Harga Gula Tak Semanis Rasanya


Oleh: Astriani Lydia, S.S

Harga gula di tingkat konsumen naik jadi Rp17.500 per kg. Kenaikan merupakan imbas dari kebijakan Badan Pangan Nasional (Bapanas) merelaksasi harga gula di tingkat konsumen sebesar Rp1.500 menjadi Rp17.500 per kilogram (kg) hingga Mei mendatang.

Kepala Badan Pangan Nasional (BAPANAS) Arief Prasetyo Adi kepada awak media di kantor BAPANAS, Jakarta, Kamis (18/4) mengatakan kenaikan dilakukan lantaran adanya permintaan dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) terhadap harga acuan pembelian (HAP) bahan-bahan pokok seperti beras dan gula. Arief meyakinkan ketersediaan gula di pasaran tak akan langka dengan kebijakan itu.

Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey memang pernah meminta perubahan harga eceran tertinggi gula. Itu katanya perlu dilakukan agar peritel dapat terus menyediakan bahan pokok guna mencegah kekosongan atau kelangkaan di gerai-gerai ritel modern. Relaksasi itu dinilai untuk memberikan keleluasaan bagi para pelaku usaha dalam menjual gula di pasaran. (cnnindonesia.com, 20/04/2024)

Gula adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat, karena ia merupakan salah satu sumber kalori. Banyak industri baik besar maupun rumah tangga mengkonsumsi gula. Untuk itulah permintaan gula terus meningkat. Dan ia pun menjadi salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Karenanya banyak yang ingin berinvestasi di  industri gula. Selain menambah pendapatan negara, industri gula pun meresap tenaga kerja dan rumah tangga. Otomatis, keberadaan industri gula menjadi aset penting bagi negara.

Maka tidak heran, berbagai kepentingan hadir disana. Terutama dalam dunia kapitalis, dimana ada manfaat disitulah kapitalis memegang peranan.  Sehingga persoalan gula saat ini bukan lagi sekadar stok dan mahalnya harga. Akan tetapi, kacaunya sistem tata niaga gula di pasaran yang ternyata kebijakan terkait dengan gula ada pengaruh intervensi pemodal. Maka tidaklah mengherankan pula jika solusi yang diambil oleh pemerintah adalah yang memihak pengusaha, bukan rakyatnya.

Dalam Islam, pemimpin negara adalah pelindung dan pengurus rakyat. Untuk itu sudah seharusnya  pemerintah lebih memihak pada kemaslahatan umat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Namun, dalam alam kapitalis, kemaslahatan umat kalah oleh para pemilik kepentingan. Karena keuntungan yang dapat dikeruk dari komoditas gula sangat tinggi dan merupakan lahan subur. Hal ini jelas sangat berbeda dengan tata niaga gula dalam sistem Islam. 

Dalam sistem Islam, gula yang merupakan salah satu bahan pangan pokok akan dikelola secara bertanggungjawab karena ia bagian dari kepentingan umum.

Karena itu negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan gula dan ketersediaannya, baik skala rumah tangga maupun industri. Negara pun mengatur perencanaan dan peremajaan pabrik gula dari hulu ke hilir, sehingga meminimalisir kelangkaan gula yang mengharuskan impor. Tak lupa pula negara mengawasi rantai pasokan gula agar tidak terjadi penimbunan ataupun monopoli yang dilakukan pihak tertentu yang akhirnya mengakibatkan harga gula naik. Jika terjadi pelanggaran, tentunya negara akan memberikan sanksi yang tegas. 

Wallahu a'lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar