptakan lingkungan di mana umat dapat menjalankan ibadah Ramadhan tanpa terbebani oleh masalah ekonomi yang berlebihan, seperti yang tengah dialami saat ini.
Dengan kesadaran akan kemuliaan bulan Ramadhan di kalangan umat Islam, kenaikan harga pangan yang disebabkan oleh konsumsi berlebihan dapat dihindari. Demikian pula, beban masyarakat miskin dapat terentang dengan kontribusi umat dalam upaya kebaikan dan kesejahteraan bersama. Bulan Ramadhan yang dipenuhi berkah seharusnya tidak menjadikan kesulitan bagi masyarakat fakir dan miskin, asalkan peran negara dan pemahaman yang tepat tentang ajaran Islam dapat dijalankan dengan baik. Dengan demikian, kenaikan harga pangan tidak akan menjadi hambatan utama bagi seluruh umat Islam dalam menjalankan ibadah Ramadhan dengan khidmat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar