Oleh: Nur Hidayati (Lisma Bali)
Menurut seorang psikolog, Nunung Nurwati, perang sarung adalah sebuah tradisi dari suku Bugis yang sudah tertelan bumi. Belakangan ini perang sarung muncul kembali ke permukaan dengan konteks yang berbeda. Perang sarung lebih akrab dengan kenakalan remaja, tawuran dan tentunya berbahaya.
Perang sarung adalah sebuah jenis tawuran yang dilakukan di bulan Ramadhan. Alat yang dipakai untuk tawuran adalah sarung yang diikat ujungnya dan dimasukkan batu, gir dan senjata tajam. Perang sarung merupakan buah busuk dari rusaknya sistem pendidikan saat ini.
Para pendidik yang seharusnya mendidik para generasi penerus agar menjadi orang-orang yang bisa memajukan negeri ini malah sebaliknya. Hal ini tak lepas dari penerapan sistem saat ini. Perang sarung ini merupakan tindak kriminal, dan pelakunya adalah anak-anak di bawah umur. Awalnya, anak-anak tersebut hanya ikut-ikutan yang lagi viral di media sosial. Perang sarung ini dilakukan biasanya saat orang-orang sedang melaksanakan sholat tarawih sampai menjelang waktu sahur. Oleh karena itu, peran orang tua sangatlah penting dalam mengawasi anak-anaknya.
Di rumah, anak-anak menjadi tanggung jawab orang tuanya sedangkan di luar, lingkungan lah yang berperan dalam membangun karakter anak-anak tersebut. Maka dari itu, diperlukan kerjasama antara orang tua dan lingkungannya agar tercipta suasana yang nyaman bagi anak-anak tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti tawuran atau perang sarung di bulan Ramadhan ini.
Perang sarung terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Lampung, Bogor, Solo, Demak, dan lainnya.
Di Lampung ada 2 orang tersangka yang menewaskan seorang pelajar usai perang sarung. Sedangkan di Jawa Barat perang sarung ini sangat meresahkan warga. Itu hanyalah sebagian, masih banyak tempat di Indonesia yang remajanya juga melakukan aksi perang sarung.
Dalam sistem sekulerisme kapitalisme saat ini, sangat sulit rasanya untuk membuat orang tua agar lebih memperhatikan anak-anaknya. Mereka harus terus bekerja dan bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, dimana semua dinilai dengan uang. Pemerintah seolah-olah tak mau tahu apakah rakyatnya sejahtera atau sengsara. Itulah buruknya sistem buatan manusia, mereka hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, yang mana seorang penguasa haruslah menjadi junnah dan ra'in bagi rakyatnya. Tidak boleh ada rakyat yang melakukan amal yang sia-sia. Meskipun itu hanya bercanda dan bermain saja, namun akan dipastikan apa yang dipakai dan untuk apa tujuannya. Sehingga tidak mungkin ada rakyat yang merasa terzalimi oleh penguasa.
Wallahu a'lam bishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar