Suka Cita Menyambut Idul Adha dengan Ketaatan dan Ketundukan Terhadap Syariat Islam


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Alhamdulillah, kita telah memasuki bulan Dzulhijjah. Bulan penuh berkah, dimana di dalamnya terdapat hari raya Idul Adha, haji, dan kurban dengan segala bentuk peribadatannya. Maka tidak ada alasan untuk kita sebagai muslim tidak bersuka cita dalam mengisinya. 

Dalam salah satu hadis dijelaskan,
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ‌‌‏.‏ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ‏.‏ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‌‏إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Diriwayatkan dari sahabat Anas, ia berkata, ‘Sekali waktu Nabi Saw. datang ke Madinah, di sana penduduknya sedang bersuka ria selama dua hari. Lalu Nabi bertanya ‘Hari apakah ini (sehingga penduduk Madinah bersuka ria)?’. Mereka menjawab ‘Dulu semasa zaman jahiliah pada dua hari ini kami selalu bersuka ria.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT. telah menggantikannya dalam Islam dengan dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya kurban (Iduladha) dan hari raya fitri (Idulfitri),” (HR. Abu Dawud).

Apalagi nikmat Allah SWT. begitu berlimpah. Allah SWT. berfirman:
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ وَاَ نْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَ خْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّـكُمْ ۚ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الْـفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى الْبَحْرِ بِاَ مْرِهٖ ۚ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الْاَ نْهٰرَ 
وَسَخَّرَ لَـكُمُ الشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ دَآئِبَيْنِ ۚ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الَّيْلَ وَا لنَّهَا رَ 
وَاٰ تٰٮكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَ لْـتُمُوْهُ ۗ وَاِ نْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ اِنَّ الْاِ نْسَا نَ لَـظَلُوْمٌ كَفَّا رٌ
وَاِ ذْ قَا لَ اِبْرٰهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ اٰمِنًا وَّا جْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّـعْبُدَ الْاَ صْنَا مَ 
"Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala." (QS. Ibrahim: 32-35).

Allah SWT. telah menciptakan dunia dan isinya untuk digunakan oleh manusia sebagai sarana pencapaian tujuan hidup paling utama, yakni meraih ridha-Nya. Apalagi tidak hanya Mekah yang menjadi negeri aman, negeri kita juga termasuk negeri yang aman meskipun tidak dipungkiri begitu banyak ketidaknyamanan dan kemaksiatan di dalamnya. Tetapi segala penderitaan yang dialami masyarakat Indonesia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan saudara-saudara kita di Gaza. 

Begitu banyak keutamaan ibadah di bulan Dzulhijjah. Diantaranya ibadah haji. Baginda Rasulullah Saw. pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” Beliau kembali ditanya, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab lagi, “Haji mabrur.” (Muttafaq ‘alaih). Tidak bisa dipungkiri, karena tidak sembarangan orang bisa melaksanakan ibadah haji, dan tidak semua yang melaksanakan ibadah haji dapat meraih haji mabrur. Perlu kekuatan mental, fisik, dan akidah. Juga membutuhkan banyak pengorbanan harta, tenaga, waktu, dan pikiran. 

Melalui ibadah haji pula, umat Islam diingatkan tentang posisi hakikinya dalam proses penciptaan, yakni untuk menjalankan misi penghambaan dan misi menebar kebaikan dalam kehidupan. Kesadaran atas posisi inilah yang akan menghadirkan kembali keinginan untuk melakukan ketaatan total, sekaligus rasa tanggung jawab keumatan yang dalam sejarah telah mengantarkan mereka sebagai pemimpin peradaban.

Dahulu, ketika jaman penjajahan, orang yang melaksanakan ibadah haji begitu ditakuti oleh penjajah. Bahkan untuk memudahkan dalam mengidentifikasi, mereka sengaja memberi gelar kehormatan "haji". Semua gerak-gerik haji senantiasa diawasi dan dimata-matai. Mereka takut haji-haji Indonesia membawa semangat persatuan dan mengobarkan perlawanan untuk mengusir penjajah. Karena dulu dalam rangkaian ibadah haji tidak hanya ibadah ritual atau sekedar wisata religi seperti saat ini, tetapi membawa misi pengembanan dakwah Islam serta upaya penerapan syariat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia yang saat itu masih bernama Nusantara. 

Dan ketika Indonesia telah terbentuk dengan hadiah kemerdekaannya, diterapkan pula aturan cuti yang lebih lama dari cuti Idul Fitri. Hal ini selaras dengan rangkaian kegiatan ketika Idul Adha yang lebih banyak dibandingkan dengan Idul Fitri, yaitu adanya hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah) yang pada hari-hari itu kita dianjurkan untuk terus menggemakan takbir dan  melaksanakan kurban. Namun seiring dengan berjalannya waktu, cuti Idul Adha menjadi lebih singkat, sementara cuti Idul Fitri menjadi lebih panjang. 

Adapun kurban. Begitu banyak keutamaan pula. Memang benarlah janji Allah SWT. bahwa barang siapa menginginkan keuntungan maka berjualbelilah dengan Allah SWT. Orang yang berkurban sebenarnya sedang berinvestasi untuk akhirat karena pahala yang dijanjikan Allah SWT. begitu besar dan berlipat-lipat. Bahkan pahalanya dihitung sebanyak helai bulu bintang kurban. 

Lantas bagaimana dengan yang tidak melaksanakan haji dan kurban? Apakah mendapatkan keutamaan juga? Islam adalah agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam. Allah SWT. tidak menginginkan hamba-Nya dalam kesusahan. Begitupun dalam bentuk peribadatan. Ibadah haji dan kurban diperuntukkan hanya bagi muslim yang mampu. Adapun yang tidak mampu, maka tidak ada kewajiban baginya dan tidak ada dosa saat belum dapat melaksanakannya. Allah SWT. Maha Pengasih juga Maha Penyayang telah menyediakan amalan yang setara dengan pahala haji dan kurban. 

Ibadah yang setara dengan haji diantaranya adalah shalat berjamaah lima waktu di masjid dan sholat dhuha, zikir setelah sholat Subuh berjamaah dan sholat dua rakaat, pergi ke masjid untuk menuntut ilmu dan mencari kebaikan, memenuhi kebutuhan seorang muslim, dan berbakti kepada orang tua. 

Adapun ibadah yang setara dengan kurban diantaranya Tasbih membaca takbir, tahmid, dan tasbih, memperbanyak dzikir, melakukan amalan-amalan shalih, melaksanakan shalat Idul Adha dan Sunnahnya, menjalankan sunnah-sunnah di bulan Dzulhijjah. 

Dan yang terpenting diantara itu semua adalah pelaksanaan peribadatan secara menyeluruh bukan hanya ibadah ritual semata. Dua hal penting yang harus segera kita laksanakan tanpa harus menunggu mampu atau kuasa:di antaranya, pertama ketaatan dan ketundukan terhadap syariat Islam. Kedua, umat Islam adalah umat yang satu dan harus bersatu. Dengan menjalankan dua hal tersebut, maka berkah bulan Dzulhijjah dan bulan-bulan lainnya akan dapat dirasakan oleh seluruh alam. 

Ketaatan dan ketundukan dalam syariat yang diajarkan Rasulullah inilah yang harus dimiliki kaum muslim. Bukan hanya dalam ibadah haji, shalat, dan ibadah lainnya. Namun dalam semua aspek kehidupan yang diajarkan Rasulullah, seperti soal muamalah, baik dalam perkara muamalah amaliyah, seperti hubungan yang mengatur persoalan harta dan pernikahan, maupun dalam persoalan imarah, kepemimpinan, dan kenegaraan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah Al-Hasyr: 7, yang artinya: "...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya."

Melalui kesadaran inilah yang akan menggerakkan kita untuk beribadah lebih dan lebih lagi dalam penerapan Islam kaffah. Mari bersama-sama mulai saat ini kita mengupayakannya dengan segenap jiwa dan raga kita sebagai bentuk suka cita kita menyambut Idul Adha. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar