Peringkat Konten Pornografi Yang Mengenaskan


Oleh: Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Sungguh mengejutkan laporan yang dihimpun dari National Centre for Missing Exploited Children bahwa temuan konten kasus pornografi anak di Indonesia selama empat tahun sebanyak 5.566.015 juta kasus. Indonesia masuk peringkat empat secara internasional dan peringkat dua dalam regional ASEAN. Dilatarbelakangi konten pornografi anak di Indonesia yang melambung tinggi tersebut, maka pemerintah merasa perlu bertindak serius dalam menangani masalah ini.

Untuk itu pemerintah membentuk satgas penanganan untuk kasus pornografi anak di Indonesia. Satgas ini dibentuk dengan merangkul sebanyak enam Kementerian atau Lembaga yakni, Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto menjelaskan satgas ini dibuat karena tiap Kementerian telah memiliki regulasi yang kuat dalam kasus pornografi anak. Diharapkan satgas ini bisa mensinergikan dan mengkolaborasikan kerja lintas kementerian dengan merumuskan rencana aksi.

Selain Kemenko Polhukam, kementerian lain yang terlibat adalah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Catatan konten pornografi anak ini tidak mencerminkan kasus sebenarnya yang terjadi di lapangan, bisa dimungkinkan lebih banyak, karena ada juga korban-korban yang tidak mau melaporkan kejadian sebenarnya. Mereka menutupi karena takut aib dan sebagainya. Korbannya mulai dari disabilitas, anak-anak SD, SMP, SMA dan bahkan PAUD.

Satgas yang dibentuk pemerintah ini diharapkan bisa menjadi solusi permasalahan kasus pornografi anak karena Satgas akan bekerja mulai dari melakukan pencegahan, penanganan, penegakan hukum, hingga pasca kejadian. (sindonews.com, 18/04/2024)

Bila kita cermati media sosial yang ada sekarang sudah sangat bebas tak terkendali dan seakan tidak ada aturan lagi. Berbagai konten unfaedah bertebaran tanpa batas. Yang penting viral dan bisa meraup keuntungan banyak. Kasus miris yang dilatarbelakangi pornografi pun kerap kita temui entah itu perkosaan, pelecehan seksual pada anak ataupun tindakan asusila pada anak yang kerap dilakukan orang terdekat korban seperti ayah kandung, kakak kandung, kakek, paman, teman dekat ataupun tetangga dekat. Dimana mereka yang seharusnya memberi perlindungan tetapi justru malah menjadi pelaku kejahatan tersebut. Kemajuan teknologi yang dengan mudah  diaksesnya konten pornografi dan konten yang berkonotasi seksual semakin membuka peluang kejahatan tersebut.

Perlindungan terhadap anak hampir tidak ada yang menjadikan mereka korban eksploitasi para predator seksual. Mereka pun dimanfaatkan dalam unggahan bejat demi meraup keuntungan.

Sistem demokrasi sekuler membuat orientasi pada kemaksiatan tumbuh subur. Konten-konten yang tidak mendidik termasuk pornografi terus diproduksi meski itu merusak moral dan aqidah generasi. Sistem kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan tanpa mempedulikan terhadap rusaknya generasi. Sistem hari ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga kejahatan seksual merajalela di masyarakat. Kasus asusila yang dipicu oleh pornografi berdampak besar terhadap kondisi sosial masyarakat dimana nasab keturunan menjadi tidak jelas, meninggalkan trauma pada korban hingga keputusasaan. Peraturan yang ada tidak menyentuh akar persoalan. Sistem sanksi yang diterapkan pun tidak mampu memberikan efek jera.

Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan. Kemaksiatan adalah kejahatan yang harus dihentikan Apalagi industri maksiat jelas haram dan terlarang dalam Islam. Dan ini membutuhkan peran negara. Negara berperan penting dalam menciptakan sistem sosial yang sehat, bersih dari pornografi. Penguasa sebagai representasi negara wajib memberikan perlindungan hakiki pada anak. Bukan hanya memastikan terpenuhinya kebutuhan yang mendukung tumbuh kembang mereka, tetapi juga memastikan agar anak memperoleh lingkungan sosial yang sehat.

Dalam Islam, syariat mengatur tata sosial mengenai interaksi manusia. Tata cara perempuan dan laki-laki menjaga aurat. Juga memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga interaksi, tidak berdua-duaan, tidak bercampur baur dalam berinteraksi (kecuali dalam perkara muamalat, pendidikan, dan kesehatan). 

Disamping itu, negara juga berperan melindungi masyarakat dari informasi dan visualisasi media yang merusak sistem sosial masyarakat. Negara tidak boleh berkompromi dengan industri pornografi dengan alasan prinsip kebebasan. Negaralah yang justru akan melindungi siapa pun dari paparan konten pornografi.

Selain itu negara juga harus menerapkan sanksi hukum yang  memberi efek jera agar kasus serupa tidak terulang lagi. Kasus pornografi terkategori kasus takzir dalam syariat Islam. Khalifah berwenang menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Jenis hukuman bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Pada kasus pornografi yang berkaitan dengan perzinaan, maka akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Bagi ghayru muhsan dihukum 100 kali cambuk, sedangkan yang muhsan berupa hukuman rajam sampai mati.

Demikianlah mekanisme Islam dalam menjaga sistem sosialnya agar masyarakat sehat. Kondisi ini sekaligus menjadi langkah strategis negara untuk melindungi seluruh warga, baik sebagai korban maupun mencegah mereka yang berpotensi menjadi pelaku. Dengan begitu, konten pornografi dapat diberantas secara tuntas.

Wallahu a'lam bi ash-shawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar