Ghamophobia


Oleh : Siti Hajar (Aktivis Muslimah)

Bagi sebagian orang, menganggap jika menikah adalah salah satu cara untuk mendapat kebahagiaan. Namun bagi beberapa orang lainnya kehidupan pernikahan cukup menakutkan baginya. Istilah ini disebut dengan ghamophobia, yaitu rasa takut yang berlebihan untuk berkomitmen menikah.

Fenomena ghamophobia ini sebenarnya bukan hanya soal pilihan dan sikap menolak menikah, tetapi dibalik itu ada paradigma proyek yang harus dibongkar.

Kalau melihat saat ini ada trend  penurunan pernikahan, jika melihat data dalam 1 dekade. Fenomena penurunan angka pernikahan tidak hanya terjadi di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Singapura, Tiongkok dan Korea Selatan. Termasuk di Indonesia melalui laporan Badan Pusat Statistik Indonesia menyebutkan terdapat 1,58 juta pernikahan di dalam negeri pada 2023, turun 7,51 % di banding 2022 (year-on-year/yoy). Angka ini menjadi rekor terendah selama satu dekade terakhir. Penurunan ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. DKI Jakarta sebagai contoh, mengalami penurunan sebesar 3.862 pernikahan, dari 47.225 pada2022 menjadi 43.363 pada 2023. Provinsi jawa barat mencatat penurunan  yang cukup tajam yaitu 19.197 pernikahan, dari 336.912 pada 2022 menjadi 317.715 pada 2023. Begitu juga provinsi dengan jumlah penduduk yang padat seperti jawa Tengah dan jawa timur. Keduanya mengalami penurunan masing-masing sebanyak 14.160 dan 20.269 pernikahan. 

Dari trend penurunan angka pernikahan itu bisa jadi maknanya generasi saat ini menolak untuk menikah, menunda pernikahan dan adanya pembatasan pernikahan karena ada undang-undang yang melarang pernikahan di bawah usia 19 tahun. 


Benarkah menikah itu menakutkan? 

Dalam Islam, pernikahan adalah bagian dari ibadah karena menyempurnakan setengah agama. Sejatinya menikah itu adalah sebuah fitrah, dikarenakan setiap orang memiliki naluri melestarikan jenis. Adanya sikap penolakan atau penundaan pernikahan atau takut menikah pasti memiliki latar belakang :

Pertama, paradigma Gender equality, Perempuan bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Menganggap dunia akan baik-baik saja tanpa ada institusi keluarga. Generasi kita hari ini hidup di lingkungan keluarga yang terbiasa hidup mandiri, terpisah dengan orang tua. Sehingga mereka tidak bisa merasakan bagaimana pentingnya hidup dalam institusi keluarga, mereka tidak memiliki gambaran tentang keluarga yang utuh di benak mereka, akhirnya  generasi hari ini tidak memiliki kepercayaan terkait institusi keluarga.

Kedua, beban ekonomi. Kondisi ekonomi yang tidak menentu, penghasilan yang sedikit atau bisa jadi tidak ada penghasilan, masih banyak tanggungan, kredit rumah, kendaraan menjadikan prioritas hidup hanya untuk bekerja, ini menjadi alasan sebagian orang menunda pernikahan, adanya rasa takut Ketika menikah nanti tidak bahagia karena belum mapan. Pemikiran kapitalistik atau berorientasi materi menjadikan apabila menikah nanti akan menambah beban.

Paradigma gender dan paradigma kapitalistik yang diadopsi oleh negara dijadikan sebagai landasan proyek dalam membangun generasi, tentu ini akan melahirkan bahaya yang besar. Fenomena ini merupakan bagian dari proyek Pembangunan yang sudah massif, kita bisa melihat siapakah yang diuntungkan dari adanya fenomena ghamophobia atau generasi yang tidak mau menikah?

Pertama, keuntungan yang diharapkan dari generasi ghamophobia ini adalah mereka bisa banyak terserap ke dunia kerja untuk menggerakkan perekonomian. Ketika ekonomi bergerak maka pertumbuhan ekonomi otomatis naik. Selain itu bisa mengurangi tingkat pengangguran hari ini yang sangat tinggi. Diharapkan bekerja jadi lebih optimal, pikiran jadi tidak terbagi, fokus pada pendidikan sehingga ia bisa bersaing di dunia kerja dan mereka akan terserap. Namun sayang, benefit yang diharapkan hari ini masih berupa harapan atau teori semata, karena alih-alih banyak yang terserap di dunia kerja,malah tingkat pengangguran semakin tinggi. Jadi generasi yang terserap ke dunia kerja bukan karena masalah menikah atau tidak menikah, karena perusahaan akan merekrut sesuai dengan kebutuhan perusahaan bukan merekrut sebanyak lulusan yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.


Menyikapi bahaya ghamophobia

Fenomena ghamophobia ini merupakan masalah yang butuh Solusi. Masalahnya adalah bahaya bagi ketahanan keluarga muslim, karena keluarga adalah fungsi strategis dalam membangun generasi, bagaimana generasi mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Paradigma gender equality dan kapitalis menimbulkan bahaya karena memiliki efek jangka panjang, sebagaimana negara-negara yang mengadopsi paham ini semisal jepang yang hari ini diancam dengan penurunan generasi produktif atau kepunahan. Tentu kita tidak ingin negara menjadi seperti ini.

Sebagai seorang muslim kita harus memiliki pandangan yang tepat. Kita harus kembali menyadari bahwa kita adalah individu hamba Allah dan ditengah-tengah kaum muslim kita adalah muslih orang-orang yang melakukan perbaikan.


Bagaimana Islam Memandang Pernikahan?

Seruan agar generasi tidak memiliki jumlah yang banyak adalah seruan yang aneh, artinya paham ini menolak sesuatu yang akan melahirkan bibit-bibit generasi yang unggul yang akan melanjutkan peradaban islam. Maka paradigma Islam butuh untuk diterapkan. Harus ada negara yang mengimplementasikan syariat islam secara menyeluruh. Visi Islam menghendaki Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin. Tidak cukup ada dalam benak generasi tapi harus menjadi visi negara yaitu Negara islam. 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar