Tradisi Mudik di Sistem Kapitalistik


Oleh: Astriani Lydia, S.S

Alhamdulillah Kita sudah di penghujung Ramadan. Tentu perasaan campur aduk ada pada diri kaum muslimin. Akankah dapat bertemu kembali dengan Ramadan tahun berikutnya. Meski demikian, tradisi mudik yang sudah menjadi ritual tahunan tetap antusias dilakukan masyarakat Indonesia. Indahnya berkumpul bersama keluarga dan bersilaturahmi ke sanak keluarga mampu menjadi penyemangat di tengah kesulitan hidup. Walhasil kemacetan yang luar biasa pun tetap ditempuh oleh para pemudik.

Terpantau Sabtu, 6 April 2024 waktu tempuh perjalanan dari Jakarta dan sekitarnya ke Merak naik signifikan. Waktu tempuh hingga dapat naik ke atas kapal tembus tujuh jam. Salah satu pusat kemacetan adalah sebelum embarkasi ke kapal, di mana calon penumpang harus mengantri dalam tiga kantong berbeda sebelum dapat naik ke kapal. Antrian tersebut sendiri dapat memakan waktu hingga 4 jam. Sebelum sampai pelabuhan Merak, kemacetan parah juga terjadi di Tol Tangerang-Merak KM 95. Sekitar pukul 3:41 WIB, kendaraan yang melintas bahkan terhenti beberapa menit tak bergerak. (www.cnbcindonesia.com, 06/04/2024)

Kepadatan pun terjadi di Tol Jakarta Cikampek (Japek). PT Jasa Marga menyampaikan terjadi kepadatan di wilayah Karawang Timur sepanjang 4 kilometer. "20.02 WIB #Tol_Japek Karawang Timur KM 54 - KM 58 arah Cikampek padat, kepadatan volume lalin," kata Jasa Marga melalui akun X, Jumat (5/4/2024).

Bagi kaum muslimin, momen mudik merupakan waktu yang tepat untuk bersilaturahmi dan juga menjadi waktu yang tepat untuk saling berbagi. Tidak sedikit yang berjibaku di perantauan ikhlas menyisihkan sebagian harta untuk berbagi kepada sanak keluarga. 

Selain menambah kemeriahan suasana bersama keluarga, pada dasarnya merupakan realisasi sabda Rasulullah saw., “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR Bukhari).

Akan tetapi tradisi mudik di sistem Kapitalistik menjadi horor karena harus berjibaku dengan kemacetan, belum lagi dengan biaya mudik yang harus dikeluarkan. Perjalanan mudik pun bukan tanpa tantangan. Waktu dan rute yang ditempuh, sarana prasarana yang kurang memadai, infrastruktur jalan yang minimalis, menambah kehororan tradisi mudik.

Maka negara harus berbenah agar perjalanan mudik tidak lagi menjadi sesuatu yang horor. Dalam Islam, negara dalam hal ini penguasa, bertanggung jawab dalam memberikan keselamatan dan kenyamanan bagi rakyat untuk bisa menikmati sarana publik. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/ penguasa adalah raa’in dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR Bukhari). 

Maka, pembangunan infrastruktur seperti jalan, pengadaan transportasi dan sejenisnya yang mencakup kebutuhan masyarakat bukan saja saat mudik, menjadi tanggungjawab penguasa. Begitu juga fasilitas umum lainnya yang dibutuhkan seperti air bersih, listrik, sarana pemenuhan hajat seperti toilet, rumah ibadah dan sejenisnya. Semua ini merupakan bagian dari infrastruktur yang masyarakat perlukan dan wajib difasilitasi. 

Dengan pemenuhan fasilitas umum yang memadai, umat Islam dapat mudik dengan aman dan nyaman. Tanpa perlu waswas dengan biaya mudik atau keamanan selama perjalanan mudik.  Tentunya hal ini hanya dapat terealisasi jika syariat Islam diterapkan secara kaffah. Wallahu a'lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar