Proyek Sawah Cina, Solusi Ketahanan Pangan Indonesia?


Oleh: Habsah (Aktivis MDC)

Dilansir dari TEMPO.CO, Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Koodinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Coorperation Mechanism (HDCM) meminta agara Cina melakukan transfer teknologi sawah padi untuk diterapkan di lahan 1 juta hektar di Kalimantan Tengah.

Hal tersebut merupakan eksperimen yang terbilang berani, hingga seorang pakar/ Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengkritisi terhadap wacana tersebut. Menurut Andreas terlalu beresiko apabila menggunakan lahan seluas itu. Selain itu food estate sejak pemerintahan presiden Soekarno hingga presiden Joko Widodo luas tanah yang dipakai juga berjuta hektar, namun akhirnya gagal. 

Memang harus diakui Cina telah mengalami kemajuan dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan teknologi tinggi, termasuk pertanian. Namun, perlu digarisbawahi bahwa Cina dari dulu hingga sekarang berambisi ingin menjadi lumbung pangan terbesar di dunia sehingga pemerintah Cina gencar membeli atau menyewa lahan pertanian di negara berkembang seperti Asia, termasuk Indonesia, dan dengan leluasa Indonesia menyambutnya.

Rencana proyek Sawah Cina diadakan sebagai solusi menyediakan lumbung pangan padahal banyak program serupa sebelumnya mengalami kegagalan.  Andaikan berhasil, siapa yang akan diuntungkan? Di sisi lain, menjadi pertanyaan, mengapa mitigasi kegagalan membangun lumbung pangan justru tidak dilakukan, dan memberi solusi untuk petani lokal.  Banyak petani yang mengalami kegagalan dan meninggalkan lahan/dijual.  Akibatnya petani makin malas bahkan pensiun sebagai petani. Di sisi yang lain banyak pengangguran dan kemiskinan di negeri ini yang notabenenya anak negeri, seharusnya pemerintah lebih fokus dalam hal memperdayakan anak negeri ketimbang menggandeng asing.

Wacana dari adanya proyek sawah Cina akan membuka jalan sebesar-besarnya bagi para pemodal untuk dapat menguasai lahan pertanian bahkan dapat dikatakan perampasan tanah pertanian oleh pihak swasta yang dilegalkan pemerintah. Tidak heran inilah paradigma kapitalisme, yang sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menjangkau akar masalah. Dimana hanya lebih berat sebelah kepada para pemodal saja. Satu juta hektar bukanlah angka yang sedikit untuk menjalankan proyek sawah Cina. Terlebih lagi rusaknya paradigma kapitalisme dalam pengaturan urusan masyarakat terkesan seperti hitung dagang, dimana hanya berfokus pada pencapaian angka dan rata-rata tanpa melihat apakah masyarakat telah mendapati haknya dengan sempurna atau belum.

Inilah kondisi kita hari ini, hidup di alam kapitalisme yang memandulkan peran negara dan penguasanya dalam mengurusi kepentingan masyarakat/umat. Sistem ini menjadikan negara berperan sebagai regulator saja, terlebih lagi penerapan sistem kapitalisme menjadi paradigma peradaban global. Sehingga negara-negara kapitalis adidaya dengan mudahnya mensetting sedemikian rupa agar wajah baru penjajahan dapat berjalan secara legal melalui berbagai perjanjian, termasuk investasi dan perdagangan internasional. Tidak heran apabila masalah kemiskinan termasuk kerawanan pangan sulit untuk diatasi. Mirisnya, daerah yang dikatagorikan rawan pangan di negeri kita malah justru yang dikenal memiliki kekayaan alam yang melimpah. 

Bagaimana menurut padangan islam? Islam menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalah, dan tidak sekedar mewujudkan ketahanan pangan saja, namun juga kedaulatan pangan. Negara bertanggung jawab penuh membantu petani,  apalagi pertanian adalah persoalan strategis.  Dan jika akan menjalin Kerjasama  dengan asing politik luar negeri Daulah dijadikan sebagai pedoman.  Negara tidak akan tergantung pada modal swasta maupun asing.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar