Miras Oplosan Masalah, Miras Legal Gak Papa?


Oleh : Masrina Sitanggang, S.Pd (Tenaga Pendidik)

Sebuah gudang tempat  pembuat minuman keras (miras) oplosan di jalan kapten sumarsono, kecamatan Medan Helvetia, digerebek oleh sejumlah petugas gabungan. Dari hasil wawancara dengan warga setempat, tidak satupun diantara mereka yang mengetahui aktifitas pembuatan miras oplosan didalam gudang tersebut karena setelah pengontrak sebelumnya pindah beberapa waktu lalu, gudang tersebut terlihat kosong dan tidak ada orang keluar masuk gudang.

Jika kita telisik secara logika, munculnya produk oplosan ini sudah pasti disebabkan oleh meningkatnya jumlah permintaan pasar. Semakin banyak konsumen maka semakin besar pula jumlah barang yang dibutuhkan. Tentu saja hal ini menarik perhatian pebisnis miras untuk meraup keuntungan dengan melakukan berbagai cara termasuk mengoplos. 

Kemudaratan miras sangat jelas dipaparkan banyak peneliti dan pakar, dari sisi kesehatan maupun kehidupan sosial masyarakat. Kendati demikian, informasi tersebut tidak cukup untuk menghalangi masyarakat dari menjauhi miras. Karena disebagian kalangan terutama anak muda, menganggap bahwa mabuk adalah gaya hidup. Bahkan banyak dari kalangan kaum muslim itu sendiri yang menjadi konsumen. Sebagian lainnya menganggap dengan mabuk mampu melarikan diri dari masalah yang kian pelik dihadapi, namun kenyataannya mereka hanya melupakan sesaat. Begitu sadar kembali, tidak secuilpun permasalahannya yang terselesaikan.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Ini karena pabrik miras masih terus beroperasi karena memang mendapat izin untuk memproduksi. Selama barang tersedia, permintaan ada, dan distribusi juga dilegalkan, masalah miras akan makin mengganas. Remaja pun menjadi lebih beringas. Oleh karenanya, butuh upaya serius dari segala lini agar miras bisa cepat teratasi.

Dari berita penggerebekan diatas dapat kita lihat bahwa yang dipermasalahkan oleh negara dengan paham sekularisme hanyalah soal legalitas suatu usaha, tidak lebih. Sedangkan sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban kita untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya, termasuk tentang makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi. Islam memandang miras sebagai minuman yang memabukkan dan haram hukumnya dikonsumsi baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak. 

Rasulullah saw. bersabda, “Aku didatangi oleh Jibril dan ia berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah melaknat khamar, melaknat orang yang membuatnya, orang yang meminta dibuatkan, penjualnya, pembelinya, peminumnya, pengguna hasil penjualannya, pembawanya, orang yang dibawakan kepadanya, yang menghidangkan, dan orang yang dihidangkan kepadanya”  (HR Ahmad). 

Ketika Allah sudah melarang suatu perbuatan, maka akan ada ganjaran atas setiap pelanggarannya. Sebagaimana islam telah menetapkan sanksi tegas bagi para orang-orang yang ikut  terlibat dalam dilingkaran miras.  

Ali ra. berkata, "Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim) 

Ketika hukum Islam ini diterapkan akan menimbulkan dampak jawabir dan jawazir. Di akhirat dosanya diampuni dan di dunia akan menimbulkan jera, sehingga takut mengulanginya kembali. Islam menganggap miras adalah induk dari kejahatan sehingga untuk menciptakan kehidupan yang aman, salah satu yang harus ditegakkan adalah pelarangan miras, baik pelarangan produksinya, konsumsinya, juga distribusinya” Adapun pihak selain peminum khamar dikenai sanksi takzir, yaitu sanksi yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau qadi yang akan memberikan hukuman yang menjerakan dan sesuai dengan ketentuan syariat.

Untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari miras, bukan hanya diberlakukan sanksi dan  larangan secara mutlak, tetapi juga harus dibangun pemahaman dan keimanan pada diri umat bahwa miras adalah benda yang haram karena zatnya. Dengan demikian, umat akan menjauhkan dirinya dari hal tersebut sekalipun seolah-olah mendatangkan manfaat bagi dirinya.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa negaralah yang memiliki wewenang dan memegang kendali untuk menutup seluruh tempat pembuatan barang haram ini, juga melarang setiap orang untuk mengedarkan dan mengonsumsinya. Tentu hal ini hanya akan terealisasi jika hukum islam yang diberlakukan untuk aturan dalam bernegara.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar