Penistaan Agama Terus Terulang, Apa yang Kurang?


Oleh: Risma Choerunnisa, S.Pd.

Seperti tak ada habisnya, kasus penistaan agama kembali terulang di negeri ini. Kali ini seorang yang bernama Abuya Ghufron Al-Bantani atau disapa Abuya Mama Ghufron, mengaku seorang wali, bisa bahasa semut dan telah menulis 5000 kitab dengan bahasa Suryani menggemparkan jagat maya. Hal itu berawal dari tantangan publik untuk membuktikan kebenarannya telah menulis 500 kitab berbahasa Suryani tersebut. Bahasa Suryani itu sendiri yaitu Bahasa Suriah atau Classical Syriac dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa Suryani (Tvonenews.com, 13/6).

Peristiwa ini pun mendapat tangapan dari seorang aktivis Islam, Farid, yang megatakan bahwa ajaran yang dibawa Abuya Mama Ghufron ini adaalh ajaran sesat dan meresahkan masyarakat. Menurutnya, pihak pemerintah yang dalam hal ini Kemenag dan MUI harus segera menindaknya (Suaranasional.com, 19/6).

Meski kejadian tersebut sudah viral akan tetapi belum ada tindakan ataupun pernyataan apapaun dari pemerintah. Penyebab terus terulangnya penistaan agama seperti ini sejatinya karena tidak adanya sanksi tegas dan menjerakan sehingga tak mampu mencegah kejadian serupa. Seperti Pasal 156a KUHP yang memberikan ancaman hukuman hanya enam tahun penjara, jelas tak cukup membuat para pelaku penistaan agama tersebut jera. Umat pun terancam bahaya yang dapat merusak akidahnya.

Di sisi lain, hal serupa akan mudah terjadi, mengingat kebebasan berpendapat diakui dalam sistem hidup hari ini, yaitu sistem demokrasi sekuler. Sistem ini membebaskan masyarakat untuk mempelajari, memluk, hingga menyebarluaskan pemahaman yang salah. Akhirnya banyak masyarakat yang terjerumus dan salah dalam mengajarkan agama. Akibatnya penistaan agama dapat timbuh subur bak jamur di musim hujan atas nama kebebasan berpendapat dan berperilaku.

Selain itu, lemahnya pemahaman masyarakat tentang agama juga tak kalah kuat dalam menjerumuskan mereka pada ajaran yang salah. Hal ini didukung dengan kondisi masyarakat saat ini yang kebanyakan malas berpikir, inginnya hanya beribadah dengan cara yang menurut mereka mudah, sehingga mudah terpengaruh oleh ajaran yang salah. Maka tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi kondisi akidah masyarakat saat ini.

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna tentu memiliki cara untuk menjaga akidah masyarakat. Islam menjadikan negara sebagai penjaga akidah umat dan menetapkan semua perbuatan terikat hukum syara. Tidak ada kebebasan dalam berbuat dan berbicara.  Pelanggaran hukum syara adalah kemaksiatan, yang ada sanksi tegas dan menjerakan dari negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam.

Negara juga akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu membangun keimanan yang kuat dan melahirkan generasi yang berkepribadian islam yang kuat dan selalu menjaga kemuliaan Islam dan umatnya. Mereka juga akan memahami bahwa semua yang dilakukan haruslah bersumber pada hukum syara. Sehingga mereka hanya akan menyampaikan ajaran yang sesuai dengan Quran dan Sunnah. Jika ada hal-hal baru pun, mereka akan mudah menyaring dan membedakan mana yang sesuai sumber terpercaya (Quran dan Sunnah) atau tidak. Namun, semua itu hanya akan terwujud jika didukung oleh institusi negara yang menerpkan Islam secara Kaffah.

Wallahualam Bissawab..




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar