Menyoroti Arah Pandang “Unlocking Gen-Z Potentials”


Oleh: Nindy

Baru-baru ini Pemkot Kota Balikpapan bekerjasama dengan STIE Balikpapan menggelar seminar dan workshop karir bertajuk “Unlocking Gen-Z Potentials”. Seminar ini menghadirkan 320 peserta dari kalangan mahasiswa dan SMK se-Kota Balikpapan. Peserta seminar diharapkan dapat menajamkan pola pikir dan mengeksplorasi potensi sehingga dapat menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil yang berdaya saing.

Kepala Bappeda Litbang Kota Balikpapan, Murni mengatakan bahwa indikator persentase pengangguran Kota Balikpapan kini berada di prosentase 6,09 persen dari jumlah warga Balikpapan atau sebanyak 20 ribu warga yang belum mendapatkan pekerjaan. Lantas sebagai upaya untuk menghasilkan SDM yang unggul adalah dengan kolaborasi dan sinergi bersama dunia usaha, media, dan perusahaan. Yakni dengan membentuk Tim Koordinasi Speaking Vokasi (TKDV) dalam memperkuat vokasi di Kota Balikpapan. Dengan adanya TKDV ini dianggap menjadi sebuah langkah maju dalam mengurangi pengangguran dan meningkatkan kompetensi.

Pandangan terkait output pendidikan ini harus dikaji ulang. Apakah arah pendidikan ini sekedar memenuhi kebutuhan tenaga kerja? Dengan menghubungkan antara industri dengan satuan pendidikan vokasi, memastikan apa yang diajarkan di satuan pendidikan vokasi relevan dengan kebutuhan dan tuntutan pasar kerja, menyiapkan lulusan SMK untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di industri tanah air, mampukah membangun sebuah peradaban generasi emas yang mampu mengokohkan sebuah bangunan negara dan memakmurkan masyarakatnya? 

Dorongan output pendidikan vokasi hari ini adalah relevansinya kemampuan lulusan dengan kualifikasi kerja yang dibutuhkan industri. Maka, lulusan yang dihasilkan hanyalah diciptakan sesuai kepentingan korporasi. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi korporasi. Pendidikan siswa di SMK akhirnya menjadi ‘pengikut’ arahan perusahaan/industri, bahkan hanya mencukupkan pada target UMKM tertentu ketika matching fund-nya dari UMKM. Apalagi, nilai minimum investasi DUDI untuk satu SMK adalah sebesar 200 juta rupiah. Korporat-korporat besar tentu akan sangat ‘match’ dengan program ini. Bagi kacamata industri, investasi yang mereka keluarkan pasti sudah diperhitungkan keuntungannya dan tidak mungkin mereka mau bekerja sama jika tidak ada keuntungan.

Sejatinya, memandang potensi Gen-Z sekedar untuk ‘siap kerja’ adalah pandangan yang keliru. Justru dengan pandangan demikian akan membajak potensi mereka yang sesungguhnya. Ini adalah akibat cara pandang kapitalisme liberal yang menyelimuti benak pemikiran-pemikiran hari ini. Pandangan kehidupan termasuk soal output pendidikan dinilai berdikari ketika dapat mencapai sebuah material. 

Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan yang dibangun dalam sistem Islam. Keberhasilan output yang dihasilkan dalam pendidikan Islam dibangun berdasarkan akidah Islam sehingga membentuk pribadi yang taat, memiliki pola pikir dan pola sikap yang benar sesuai syariat Islam dan memiliki kemampuan ilmu dan terapan yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Oleh sebab itu, pendidikan vokasi ditujukan bagi kemaslahatan manusia umumnya, bukan sekelompok orang (pengusaha). Pendidikan vokasi diarahkan untuk mewujudkan SDM yang handal dan terampil di bidangnya dan mampu mandiri sebagai pembangun peradaban, bukan sekedar memenuhi kebutuhan korporat. 

Berkaca pada sistem pendidikan Islam, negara seharusnya menyelenggarakan pendidikan vokasi untuk membekali lulusan dengan ilmu-ilmu terapan dan menghasilkan riset terapan yang hasilnya secara langsung dibutuhkan masyarakat sehingga terwujud sebuah peradaban yang kokoh. Tidak tepat apabila negara berorientasi hanya sebatas terserapnya lulusan pendidikan dalam dunia kerja. Negara harus hadir dan bertanggung jawab secara penuh terhadap pembiayaan pendidikan dan tidak menyerahkan kepada industri yang tentunya memiliki ‘kepentingan’. Untuk itu, sistem pendidikan vokasi hari ini perlu ditinjau ulang dan berkaca pada sistem pendidikan Islam agar harapan mewujudkan generasi emas yang kompeten dan berkualitas dapat benar-benar terealisasi.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar