Butuh Solusi Sistematis dalam Menangani Banjir Berulang


Oleh : Halimatus Sa'diah S.Pd

Bencana banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi di negeri kita. Banjir adalah peristiwa dimana suatu daerah terendam karena volume air meningkat. Di musim penghujan saat ini banjir melanda di beberapa daerah di Indonesia, termasuk yang terbaru kali ini Banjir kembali melanda Kalimantan Timur tepatnya di Mahakam ulu.

Banjir melanda 35 kampung yang tersebar di sejumlah kecamatan di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, sejak Senin (13/5) hingga Kamis (16/5). Kepala Basarnas Kaltim Dody Setiawan mengatakan akses jalan dari Samarinda ke Kutai Barat masih normal. Namun akses jalan dari Kutai Barat ke Mahakam Ulu banyak yang tertutup karena banjir cukup besar akibat luapan sungai. Banyak kawasan permukiman penduduk terendam banjir. Dia mengatakan banjir di Mahakam Ulu terjadi sejak Senin, sedangkan laporan yang masuk ke Basarnas Kaltim baru diterima  hari ini, Kamis (16/5).

Pihaknya langsung berkoordinasi dengan semua pihak terkait begitu mendapat laporan. Mereka langsung memberangkatkan tim ke lokasi, meski jaraknya cukup jauh yakni 337 kilometer dari Balikpapan (CNN Indonesia 16/05/2024).

Memang faktanya faktor cuaca, seperti adanya fenomena La Nina, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan lain-lain sering disebut-sebut sebagai penyebab utama banjir.

Apalagi di kondisi saat ini, intensitas hujan yang tinggi, durasi lama, dan frekuensi yang sering berpeluang besar menimbulkan bencana hidrometeorologi. Akan tetapi, bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam. Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam semata.

Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Begitu pun dengan dampak yang ditimbulkan. Sering kali negara rancu dalam melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi dengan baik. Para penguasa sejauh ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. Alih-alih mencari solusi, masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling tuding.

Sebetulnya, mudah untuk memahami bahwa bencana banjir, bahkan bencana lainnya bersifat sistematis dan harus diberi solusi sistematis pula. Faktor cuaca ekstrem misalnya, ternyata terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian tidak beradab terhadap alam, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.

Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai.

Mirisnya, semua terjadi di hadapan mata para penguasa. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal atas nama pembangunan yang abai terhadap tata ruang dan tata wilayah, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral. Hal ini niscaya karena negara dan para penguasa merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan.

Inilah Penerapan sistem sekular kapitalis yang telah membuka ruang besar bagi berkembangnya perilaku mengeksploitasi dan destruktif di tengah-tengah masyarakat. Dalam sistem ini negara menjadi alat mempermudah munculnya kebijakan dan praktik pembangunan yang justru hanya memenuhi syahwat para pemilik modal, sekalipun dampaknya akan merusak alam, lingkungan, dan kemanusiaan, serta memandulkan kemampuan negara untuk menjadi pengurus dan penjaga umat.

"Imam/pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad).

Fungsi kepemimpinannya adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.

Ulasan ini menegaskan setidaknya ada dua aspek yang bisa menjadi mekanisme penanggulangan banjir musiman yang terus berulang ini.

Pertama, aspek akidah, bahwa bencana alam berasal dari Allah, maka selayaknya kita juga mohon pertolongan Allah agar diberi kesabaran menjalaninya.

Kedua, aspek kemaslahatan umum. Banjir yang berulang menunjukkan bahwa mitigasi tidak berjalan kontinyu dan simultan.
 
Program mitigasi hanya parsial pada tahun tertentu saja, tetapi belum tentu bisa terlaksana lagi di tahun berikutnya. Kondisi saat ini kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan saja, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi ternyata sangat multisektoral, mulai soal pendidikan, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang yang semakin menggunung. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan demi kepentingan.

Inilah saat nya kita butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara diametral dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Sang pencipta pengatur seluruh alam.

Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Allah Taala berfirman dalam QS Al-A’raf : 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Dalam Islam, manusia diperintah menjaga dan mengelola alam dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan penciptaan. Bahkan menjaga alam ini lekat dengan tugasnya sebagai hamba Allah SWT yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum: 41).

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-A’raaf : 56)

Dalam hal ini, Islam tak hanya memerintahkan untuk mengelola bumi dengan baik dan melarang untuk merusaknya, tapi juga memberi cara-caranya. Yakni berupa seperangkat aturan Islam yang melekat pada karakter manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, bahkan dalam konteks negara.

Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syariat soal adab kepada alam dan lingkungan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi amar makruf nahi mungkar.

Sementara kepada penguasa atau negara, Islam memberi porsi besar dalam penjagaan alam semesta. Karena Islam menetapkan fungsi negara sebagai pengatur dan juga pelindung sekaligus berperan menegakkan aturan Islam yang sejatinya memang diturunkan untuk menjaga keseimbangan alam hingga mewujud kerahmatan.

Sungguh hanya aturan Islam yang telah memberi aturan komprehensif agar segala bencana tak kerap terjadi. Penerapan aturan Islam secara kaffah yang didorong spirit ketakwaan dipastikan akan mendatangkan kehidupan penuh berkah.

Sudah saatnya kita menyeru kembali ke jalan Allah menegakkan syariat islam kaffah dalam institusi daulah Islamiyyah.

Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar