Pendidikan Hak Rakyat, Tanggung Jawab Negara


Oleh : Venny Swandayani (Aktivis Dakwah)

Sejumlah kampus negeri menaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga berlipat-lipat. Bahkan ada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memberlakukan uang pangkal untuk masuk perkuliahan. Pasalnya, dengan diberlakukan peraturan ini banyak anak muda yang ingin kuliah di PTN akhirnya memupus harapan dan cita-citanya. Tak hanya itu peraturan tersebut dinilai membebani orang tua mahasiswa yang berpenghasilan menengah ke bawah.

Adapun kenaikan UKT ini tertuang dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang dilanjutkan dengan Keputusan Mendikbud Nomor 54/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, mengatakan kenaikan UKT hanya berlaku untuk mahasiswa baru bukan untuk seluruh mahasiswa. Menurut Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyebut pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier yang artinya tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.

Sekretaris Lembaga Pendidikan Tinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPT PBNU), M. Faishal Aminuddin, menyoroti kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat luas. Menurutnya,  kenaikan UKT akan tidak baik dalam pemenuhan tanggung jawab negara dalam mencerdaskan anak bangsa, dan untuk masyarakat yang kurang mampu akan sulit mengakses dan mengejar pendidikan di PTN yang mereka impikan.

Hal tersebut salah satu dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di tanah air. Pendidikan yang seharusnya diterima masyarakat secara gratis dan berkualitas nyatanya menjadi ajang transaksional. Pemerintah melalui kebijakannya telah membebaskan pihak perguruan tinggi untuk mendapatkan keuntungan secara mandiri dari pihak mahasiswa. Alhasil, pemerintah makin lepas tangan dalam kebutuhan pendidikan warganya. Meskipun pemerintah memberlakukan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi mahasiswa kurang mampu, tak lantas membuat para mahasiswa tersebut mudah menerima akses masuk perguruan tinggi, bahkan kerap salah sasaran. Masyarakat mampu secara ekonomi dialah yang mendapatkan KIP, sedangkan masyarakat menegah ke bawah mati-matian berusaha membayar UKT tanpa bantuan apapun dari pemerintah.

Abainya negara terhadap pendidikan menjadikan sistem pendidikan semakin hilang arah. Penentuan biaya APBN untuk pendidikan yang hanya 20% tidak sanggup membiayai operasional pendidikan secara keseluruhan. Maka nasib para anak bangsa akan buruk dengan tata kelola negara yang lebih mengedepankan para pengusaha atau para pemilik modal, ketimbang nasib rakyatnya yang dilanda kebodohan dan kemiskinan. Inilah sepertinya yang diinginkan kaum imperialis Barat melalui kebijakan negara.

Jika sistem kapitalisme tidak mampu mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan dapat mudah diakses, berbeda halnya dalam ajaran Islam. Menuntut ilmu merupakan bagian yang termasuk dalam hal ibadah, karena Islam menganggap mencari ilmu adalah sebagai kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap individu muslim. Dengan ilmu, seseorang akan berpikir cemerlang dan mendalam dalam menyikapi masalah kehidupan. Kewajiban menuntun ilmu ini tidak hanya ilmu agama saja, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan yang bersifat dunia (ilmu umum). Kewajiban meraih ilmu di antaranya ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw: "Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR Ibnu Majah)

Dengan begitu pendidikan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara sebagai hak seluruh rakyat, bukan kebutuhan tersier, melainkan pokok bahkan fardhu. 

Tidak hanya dalam segi menuntut ilmu agama. Dengan menuntut ilmu umum pun akan mencetak pakar sains dan teknologi untuk peradaban Islam.  Keberadaan para ahli di bidang ilmu umum seperti kedokteran, farmasi, kimia, nuklir, dsb. menjadi vital bagi umat. Jika jumlahnya belum mencukupi, maka berdosalah kaum muslimin secara keseluruhan.

Berbeda dalam negara di bawah kepemimpinan Islam dimana seluruh pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw, ketika beliau menjabat sebagai kepala negara Islam di Madinah. Pada saat itu tahanan perang badar diminta untuk mengajari kaum muslimin baca dan tulis sebagai tebusan mereka, tindakan yang diberikan beliau bukan semata-mata dari kebaikan beliau namun di dalamnya terdapat makna politis. Yakni, perhatian negara terhadap pendidikan.

Oleh karena itu penting bagi kaum muslimin memperjuangkan syariat Islam, karena hanya Islam satu-satunya sistem yang mampu menciptakan kehidupan yang sejahtera dalam aspek apapun. Sehingga para generasi bangsa akan berpartisipasi menjadi agen perubahan dalam mewujudkan peradaban gemilang dengan ilmu dan ketakwaannya.

Wallahu a'lam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar