Pajak THR Memberatkan Rakyat


Oleh: Yeni Aidha

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengalokasikan anggaran sebesar Rp 104 miliar untuk tunjangan hari raya (THR). Uang sebanyak itu untuk membayar THR 11.474 PNS dan PPPK di lingkungan Pemprov Bali.

Pencairan THR di wilayah Denpasar pun mendapat apresiasi oleh Sekda Kota Denpasar karena bisa dicairkan lebih awal. Menurutnya, dengan adanya THR ini akan bisa mendorong geliat ekonomi di wilayah Denpasar terutama di musim lebaran ini.

Terlihat menarik dan sungguh terpuji karena THR sudah dicairkan kepada para pekerja. Namun, di balik itu semua ternyata ada beberapa elemen masyarakat yang sudah merasakan dampak adanya penarikan pajak atas THR yang dibagikan, terutama pekerja swasta.

Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan kepada pekerja swasta akan dikenakan pajak. Bagi pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan PPh sesuai pasal 21. Pemotongan ini dilakukan langsung oleh perusahaan kemudian disetorkan ke kas negara. Ketentuan ini pun berbeda dengan THR yang didapatkan oleh para ASN.

Perhitungan pajak untuk pegawai swasta dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai 1 Januari 2024. Potongan pajak tunjangan hari raya (THR) pada 2024 disebut-sebut lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini lantaran adanya dampak  penerapan penghitungan pajak dengan metode tarif efektif rata-rata (TER).

Kebijakan ini membuat netizen kaget dan protes. Direktur penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat, Direktorat jenderal pajak (DJP), kementerian keuangan, Dwi Astuti membantah tudingan bahwa potongan pajak (THR) menjadi lebih besar setelah penerapan sistem TER. Menurutnya tidak ada perubahan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Padahal, pengaturan dengan sistem TER ini membuat adanya perbedaan besaran pajak sesuai pendapatan gajinya. Semakin besar gaji, semakin besar prosentase potongan pajaknya.

Jelas, pengaturan ini semakin menunjukkan tata negara diatur menggunakan sistem kapitalisme yang berorientasi berlandaskan keuntungan materi. Sistem ini berbahaya, batil bahkan zalim ketika diterapkan. Negara seharusnya menjadi pelayan masyarakat, tidak justru menjadi negara pemalak. Pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara sehingga negara sering membuat kebijakan untuk melegalkan aksi memungut pajak.

Sementara di dalam sistem Islam, ia memiliki sumber pemasukan negara yang bermacam-macam. Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidzomul Iqtisadhi menjelaskan bahwa negara memiliki lembaga baitul mal yang merupakan departemen keuangan negara, kepemilikan negara, pos kepemilikan umum dan pos zakat.

Meski di dalam Islam juga pernah diterapkan pajak, namun sifatnya temporal ketika kas negara benar-benar membutuhkan pemasukan. Dan peruntukannya pun semata-mata untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas umum masyarakat yang sangat mendesak. Bukan seperti infrastruktur yang diada-adakan demi mengundang para investor atau wisatawan mancanegara.

Penarikan pajak pun hanya untuk orang-orang yang sangat kaya dan sudah terlepas dari pemenuhan kebutuhan pokoknya serta keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Jika belum bisa memenuhi, meskipun dia kaya tetap tidak berlaku penarikan pajak terhadapnya.

Ketentuan pajak (dharibah) dalam sistem Islam sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme, dalam kapitalisme semua barang dikenakan pajak. Gaji, THR, rumah, kendaraan, bahkan makanan. Praktik pajak seperti ini diancam Rasulullah Saw.

Uqbah bin Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw bersabda, "tidak masuk surga pemungut cukai". (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al Hakim)

Islam juga mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan, bentuk jaminan harus langsung dari negara, agar mampu memenuhi kebutuhan pokok, meliputi sandang, pangan, dan papan.

Jaminan kebutuhan dasar publik, pendidikan kesehatan, dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Masyarakat dapat menikmatinya dengan kualitas terbaik dan gratis, terwujud manakala memiliki negara periayah yakni daulah khilafah.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar