Oleh: Nuryanti
Momen lebaran identik dengan kata mudik. Setiap tahun masyarakat kita disibukkan dengan kata mudik. Mulai dari tiket pesawat, bis, travel, kereta api, maupun kendaraan roda dua. Kata mudik yang asal katanya dari bahasa Jawa (mulih disik) seakan menjadi momen yang menyenangkan bagi setiap orang yang melakukan perjalanan.
Akan tetapi, arus mudik dari tahun ke tahun bukannya semakin membaik dari segi transportasi, harga tiket, maupun jalur arus mudik yang disediakan malah semakin memprihatinkan bahkan sampai harus memakan korban. Hal ini semakin menjadikan dilema bagi para pemudik. Di satu sisi para pemudik berharap momen kegembiraan di hari raya karena bisa berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara setelah selama setahun tidak bertemu atau bisa jadi sampai bertahun-tahun tidak bertemu keluarga maupun sanak saudara karena kendala beberapa faktor, seperti tiket yang mahal dan rumit.
Sedangkan infrastruktur pengelolaan yang ada saat ini biayanya tidak sedikit yang harus dikeluarkan. Apalagi yang menempuh perjalanan cukup jauh. Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian masyarakat pada umumnya saat ini semakin pelik. Belum lagi pusing memikirkan kondisi selama perjalanan dimana para pemudik bergulat dengan rasa lelah dan ngantuk yang dialami selama berkendara, apalagi perjalanan yang memakan waktu yang cukup jauh, berjuang dengan kondisi jalan macet, jalan rusak, dan lain sebagainya. Seperti itulah kondisi para pemudik saat ini.
Dikutip dari berita radarbali.com, puncak arus mudik melalui pelabuhan Gilimanuk terjadi pada Sabtu 6/4/2024 hingga Minggu 7/4/2024 siang. Kondisi kendaraan yang akan menyeberang dari Gilimanuk dalam sepekan terakhir sebelum hari raya sangat padat merayap. Tercatat sampai 261.728 orang pemudik sudah keluar Bali melalui pelabuhan Gilimanuk. Belum dengan ribuan mobil kecil dan minibus yang terus diarahkan menuju areal parkir kargo Gilimanuk sebagai buffer zona untuk delaying sistem. Sampai diarahkan menuju gang-gang pemukiman pelabuhan Gilimanuk.
Kondisi seperti ini tidak akan terjadi jika negara tidak abai dalam memfasilitasi para pemudik, dijamin keamanannya, diperbaiki jalan-jalan yang dilalui para pemudik, diperhatikan kondisi transportasi pelabuhan untuk melancarkan perjalanan para pemudik, dan jika terjadi pelonjakan para pemudik dari segi transportasi ditambah armadanya, agar tidak terjadi penumpang yang membludak dalam kapal sehingga tidak terjadi desak-desakan. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin menimbulkan kelelahan, sehingga yang raganya sehat bisa sakit karena kondisi yang padat dan menyesakkan.
Sumber akar permasalahan ini tidak lain adalah peran kapitalisme. Peran negara hanya sebagai regulator. Negara hanya sebagai penyambung apa kata pemilik modal dan menjadikan abai terhadap pengurusan rakyatnya termasuk menjamin keselamatan mereka. Berbagai masalah transportasi akhirnya bermunculan termasuk kemacetan, keamanan yang tidak terjamin dan infrastruktur yang tidak memadai.
Islam memiliki 3 prinsip dalam pelayanan publik, pertama; pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara sehingga rakyat tidak lagi memikirkan biaya yang mahal dan rumit. Kedua; perencanaan wilayah yang baik akan mengurai kebutuhan transportasi. Ketiga; negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Kemudian negara juga harus melakukan penataan ulang basis pengelolaan transportasi tidak boleh dikelola dari aspek bisnis dan tidak boleh menggunakan muamalah yang melanggar aturan Islam, sehingga bisa diakses dengan harga murah bahkan gratis.
Demikianlah prinsip dalam Islam dalam mengelola transportasi tidak bisa lepas dari ajaran Islam, bahwa nyawa manusia harus dinomorsatukan karena harga jiwa manusia melebihi nilai bumi dan seisinya. Adapun strategi pembiayaan, negara dimungkinkan mendapat atau memperoleh pendapatan dengan menentukan tarif tertentu atas pelayanan transportasi. Pendapatan dan keuntungan yang didapat menjadi milik negara bukan milik pribadi. Seperti itulah pengaturan Islam dalam menjamin layanan transportasi yang aman dan nyaman bahkan gratis. Kondisi seperti ini bisa kita dapatkan jika syari'at Islam diterapkan dalam institusi Khilafah.
Wallahu a'lam bissowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar