Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Wacana pembongkaran ratusan rumah warga di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, mendapat sorotan DPR RI. Hal tersebut dinilai telah mencoreng wajah negara. Sementara itu, Otorita Ibu Kota Nusantara memastikan, tidak ada yang namanya penggusuran.
Guspardi Gaus adalah anggota Komisi II DPR yang menyoroti isu tersebut. Ia menyampaikan kritik dalam rapat dengar pendapat bersama Otorita IKN di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 18 Maret 2024. Menurut Gaus, inisiatif meminta warga membongkar rumah dalam tujuh hari adalah hal memilukan dan memalukan. Pasalnya, hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal pembentukan ibu kota baru.
Gaus merupakan anggota panitia khusus pembentukan Undang-Undang 3/2022 tentang IKN. Ia juga menjadi panitia kerja revisi UU tersebut. Dalam pembahasan aturan, kata dia, ibu kota baru disepakati tidak untuk orang-orang tertentu saja melainkan untuk semua. Oleh sebab itu, ia mengecam upaya penggusuran lahan imbas pembangunan IKN.
"Jangan ada masyarakat di situ dimarginalkan. Bagaimanapun, pemindahan IKN masih terjadi pro dan kontra. Jadi, kita harus arif dan bijaksana terhadap hal yang sensitif itu," jelas politikus Partai Amanat Nasional dalam rapat dengar pendapat yang disiarkan di YouTube DPR RI.
Sebagai informasi, sekitar 200 warga Kelurahan Pemaluan menerima surat teguran pertama dari Otorita IKN pada Jumat, 8 Maret 2024. Para penerima surat diminta membongkar rumah mereka dalam tujuh hari terhitung sejak menerima surat.
Satu dari antara alasan pembongkaran karena rumah warga tak memiliki sertifikat kepemilikan. Artinya, rumah warga dianggap ilegal. Surat yang ditandatangani Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN Nusantara, Thomas Umbu Pati, tersebut belakangan dicabut.
Kembali ke rapat dengar pendapat di Senayan, Kepala Otorita IKN Nusantara, Bambang Susantono, memastikan penataan ruang IKN berlanjut. Alasannya, hal ini telah menjadi bagian dari pembangunan IKN. Hanya saja, Bambang menjamin tidak ada penggusuran paksa dalam pelaksanaannya. Semua dilakukan dengan cara-cara yang humanis. "Kalau kemarin ada ribut-ribut, mudah-mudahan itu yang terakhir," harapnya.
Menggusur paksa kelompok adat, sambungnya, bukan menjadi bagian dari pembangunan IKN. Proyek ini disebut turut mengusung konsep ramah masyarakat setempat. Bambang menceritakan upaya yang telah dilakukan Otorita dalam mewujudkan konsep tersebut.
Sekelompok masyarakat adat di Sepaku pernah hendak dipindahkan karena wilayahnya masuk proyek pengendalian banjir. Pemerintah menemukan teknologi yang dapat menjadi solusi pengendali banjir. Masyarakat adat itupun tak jadi dipindahkan dan daerahnya menjadi living museum heritage yang dikembangkan Otorita IKN. (Kaltimkece)
Janji Palsu
Wacana penggusuran lahan yg direalisasikan melalui ultimatum dan surat tentu membuat masyarakat sekitar terancam. Akankah mereka bertahan atau berakhir dengan damai yakni mereka tetap digusur. Nyatanya pembangunan IKN ini bukan demi kepentingan rakyat, melainkan oligarki dan jejaring konglomerasinya. Selain pemborosan biaya, perampasan ruang hidup masyarakat setempat adalah problematik yang tidak bisa kita diamkan.
Sungguh, klaim tanah kosong pada lahan IKN tidak ubahnya dusta belaka. Janji di awal IKN tidak akan terjadi konflik lahan, nyatanya semakin ke sini sudah beberapa konflik lahan di IKN, di antaranya bandara VVIP, jalan tol, dan kawasan IKN.
Sayangnya pemerintah masih bergeming dan dengan tebal muka tetap melanjutkan mega proyek tersebut.
Tidak pelak, penggunaan aparat untuk menangani konflik dengan penduduk pun cepat atau lambat akan terjadi mengingat begitu luasnya lahan yang digunakan untuk pembangunan IKN. Model kebijakan proyek IKN toh tidak berbeda dengan proyek pemerintah yang lainnya yang lekat dengan fenomena perampasan lahan milik pribadi rakyat.
Pembangunan IKN semestinya juga menjadi alarm keras bagi masyarakat di seluruh Indonesia bahwa bukan kali ini saja kebijakan pemerintah terbit untuk menadah investasi, mencanangkan kapitalisasi, dan membela penjajahan ekonomi. Terlebih semua kebijakan tersebut mulus dan legal berdasarkan undang-undang.
Lantas, layakkah IKN hanya kita nilai dari sudut pandang kemajuan dan modernisasi, padahal krisis yang ditimbulkan sejatinya jauh lebih buruk?
Islam Mengatur Lahan dan Membangun Kota
Gelombang jihad adalah bagian dari kebijakan politik luar negeri Islam dalam rangka membebaskan kota-kota di luar wilayah Islam. Aktivitas ini tidak hanya berkonsekuensi akan perluasan wilayah Khilafah, tetapi juga ada seperangkat syariat seputar lahan, termasuk adanya perjanjian-perjanjian tertentu jika diperlukan.
Di antara hal yang juga diperhatikan oleh negara adalah pembangunan kota-kota yang baru saja dibebaskan melalui jihad tersebut, baik sekadar membangun maupun jika harus mendirikan kota yang baru.
Namun yang pasti, negara akan berusaha meminimalkan terjadinya konflik lahan dengan penduduk, khususnya jika lahan tersebut adalah milik pribadi. Hal ini berkenaan dengan aturan Islam perihal kepemilikan pribadi/individu yang sangat dihormati oleh Islam, sehingga haram untuk merampasnya begitu saja.
Jika negara islam hendak membeli lahan tersebut, hal itu dibolehkan. Namun, jika pemiliknya tidak mau menjualnya, negara tidak boleh memaksa meski dengan tawaran ganti rugi berjumlah fantastis.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya pada hari kiamat setebal tujuh lapis bumi.” (HR Muslim).
Selanjutnya, kita juga patut meneladan kisah Sultan Muhammad Al-Fatih membangun Kota Konstantinopel setelah pembebasannya. Setelah Konstantinopel jatuh, Sultan Muhammad Al-Fatih menuju Hagia Sophia yang di dalamnya padat oleh penduduk yang ketakutan. Mereka terdiri dari orang tua, perempuan, dan anak-anak. Saat itu, Sultan meminta pendeta menenangkan mereka dan memerintahkan mereka untuk kembali ke rumah masing-masing dengan jaminan keamanan dari Sultan. Mereka pun tidak dipaksa masuk Islam.
Hagia Sophia pun tidak diambil, apalagi dirampas dengan semena-mena, melainkan dibeli dengan uang pribadi Sultan, bukan dari dana negara, baitulmal, atau kekayaan kaum muslim. Keputusan Sultan membeli Hagia Sophia adalah keputusan brilian yang akhirnya membungkam suara penentangnya ratusan tahun kemudian—terdapat bukti autentik berupa dokumen atas pembeliannya. Setelah itu, Hagia Sophia dijadikan masjid dan diwakafkan hingga Hari Akhir untuk umat Islam.
Sultan kemudian memindahkan ibu kota Utsmani ke Konstantinopel dan mengganti namanya menjadi Islambol ‘penuh dengan Islam’. Beliau membangun Konstantinopel dan menjadikannya sebagai pusat peradaban. Beliau membangun 300 masjid, 57 madrasah, serta 59 tempat pemandian di berbagai wilayah. Beliau memerintahkan para arsiteknya untuk menghias kota dengan taman-taman, juga membangun beragam fasilitas publik.
Wallahu Bi shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar