Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Pemerintah berencana memberikan hak cuti kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) saat istrinya melahirkan. Hak cuti itu disebut sebagai hak cuti ayah yang diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai aturan pelaksana dari UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.
Pemerintah akan memberikan hak cuti kepada suami yang istrinya melahirkan atau keguguran. Cuti mendampingi istri yang melahirkan itu menjadi hak ASN pria yang diatur dan dijamin oleh negara,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB) Abdullah Azwar Anas, dilansir dari laman KemenpanRB. Menurut Azwar Anas, suami berperan penting dalam pendampingan ketika sang istri melahirkan, termasuk saat fase-fase awal pasca-persalinan.
Sebelumnya, cuti suami ketika istrinya melahirkan tidak diatur secara khusus. Aturan sebelumnya hanya mengatur cuti melahirkan bagi ASN perempuan.
Namun, sejumlah negara dan perusahaan multinasional sudah memberikan fasilitas tersebut, seperti Spanyol, Korea Selatan, Jepang, dan Islandia. Lantas, berapa lama cuti ayah atau suami saat istri melahirkan diberikan?
Usulan waktu cuti ayah saat istri melahirkan Cuti ayah akan diberikan bagi para ASN pria ketika istrinya melahirkan atau keguguran. Lama cuti ayah ini masih digodok oleh pemerintah. Namun, waktu cuti ayah tersebut diusulkan berkisar 15 hari, 30 hari, 40 hari, dan 60 hari. "Untuk waktu lama cutinya sedang dibahas bersama stakeholder terkait yang akan diatur secara teknis di PP dan Peraturan Kepala BKN," ungkap Anas.
Usulan cuti ayah ini merupakan bentuk aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, mulai dari stakeholder, termasuk DPR. Usulan tersebut kemudian masuk ke dalam salah satu poin RPP tentang Manajemen ASN sebagai aturan pelaksana dari UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. RPP tersebut ditargetkan tuntas maksimal April 2024.(Kompas.com)
Kerusakan Sistemis
Latar belakang lahirnya kebijakan cuti ayah ini adalah karena pemerintah memandang pentingnya peran ayah yang mendampingi istri melahirkan dan fase awal pascapersalinan, yakni sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas SDM sejak dini.
Namun, jika menilik kondisi generasi di negeri kita saat ini, sejatinya mereka sudah terlalu banyak dihantam berbagai pemikiran beracun. Lihat saja persoalan judi online, mayoritas penggunanya adalah siswa sekolah. Juga kasus L687 yang sebagian besar pelakunya adalah anak laki-laki berusia belasan tahun.
Tambahan lagi jerat pinjol yang tidak kalah miris karena yang turut terlibat adalah kalangan mahasiswa yang notabene kaum intelektual sekaligus agen perubahan. Ini masih belum data kerusakan generasi dari aspek lainnya, seperti krisis kepemimpinan, tingginya angka gaul bebas dan kriminalitas dengan pelaku kaum muda.
Coba kita pikir, sekadar dengan lahirnya kebijakan cuti ayah inikah upaya yang bisa dilakukan penguasa untuk membangun generasi berkualitas? Tidakkah deretan realitas buruk tadi justru menegaskan bahwa cuti ayah hanyalah solusi yang tidak ubahnya butiran debu? Hal ini mengingat kerusakan generasi sudah bersifat sistemis, bukan lagi berupa tataran teknis yang bisa ditanggulangi pada secuil sisi saja.
Atas dasar ini, jelas cuti ayah sesungguhnya bukan solusi mendasar bagi kebutuhan negeri kita akan generasi yang hebat dan berkualitas. Justru sistem demokrasi sekuler kapitalistik itu sendirilah yang selama ini telah menggerus peran para ayah atas landasan produktivitas (baca: budak) ekonomi semata.
Dalam banyak kasus pula, detik ini banyak anak yang tidak lagi bangga dengan ayahnya. Kita juga harus menyadari, “ayah gagal” adalah fenomena buruk yang sangat menghantui sejumlah keluarga muda. Banyak rumah tangga yang rusak tersebab laki-laki gagal menjadi suami dan ayah. Akibatnya, tidak sedikit anak yang hanya dibesarkan badannya oleh ayahnya, tetapi jiwanya telantar hingga dengan begitu mudahnya dirampok oleh ide-ide liberal dan sekuler.
Di sisi lain, kemampuan sang ayah dalam menafkahi keluarganya dipengaruhi oleh ketersediaan lapangan kerja yang mencukupi bagi mereka. Begitu pula, penting adanya jaminan negara kepada keluarga yang para suaminya terhalang untuk bekerja, misalnya karena sakit atau memiliki cacat fisik.
Sayangnya, negara dalam peradaban kapitalisme telah melemparkan tanggung jawabnya untuk melayani rakyat. Pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan pokok massal (pendidikan, kesehatan) bertumpu pada keluarga secara mandiri.
Parahnya lagi, penerapan sistem demokrasi menghasilkan berbagai kebijakan ekonomi yang melepaskan perempuan dari peran domestiknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Artinya, jika nominal gaji seorang ayah tidak mencukupi, maka pendapatan keluarga harus ditopang oleh anggota keluarga yang lain, terutama si ibu. Akibatnya, waktu yang dimiliki para ibu ini untuk membersamai dan mendidik buah hatinya di rumah, telah direnggut atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan.
Profil Ayah Hebat
Sejatinya, keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat. Keluarga juga titik awal pembentukan sebuah generasi. Untuk itu, bangunan keluarga memang harus kuat agar mampu menghasilkan generasi tangguh. Ketahanan keluarga pun harus berperan menjadi penggenap ketahanan bangsa, bahkan asas utamanya. Ketika ketahanan keluarga rapuh atau malah runtuh, jelas berdampak serius terhadap kehidupan generasi, sosial kemasyarakatan, bahkan berbangsa dan bernegara.
Sebuah keluarga dikatakan mempunyai ketahanan tatkala seorang ayah yang merupakan kepala dan penanggung jawab utama keluarga mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Kebutuhan di sini mencakup naluri, fisik, dan akal. Terpenuhinya seluruh kebutuhan tersebut membawa pada suasana kehidupan keluarga yang harmonis, tenang, dan tenteram.
Benar, di tangan para ibulah letak kunci ketahanan keluarga. Namun, di tangan para ayahlah terletak pintu gerbang menuju tercapainya ketahanan tersebut. Dalam sekian abad tegaknya sistem Islam di muka bumi, dari keluargalah lahir tokoh-tokoh besar. Sebut saja Abdullah bin Umar ra., Abdullah bin Zubair ra., Abdullah bin Abbas ra., Usamah bin Zaid ra., hingga generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih, mereka semua tidak hanya lahir dari rahim para ibu yang dahsyat, tetapi mereka juga hasil didikan para ayah yang hebat.
Kita juga harus ingat, betapa luar biasa gambaran dari Allah Taala mengenai seorang ayah sejati sepanjang masa, yakni dalam QS Luqman. Allah Taala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13).
Islam sebagai ideologi yang rahmatan lil ‘alamiin berperan penuh dalam rangka melejitkan peran para ayah. Sistem Islam senantiasa terdepan dalam membangun ketahanan keluarga dengan strategi utama melejitkan peran ayah serta menjaga peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga.
Allah Taala berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa [4]: 34).
Berdasarkan ayat ini, pada praktiknya sistem Islam akan membangkitkan fungsi kaum laki-laki sebagai para ayah dan calon ayah. Islam memfasilitasi dan menyiapkan setiap individu laki-laki agar siap menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai ayah dengan sukses. Peran itu adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, yang juga melindungi, menafkahi, dan mendidik keluarga.
Ini sekaligus menegaskan bahwa ada beberapa fungsi dan pemenuhan kebutuhan keluarga yang harus ditopang melalui peran negara. Untuk itu, selanjutnya negara Islam (Khilafah) akan menjamin terealisasinya peran ayah tersebut secara kontinu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Peran aktif negara ini sangat penting karena fungsi ayah sangat berpengaruh bagi ketahanan keluarga yang dipimpinnya. Selain melejitkan peran ayah, negara Islam akan menguatkan peran para ibu selaku sahabat dan mitra ayah dalam mendidik generasi dan mengatur keluarga.
Di sisi lain, negara Islam berperan menjaga akidah Islam warganya dari berbagai pemikiran beracun yang berasal dari luar Islam yang sudah pasti pemikiran tersebut akan merusak generasi. Negara juga menguatkan akidah umat dengan menerapkan sistem pembinaan dan pendidikan berbasis akidah Islam dalam rangka melahirkan generasi taat syariat dan berkepribadian Islam.
Allah Taala berfirman, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS Al-Furqan [25]: 74).
Selanjutnya di sektor ekonomi, negara Islam mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi dengan cara membangun iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif. Sistem ekonomi Islam sendiri memang menuntut penguasa agar melayani dan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Kepala negara dalam Islam tidak bersikap sebagai pedagang/produsen/pengusaha sebagaimana sikap kepala negara dalam negara demokrasi, tetapi justru melayani untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa paradigma perhitungan keuntungan (profit).
Hal ini demi terbentuknya ekonomi keluarga yang kukuh sehingga para kepala keluarga mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier mereka dengan kualitas yang sangat baik. Dengan ini, negara berperan melakukan pengembangan ekonomi dengan cara meningkatkan jumlah lapangan kerja, angka partisipasi kerja, serta kapasitas produksi, khususnya bagi kaum laki-laki. Islam tidak akan mendiskriminasi fasilitas/subsidi kepada rakyat melalui para ayah tersebut, baik ia seorang ASN maupun non-ASN.
Wallahualam bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar