Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) 2023, dari 20.205 anak yang menjadi korban kekerasan, sebanyak 4.025 anak mengalami kekerasan fisik dan 3.800 anak mendapat kekerasan psikis. Sementara itu, menurut catatan KPAI, hingga Agustus 2023, sebanyak 2.355 kasus pelanggaran masuk sebagai laporan kekerasan anak. Di antaranya, korban kekerasan seksual (487 kasus), kekerasan fisik atau psikis (236 , korban kebijakan pendidikan (27), dan korban perundungan (87). Meski data dan angkanya berbeda, hal itu tidak mengubah fakta bahwa kekerasan pada anak terus saja terjadi dan cenderung kian meningkat. Terbukti, pada 2020, ada 11.278 kasus kekerasan terhadap anak, 2021 terdapat 14.517 kasus, dan 2022 ada 16.106 kasus.
Berulangnya kasus kekerasan pada anak menjadi catatan kelam bagi negeri ini. Berbagai pelanggaran hak anak terjadi, baik sebagai pelaku maupun korban. Tidak ada perbedaan anak di pedesaan ataupun perkotaan, mereka berada dalam lingkaran kekerasan dan situasi belum aman dari berbagai bentuk eksploitasi hingga ancaman jiwa. Tentu saja ini menjadi tanggung jawab semua pihak, baik orang tua, masyarakat, satuan pendidikan, dan pemerintah. Apa yang menyebabkan semua ini terjadi?
Menurut KPAI, ada tujuh penyebab maraknya kekerasan pada anak, di antaranya budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, kurangnya kesadaran melaporkan anaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, serta merosotnya moral.
Di luar dari tujuh sebab yang dikemukakan KPAI, faktor terbesar penyebab kekerasan pada anak terjadi sesungguhnya ialah sistem sekuler yang diterapkan hari ini. Paradigma sekuler yang tidak menjadikan Islam sebagai standar dan dasar dalam mendidik, mengakibatkan anak tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari ketakwaan.
Adapun Budaya Patriarki berpandangan bahwa perempuan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengurus dan mengasuh anak. Sementara itu, peran ayah hanya dimaknai sebagai pencari nafkah sehingga alasan sibuk bekerja menjadi pembenaran bagi para ayah tidak banyak terlibat dalam pengasuhan anak.
Sejatinya, mengentalnya budaya ini di dalam masyarakat sekuler adalah akibat terkikisnya pemahaman Islam mengenai peran ayah dan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak. Dalam penerapan sistem Islam, budaya patriarki semacam ini tidak ada. Justru keduanya menjalankan peran masing-masing sesuai ketentuan Islam secara harmonis dan seimbang. Penelantaran, pola asuh, rendahnya kontrol anak, dan merosotnya moral. Kondisi ini sebenarnya berpulang pada paradigma orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika menggunakan paradigma sekuler, anak telantar terjadi karena banyak faktor, seperti kesibukan orang tua bekerja, orang tua tidak memahami tanggung jawab pengasuhan, atau perceraian. Alhasil, anak tumbuh dengan sendirinya tanpa pengawasan dan pendidikan.
Ketika keluarga tidak menerapkan pola asuh sesuai Islam, seperti penanaman akidah Islam pada anak sejak dini, maka anak akan kehilangan identitas dirinya sebagai hamba Allah yang taat. Alhasil, anak yang tidak terbentuk ketaatan pada Tuhannya cenderung permisif dan rentan berbuat maksiat. Lantas Bagaimana Cara Islam Melindungi Anak?
Anak adalah aset berharga sebuah bangsa. Merekalah generasi masa depan yang akan membangun peradaban manusia. Seberapa gemilang dan seburuk apa peradaban tersebut bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Jika generasi penerus kita menjadi pelaku atau korban kekerasan, pernahkah kita membayangkan peradaban apa yang akan terbentuk di masa depan? Oleh karenanya, Islam meletakkan perhatiannya secara penuh dalam mewujudkan generasi cerdas dan berkualitas, baik secara akademis, emosional, dan spiritual.
Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.
Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Budaya amar makruf inilah yang tidak ada dalam sistem sekuler kapitalisme.
Ketiga, negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi. Ini karena sanksi Islam memberi efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi.
Kepedulian sistem Islam itu bisa terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang mampu mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Kesejahteraan pun terwujud secara merata. Sistem ekonomi Islam dengan 12 pos pemasukan meniscayakan negara (Khilafah) memiliki dana yang cukup untuk menyejahterakan rakyatnya, termasuk menyantuni fakir dan miskin.
Dengan penerapan syariat islam dalam Khilafah, tatanan keluarga dalam masyarakat dan negara akan kuat. Sehingga terciptalah lingkungan yang sehat untuk menyayangi dan mengasuh serta mendidik anak anak dengan baik. Inilah bekal untuk mewujudkan generasi Islam yang cemerlang. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar