Nelayan Butuh BBM, Dimana Peran Negara?


Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)

Banyaknya nelayan di Bontang yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan juga perizinan.

Wali Kota Bontang, Basri Rase menyampaikan hal ini saat menghadiri peresmian Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Limau, Selasa (28/5/2024)

Ia meminta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim, untuk bisa menambah kuota BBM di Kota Bontang.

Dikatakannya, nelayan di Bontang mengeluhkan jika mereka masih kesulitan dalam mendapatkan BBM, lantaran yang mendapatkan BBM kebanyakan dari nelayan luar. Apalagi saat posisi ingin turun ke laut, mereka terhalang dengan BBM yang sulit mereka dapat.

Beliau mengatakan, butuh koordinasi untuk memenuhi pemasokan ikan karena banyaknya kebutuhan dan tidak hanya bisa mengandalkan nelayan lokal saja.

Bahkan untuk perizinan pun nelayan mengharuskan ke Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Provinsi Kaltim, yang berada di Samarinda.

Sehingga Basri ingin Pemprov Kaltim membuatkan pelayanan UPTD di Bontang, agar para nelayan bisa dengan mudah mengurus soal perizinan tanpa perjalanan jauh.

Menanggapi hal tersebut, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Kaltim, Syirajuddin menyatakan, untuk persoalan perizinan akan diusahakan secepat mungkin dan segera ditindaklanjuti. Sama halnya dengan BBM, untuk kuota yang dibutuhkan akan segera didata.


Kebijakan Dzalim

Sulitnya nelayan mendapatkan BBM untuk mencari ikan tentunya tidak lepas dari Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Terbukti, SPBU di beberapa wilayah mengalami kekosongan Pertalite. Kalau sudah begini, dampak ekonominya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan makin terasa, termasuk para nelayan.

Jika Pertalite makin langka di pasaran, mau tidak mau masyarakat harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun makin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lain yang terus meningkat.

Terus meningkatnya harga BBM tidak terlepas dari buruknya tata kelola dan politik energi rezim neoliberal yang ditopang sistem sekuler. Sistem ini memosisikan negara hanya sebagai regulator, sekadar penjaga dari kegagalan pasar.

Akibatnya, semua hajat hidup publik, termasuk BBM, dikelola dalam kacamata bisnis dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar sebagaimana dikukuhkan dalam UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Nahasnya, sebagian besar ladang minyak bumi malah dikelola pihak swasta, terutama asing.

Dengan demikian, dari pernyataan itu, dapat kita pahami bahwa mahal dan terus meningkatnya harga BBM bukan karena Indonesia kekurangan sumber daya minyak, tetapi terletak pada visi rezim dan tata kelola minyak yang kapitalistik.


Tata Kelola Islam Sesuai Syariat

Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang jumlahnya besar, seperti minyak bumi, merupakan harta milik umum sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim bersekutu dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud)

Pengelolaannya pun wajib dilakukan secara langsung oleh Khalifah sebagai kepala negara yang berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai, orang-orang berlindung di belakangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud)

Pengelolaan minyak bumi ini wajib dilakukan negara secara mandiri dan mendistribusikannya secara adil ke tengah masyarakat. Negara hadir memang untuk melindungi kepentingan umat dengan tidak mengambil keuntungan, kecuali biaya produksi yang layak. Kalaupun negara mengambil keuntungan, hasilnya dikembalikan lagi ke masyarakat dalam berbagai bentuk.

Dengan demikian, pemerintah tidak boleh menyerahkan pengelolaan minyak bumi kepada pihak swasta, apalagi asing. Harga BBM dapat dipastikan murah (bahkan gratis) dan mudah diakses seluruh rakyat. Hasil pengelolaan tersebut juga dapat diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, atau kebutuhan publik lainnya secara gratis. 

Sungguh, sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang bertakwa, yakni mereka yang menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. 

Wallahualam Bi Shawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar