Islam Wujudkan Cita dan Cinta dalam Keharmonisan Keluarga


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Suami adalah laki-laki pujaan hati yang dahulu menjadi pemenang diantara banyak saingan sehingga kita melabuhkan hati kita padanya, kemudian berjanji untuk menghabiskan sisa usia bersama selamanya dalam suka dan duka dalam satu ikatan suci bernama pernikahan. Namun akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang menyisakan banyak pertanyaan hingga tiba pada pertanyaan, dimanakah cinta suami? Masih layakkah untuk dirindukan? 

Rentetan kekejian yang dilakukan suami kepada istrinya membuat kita merasa miris. Ada suami yang memutilasi istrinya, kemudian potongan dagingnya dibawa keliling kampung sambil ditawarkan ke orang-orang. Ada pula yang menusuk istrinya dengan sikat gigi hingga tewas. Barang setumpul dan sekecil itu bisa menghilangkan nyawa orang yang selama ini menemaninya dan memberikan keturunan untuknya. Sekeras apa tusukannya? Sebelumnya, kita pun digegerkan dengan terbongkarnya jasad seorang perempuan di bawah lantai rumahnya. Ternyata dia dibunuh oleh suaminya sendiri, kemudian jasadnya dicor, dan baru terungkap setelah 14 tahun lamanya. 

Ada apa ini? Jelas, penegakan hukum atau pendampingan setelah kejadian  tidaklah cukup untuk mengatasi tindakan sadis ini. Yang diperlukan adalah terobosan dan mitigasi hingga ke akar persoalannya, kemudian adanya analisis dan pemberian solusi yang tepat agar kejadian keji seperti ini tidak terus berulang. Tidak cukup dengan menyalahkan atau menghukumi pelakunya tapi membiarkan penyebabnya. Tidak pula cukup dengan menghakimi bahwa itu salah suaminya, salah istrinya, salah anaknya. Karena ini sistematis, bukan hanya terjadi pada satu keluarga itu saja, atau satu daerah saja. 

Suami. Sudahkah dimudahkan dalam kewajibannya sebagai pemimpin/kepala rumah tangga? Sudahkah dimudahkan dalam menanggung nafkah dengan kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungannya? Kenyataan saat ini, sulit sekali bagi para suami mendapatkan pekerjaan, karena lapangan pekerjaan dikuasai pekerja asing dengan alasan lebih profesional. Mau profesional bagaimana, sedangkan pelatihan dan keterampilan tidak diberikan secara optimal? 

Istri. Sudah terpenuhikah kenyamanan istri dalam melayani suami, mengurus rumah tangga dan mendidik anak? Sedangkan tugas menjadi ibu dan istri sesungguhnya tidaklah mudah. Dalam menjalani perannya, istri sangat membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya, terlebih dari pendamping hidupnya, yakni suami atau ayah dari anak-anaknya. Kenyataannya, pendidikan untuk menjadi istri dan ibu yang tangguh jarang sekali didapatkan. Justru tontonan gaya hidup hedonis memaksanya putus asa dan terus berangan-angan. 

Anak. Sudahkah diberikan kemudahan dalam mengembangkan potensinya dengan memberikan pendidikan cara menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama? Kenyataanya, pendidikan yang di dapat hanya menjadikannya buruh pencetak uang dalam kemalasan dan ketakteraturan. Akhirnya banyak yang terjerumus ke dalam game online, judi online, sehingga berujung kepada pinjaman online. 

Tidak akan ada asap, jika tidak ada api. Tidak akan ada ketimpangan jika pengurusannya benar. Siapa yang bertanggungjawab mengkondisikan? Apa yang harus terkondisikan? Negara dengan penguasanya yang dapat mengkondisikan lapangan pekerjaan, kurikulum pendidikan, pengaturan penyiaran termasuk perizinan game online, judi online, dan pinjaman online. Negara pula yang dapat mengatur dan memanfaatkan sumber daya alam untuk dipakai sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat sebagaimana yang tercantum dalam butir-butir Pancasila sehingga terkondisikan lingkungan yang baik bagi ribuan keluarga yang ada. 

Sayangnya, sistem saat ini berseberangan dengan kelayakan sehingga kebahagiaan hanya didapat oleh sebagian saja. Sistem ini pula yang telah memandulkan peran negara sehingga berpengaruh terhadap kemandulan peran suami, istri, dan anak. Kegersangan terjadi bukan hanya pada pandangan mata, tetapi terdapat di lubuk hati. Kegeraman yang tidak menemui titik temu dalam ketakberdayaan sehingga melampiaskannya kepada orang-orang terdekat yang seharusnya mendapat perlakuan sebaliknya. Sadis! 

Lebih sadis lagi adalah sistem yang dipakai saat ini, yang nyata-nyata dapat mengubah sosok yang santun, humoris, serta penuh kasih, menjadi sadis hanya karena masalah sepele. Kekurangan pelayanan istri, perbedaan dalam mendidik anak, himpitan ekonomi, kesenjangan sosial, yang kesemua itu belumlah seberapa dibanding kesusahan yang dialami keluarga di Palestina. Limpahan SDA dan SDM yang dianugerahkan kepada bangsa ini ternyata tidak bisa menjadikan keluarga-keluarga Indonesia terbebas dari kriminalitas. 

Berbeda dengan sistem Islam. Islam sangat memuliakan manusia, laki-laki dan perempuan tanpa membedakan jenis kelamin. Bukan pula dalam artian persamaan yang dianut oleh pegiat kesetaraan gender. Allah SWT. telah memberikan peran dan tanggung jawab yang sedemikian adil bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga. Keduanya adalah pemimpin, hanya saja cakupannya berbeda. Laki-laki sebagai suami atau ayah adalah kepala keluarga dan pemimpin keluarga. Perempuan sebagi istri dan ibu adalah pemimpin dalam rumah suaminya. Keduanya dituntut melaksanakan perannya dengan baik dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Allah SWT. berfirman:
اَلرِّجَا لُ قَوَّا مُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَا لِهِم
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya." (QS. An-Nisa': 34).

Hal ini ditegaskan kembali oleh sabda Rasulullah Saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang perempuan memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari).

Setiap aktivitas seorang muslim hakikatnya harus sesuai tuntunan syara. Begitupun ketika laki-laki dan perempuan memutuskan untuk membangun rumah tangga, maka faham betul akan sabda Rasulullah Saw., “Jika seorang hamba menikah, sungguh dia telah menyempurnakan setengah dari agamanya maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah untuk setengah yang sisanya.” (HR. Al-Baihaqi). 

Oleh sebab itulah maka para istri berhak mendapatkan bimbingan. Sebaliknya, para suami wajib membimbing dan mengajarkan Islam agar istri terhindar dari mengerjakan kedurhakaan kepada Allah SWT. Selain itu, suami bisa memberi kesempatan kepada istri untuk menghadiri majelis-majelis ilmu asalkan terjaga dari fitnah dalam ilmu-ilmu yang suami tidak mampu mengajarkannya.

Seorang suami atau ayah juga wajib menjaga kualitas ibadah istri dan anak-anaknya. Suami harus membimbing mereka untuk menegakkan salat, puasa, akhlak islami, dan berbagai ibadah lainnya. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.…“ (QS At Tahrim: 6). Menurut Muqatil, maksud memelihara diri adalah keharusan mendidik diri dan keluarga dengan cara memerintahkan mereka mengerjakan kebaikan dan melarang berbuat kejahatan. Sedangkan Imam Ali bin Abi Thalib menjelaskannya dengan, “Ajarkan kebaikan kepada diri dan keluarga kalian.”

Sebaliknya, seorang istri pun diwajibkan untuk taat kepada suaminya selama tidak bertentangan dengan hukum syara. Bahkan Allah SWT. mempersilahkan para istri sholihah untuk memilih pintu surga dari mana yang mereka mau untuk memasukinya disebabkan ketaatannya kepada suaminya. Ketaatan kepada suami dengan segala aktivitas di dalamnya termasuk mengurus rumah dan mendidik anak, disetarakan dengan pahala jihadnya para suami. 

Suami istri senantiasa menjaga hati pasangannya dengan selalu berprasangka baik. Bila ada kesalahan yang diperbuat, baik oleh suami atau istri maka segera meminta maaf. Sebaliknya apabila pasangan melakukan kesalahan, maka segera memaafkan dan bersama-sama melakukan perbaikan dengan meninggalkan sejauh-jauhnya prasangka buruk. 

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. telah bersabda, “Posisikanlah urusan saudaramu di posisi terbaik, sampai terdapat bukti yang menyatakan salah. Dan janganlah berprasangka buruk pada ucapan yang keluar dari saudara kalian, jika kamu masih dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan baik.” Ali bin Abi Thalib pun mengungkapkan bahwa, “Prasangka baik akan membuat hati tenang, mengurangi kesedihan, dan menyelamatkan diri dari perbuatan dosa. Barang siapa berprasangka baik kepada seseorang, maka akan menarik rasa cinta padanya.”

Begitupun dalam masalah nafkah dan rejeki. Mereka yakin benar akan sabda Rasulullah Saw., “Janganlah kamu merasa rezeki itu lambat datangnya (sehingga kamu mencarinya lewat jalan haram) karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati kecuali telah sampai ke akhir rezeki yang merupakan bagiannya maka perbaikilah caramu dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim). Juga hadis yang berbunyi: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung. Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kempes dan pulang pada sore hari dalam keadaan buncit (kenyang).” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). 

Ketika suami dan istri mampu menjalankan semua peran dan tanggung jawabnya, Allah akan memberikan pahala berlimpah kepadanya. Kehidupan rumah tangganya akan berlimpah keberkahan, ketentramana, dan kebahagiaan. Suasana yang demikian secara otomatis akan mencetak anak-anak yang juga sholih/sholihah yang senantiasa menempatkan kecintaan kepada Allah SWT. dan Rasulullah Saw. di atas segalanya, serta senantiasa hormat dan berbakti kepada orang tua. Tidak akan ada sumber pertengkaran gara-gara keinginan atau ulah anak, karena anak senantiasa dibina dengan sistem pendidikan Islam. 

Kesemua itu sejalan dengan aturan yang diterapkan oleh negara yang senantiasa mengkondisikan lingkungan masyarakat sehingga tercipta amal ma'ruf nahi munkar. Negara pun mengelola SDA dan SDM dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan Allah SWT. sehingga kesejahteraan dirasakan merata oleh seluruh rakyatnya. Negara dan rakyatnya sama-sama mengamalkan apa yang diperintahkan Allah SWT. dalam firman-Nya:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَا بِرُوْا وَرَا بِطُوْا ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."(QS. Ali 'Imran: 200).

Demikianlah Islam telah mengatur dengan sempurna semua urusan dari kelompok individu terkecil hingga negara. Islam memberikan petunjuk bagaimana menata kehidupan, mulai dari bangun tidur, membangun rumah tangga, hingga membangun negara. Hanya dengan Islam, akan terjaga cinta antara suami, istri, dan anak-anak. Hanya dengan penerapan sistem Islam, negara dan masyarakat akan terjalin hubungan yang baik dimana rakyat mencintai pemimpinnya dan pemimpin pun mencintai rakyatnya. 

Dalam kehidupan, kita sering diuji dengan berbagai cobaan dan tantangan. Namun, keyakinan bahwa ada cinta Allah dalam setiap ujian dapat memberikan kita kekuatan, ketenangan, dan harapan untuk menghadapinya. Setiap ujian adalah peluang bagi kita untuk tumbuh, belajar, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah mencintai kita dan Dia selalu bersama kita dalam setiap langkah hidup kita, baik dalam kebahagiaan maupun kesulitan. Dengan kepercayaan dan kekuatan dari-Nya, kita dapat melewati setiap ujian dengan penuh keberanian dan ketabahan. Mari bersama-sama meraih cinta dan ridha-Nya dengan penerapan sistem Islam Kaffah di seluruh aspek kehidupan. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar