Solusi Problem Kemiskinan Melalui Desa Wisata, Efektifkah?


Oleh : Ummu Fadillah

Belakangan, Desa Wisata dijadikan proyek unggulan dan menjadi tulang punggung perekonomian. Munculnya Desa Wisata dilatarbelakangi oleh tingkat kemiskinan yang dominan terjadi di desa. Tingginya angka kemiskinan menyebabkan angka pengangguran juga meningkat. Sementara itu, kondisi pedesaan sangat jauh berbeda dengan perkotaan, yakni tidak ada aktivitas pengembangan ekonomi yang bisa membuka lapangan kerja. 

Berangkat dari situ, pemerintah berupaya menggerakkan kondisi yang ada, seperti kecantikan alam yang dianggap memiliki daya jual tinggi terhadap wisatawan domestik dan juga mancanegara. Pemerintah beranggapan bahwa warga di sekitar lokasi daerah wisata mampu menggerakkan perekonomian, seperti berjualan karena tidak membutuhkan modal besar layaknya industri. Hal ini dianggap mampu mengentaskan kemiskinan. 

Pariwisata sebagai penggerak ekonomi sudah lama diwacanakan, bahkan di PBB, terdapat badan khusus yang membahas tentang pariwisata dunia. Ini menunjukkan bahwa pariwisata merupakan agenda global yang orientasinya mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi sebuah negara. Oleh karenanya, destinasi wisata akan mengikuti lifestyle mereka, seperti tersedianya apotek, hotel, dll. Bahkan, untuk Indonesia, Bank Dunia sampai menggelontorkan dana USD300 juta untuk Indonesian Tourism Development Project.

Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, salah satu solusi untuk bantu atasi kemiskinan adalah melalui program desa wisata. 

"Desa wisata yang berkelanjutan ini menyentuh setiap poin dari 17 SDGs (Sustainable Development Goals). Pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, keberlanjutan lingkungan, dan terbukti desa wisata bisa menciptakan lapangan kerja berkualitas yang membuka cross kolaborasi antara pariwisata dan ekonomi kreatif.

Keberadaan desa wisata, bisa menimbulkan dua hal sekaligus, yaitu tempat wisata dan sentra ekonomi dalam menjual berbagai produk. 

Ia menambahkan, program desa wisata cukup relevan dan efektif dalam mengatasi kemiskinan, karena dapat menciptakan lapangan kerja yang besar. Sehingga, melalui desa wisata, diharapkan target sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dalam menciptakan 1,1 juta lapangan kerja baru pada tahun ini dan 4,4 juta lapangan kerja pada tahun 2024 bisa tercapai. 

Jadi kita punya program yang kita ingin menjadi lokomotif dan eskalator dalam pengikisan kemiskinan, dan anak tangga untuk menciptakan lapangan kerja. 

Serta kita harapkan akan mendorong kembalinya Indonesia menjadi negara bertumbuh dan ditargetkan menjadi negara berpenghasilan menengah di atas, dan akhirnya menjadi negara maju dalam 15-20 tahun ke depan.

Tahun 2022, nagori (desa) wisata di Kabupaten Simalungun ada 18 area wisata, dari sebelumnya tahun 2021 masih 13 desa wisata. Tahun 2024 saat ini tercatat 161 daerah wisata di Kabupaten Simalungun, terdiri dari wisata buatan dan alam yang dikelola kelompok juga perorangan.Selain pembenahan, penataan potensi alam, desa wisata kreatif dan wisata agro turut menjadi perhatian, perlu mendapat pengembangan.

Realitas kemiskinan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat akibat penerapan kapitalisme menjadikan pariwisata sebagai angin baru untuk pengentasan kemiskinan sehingga proyek ini menjadi agenda nasional. Pemerintah melalui Kemenparekraf sangat serius mengikuti agenda global terkait pariwisata. Bahkan, pengembangan pariwisata tidak hanya berbasis keindahan alam (nature tourism), tetapi juga budaya (culture tourism). 

Secara geopolitik, Indonesia tidak memiliki model atau arah untuk membangun negara. Oleh karena itu, Indonesia mengadopsi ide Barat, salah satunya Sustainable Development Goals (SDGs) untuk membangun desa. SDGs sebagai program pembangunan global yang diinisiasi oleh PBB mengarahkan seluruh anggotanya untuk mengikuti keputusan lembaga tersebut sebagai konsekuensi atas keanggotaannya. Dengan demikian, pariwisata didorong untuk pembangunan di desa melalui UU Desa sehingga kemandirian desa sebagaimana arahan global bisa terwujud.

Namun, di balik potensi yang dianggap mampu mengentaskan kemiskinan, Desa Wisata memiliki dampak negatif sehingga dapat menimbulkan bencana. Pengembangan Desa Wisata akan membuka peluang masuknya nilai-nilai liberal, maraknya minuman keras, mengumbar aurat, liberalisasi seks, dan sebagainya. Begitu pula dengan pengembangan wisata culture tourism, berpotensi kembalinya budaya jahiliah yang bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam sistem politik ekonomi Islam, negara berkomitmen mengoptimalkan sumber-sumber perekonomian dan strategi jaminan kebutuhan dasar. Dalam Islam, sumber-sumber perekonomian adalah pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Islam memandang wisata sebagai sesuatu yang dibolehkan dalam rangka rihlah atau tadabur alam, bukan sebagai pengembangan ekonomi. Islam tidak pula melakukan pemaksaan terhadap alam dengan mengubah fungsinya menjadi tempat wisata sehingga dapat merusak ekosistem yang ada di lingkungan tersebut.

Islam memiliki konsep kebijakan ekonomi yang memandang individu sebagai orang per orang, terpenuhinya kebutuhan pokok individu, tidak ada monopoli kekayaan alam, dan mengutamakan nilai-nilai luhur. Jika konsep tersebut dioptimalkan, negara akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sehingga taraf hidup masyarakat juga meningkat dan kemiskinan bisa diatasi. 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar