Tabungan Perumahan Rakyat, Kebijakan Zalim yang Menyengsarakan


Oleh : Ine Wulansari (Pendidik Generasi)

Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Meskipun menuai polemik, tetapi Presiden Joko Widodo telah meneken PP (Peraturan Pemerintah) No. 21/2024 yang mengatur tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Perumahan Rakyat. Nantinya para pekerja seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas (freelancer) akan dikenakan potongan gaji sebesar 3 persen sebagai iuran Tapera, dengan rinciannya 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen menjadi tanggung jawab perusahaan. Kewajiban iuran tersebut diyakini akan menambah beban bagi masyarakat terutama kelas menengah di Indonesia. Sebab deretan potongan gaji yang diterima karyawan semakin banyak. 

Diketahui, potongan gaji Tapera akan dikelola oleh BP (Badan Perusahaan) Tapera yang bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan umum serta strategi dalam pengelolaan Tapera, melakukan evaluasi atas pengelolaan Tapera, termasuk melakukan pengawasan dan pelaksanaan tugas BP Tapera serta menyampaikan laporan hasil evaluasi atas pengelolaan Tapera kepada presiden. (sindonews.com, 30 Mei 2024)

Dengan adanya PP tersebut, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyoroti, hitungan iuran Tapera sebesar 3 persen menurutnya tidak masuk akal. Ia pun mempertanyakan kejelasan terkait dengan program ini, terutama tentang kepastian peserta Tapera apakah secara otomatis akan mendapatkan rumah setelah begabung. Justru Tapera membebani rakyat, padahal telah jelas dalam UUD 1945 tanggung jawab pemerintah adalah menyediakan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, posisinya hanya sebagai pengumpul iuran. (sindonews.com, 29 Mei 2024)


Program Zalim Menyengsarakan Rakyat

Bahasan Tapera sebenarnya sudah ada sejak penerbitan PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024. Meski Sebagian besar isinya tidak banyak berubah, tetap saja memangkas 3 persen dari gaji pegawai untuk tabungan perumahan ini yang jelas-jelas membebani rakyat.

Maksud diadakan Tapera ini menurut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan setiap orang agar hidup bisa sejahtera, memiliki tempat tinggal yang layak, dan mendapat lingkungan yang baik serta memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal. Namun, berbeda denga pemerintah, banyak pihak terutama pekerja sangat menentang program ini. Sangat ditentang oleh banyak pihak terutama ada sejumlah alasan yang dikemukakan, di antaranya:  pertama, memberatkan pekerja jika kembali ada potongan. Bukan hanya Tapera, gaji pekerja sebenarnya sudah dipotong dengan beragam program lainnya, seperti pajak penghasilan (5-35%), jaminan hari tua (2-3,7%), jaminan pensiun (1%+2% perusahaan), jaminan kematian (0,3%), BPJS Kesehatan (1%+4% perusahaan), dan iuran Tapera (2,5% dan 0,5% oleh pemberi kerja). Dapat dibayangkan beratnya hidup dengan banyaknya pemangkasan gaji pekerja, belum lagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang harganya semakin mencekik.

Kedua, tabungan perumahan rakyat ini berpotensi menjadi lahan baru korupsi. Padahal sudah banyak kejadian penggelapan dana rakyat, seperti BPJS Kesehatan, korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen, yang semuanya ini tentu sangat merugikan rakyat. Seharusnya negara belajar, bukan membuka peluang dan memunculkan persoalan baru. Dengan simpanan yang begitu panjang, siapa yang dapat menjamin dana tersebut akan aman.

Ketiga, kepedulian dan rasa simpati negara kepada rakyat sangat minim. Namanya menabung, seharusnya tidak ada paksaan melainkan sesuai keinginan. Namun faktanya, hal ini justru akan dipotong secara langsung dari gaji pekerja sekalipun penuh dengan keterpaksaan. Sedangkan negara sendiri sangat jauh dari pelayanan yang optimal kepada rakyat. 

Inilah posisi negara dalam sistem kapitalisme, bukan memberikan pelayanan dan pengayoman, melainkan memalak rakyat sekehendak hati. Sistem yang dijalankan negara tegak di atas landasan paradigma yang rusak yang mendasari kehidupan hari ini, menafikan halal dan haram, bahkan menggaungkan nilai-nilai materil dan kemanfaatan. Dengan paradigma seperti ini, justru posisi rakyatlah yang terus-menerus dirugikan karena lepas dari tanggung jawab negara sebagai pemenuh seluruh kebutuhan dasar baik sandang, pangan, dan papan.


Kacamata Islam

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Sudah semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara, tanpa adanya kompensasi, iuran wajib, semuanya disediakan negara. Dalam Islam, pemimpin hadir memberi pelayanan terbaik dan semaksimal mungkin. Tugas negara adalah mengurus dan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan rakyat baik sandang, pangan, dan papan, bukan memalak rakyat seperti yang terjadi dalam sistem yang diterapkan saat ini. Rasulullah saw bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyat.” (HR. Bukhari).

Penguasa tidak boleh menyimpang dari hukum syara karena alasan kemaslahatan tertentu, seperti memungut harta rakyat terus-menerus dengan alibi untuk gotong royong. Penguasa pun tidak diperbolehkan mewajibkan sesuatu yang mubah, seperti mewajibkan menabung dan akan dikenai sanksi jika tidak melakukannya. Pemimpin sebagai representasi negara dalam sistem Islam akan berupaya dengan optimal dalam melayani rakyat. 

Mekanisme yang dilakukan negara dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyat di antaranya, pertama, negara menciptakan kondisi ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki tempat tinggal. Kedua, negara menutup celah praktik ribawi dalam jual beli angsuran perumahan. Tugas negara juga memahamkan rakyat bahwa riba merupakan perbuatan dosa besar yang harus ditinggalkan. 

Ketiga, negara mengelola lahan secara mandiri dan dipergunakan salah satunya untuk  menyediakan perumahan yang layak huni bagi yang belum mempunyai rumah sendiri. Penyediaannya pun boleh bekerjasama dengan pihak lain, asalkan tetap ada dalam pengawasan negara. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan penguasaan lahan oleh segelintir orang atau para korporasi. Sebab syariah Islam mengatur bahwa lahan jika selama tiga tahun berturut-turut dibiarkan oleh pemiliknya, maka akan disita negara untuk diberikan pada orang yang sanggup mengelolanya.

Dengan demikian, Islam mengatur secara rinci tugas dan tanggung jawab negara dalam memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Begitu juga dengan pemenuhan rumah melalui mekanisme yang dilandaskan pada syariat Islam. Sehingga segala bentuk persoalan terkait perumahan akan tersolusikan secara nyata tanpa ada satupun pihak yang terzalimi. Karena negara menerapkan ideologi sahih, yakni Islam yang akan menjamin keadilan bagi seluruh rakyat.

Wallahua’lam bish shawab. 






Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar