THR OH THR


Oleh : Nur Hidayati (Lisma Bali)

Tak asing di telinga kita istilah THR atau tunjangan hari raya. Tentunya hal ini sangat diharapkan oleh sebagian besar orang dimana saat ini harga-harga kebutuhan pokok dan yang lainnya terus melonjak. Dengan adanya THR, mereka berharap bisa sedikit mengurangi beban mereka menjelang hari raya. Menurut berita CNN Indonesia, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (MenPAN-RB), Abdullah Azwar Anas, mengatakan "Tenaga kerja honorer yang ada di Kementerian/Lembaga (K/L) tidak akan mendapatkan THR".

Itu berarti yang akan mendapatkan THR hanyalah pejabat negara atau pemerintahan, seperti Presiden dan wakilnya, ketua dan wakil ketua MPR dan DPR, dan pejabat lainnya. Sedangkan buruh, petani, dan pedagang tidak mendapatkan THR.

Tentu saja hal ini dapat menyebabkan timbulnya kesenjangan sosial di masyarakat, dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin. Padahal sejatinya THR tersebut berasal dari APBN dan APBD yang tak lain bersumber dari pajak rakyat.

Kondisi seperti ini merupakan dampak dari rusaknya sistem batil sekularisme kapitalisme yang di dalam sistem ini manusia berhak mengatur urusan mereka sesuai kepentingannya masing-masing.

Dalam Islam, syari'at mengatur kesejahteraan seluruh umat bukan sebagian kelompok tertentu. Di dalam Islam, kebutuhan dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan pokok yang meliputi sandang, pangan, dan papan. Dan yang kedua kebutuhan pokok dasar publik yang meliputi kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dan semua hal di atas diatur oleh negara tanpa membedakan yang satu dengan yang lainnya. 

Seperti yang tertulis di kitab Nizamul Islam karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani bab Rancangan Undang-Undang Dasar pasal 36 tentang wewenang seorang Khalifah, bahwa seorang Khalifah memiliki wewenang dalam menentukan hukum syara' yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara, dan dia pula yang menentukan rincian nilai APBN, pemasukan maupun pengeluarannya.

Islam juga memiliki sistem gaji bagi pekerja yang tentunya sangat jauh berbeda dengan sistem gaji dalam sistem sekulerisme kapitalisme. Sesuai dengan kitab Nidzamul iqtishodi, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa gaji yang didapat harus sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja dan sesuai dengan jenis pekerjaannya. Tentu saja dengan mengikuti aturan Islam tak akan ada lagi yang namanya kecemburuan sosial di masyarakat.

Wallahu a'lam bishowab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar