Wifepreneur, Benarkah Jawaban Atas Kemandirian Ekonomi?


Oleh: Nindy

PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) Lati, membuktikan keseriusannya dalam membangun iklim ekonomi mandiri di Bumi Batiwakkal. Baru-baru ini, pihaknya resmi meluncurkan gerai untuk Wifepreneur BUMA, di Lantai 2, Bandara Kalimarau. Peluncuran Outlet Wifepreneur BUMA disinyalir merupakan jawaban atas kemandirian ekonomi kaum perempuan. Dijelaskan, tujuan dari didorongnya bisnis mandiri para istri karyawan tersebut, agar para perempuan tidak hanya bergantung pada pendapatan yang dihasilkan suami yang bekerja di tambang. Sebab, aktivitas pertambangan di Berau ada masanya. Sehingga usaha kecil yang saat ini digeluti dapat menjadi penopang ekonomi keluarga dalam jangka waktu yang lama. Istri dapat diberdayakan perannya dalam meningkatkan taraf ekonomi kreatif keluarga (berauterkini.co.id, 15/6/24). Lantas, benarkah “wifepreneur” ini merupakan jawaban atas kemandirian ekonomi?

UN Women, dalam situsnya yang dikutip pada Senin (4/3/24), menyatakan, dunia membutuhkan tambahan dana 360 miliar dollar AS per tahun, terutama bagi negara berkembang, untuk mencapai kesetaraan gender sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. UN Women menyampaikan, menghilangkan kesenjangan gender dalam lapangan kerja dapat meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita sebesar 20 persen. Hal yang menurut UN Women bisa mempercepat pemberdayaan ekonomi perempuan, di antaranya, adalah menghubungkan perempuan dengan sumber daya keuangan. (kompas.id, 4/3/24)

Tak heran, berbagai usaha yang menghubungkan antara perempuan dengan sumber daya keuangan sejatinya ditujukan untuk meningkatkan perekonomian. Banyak kaum perempuan di negeri ini yang menyambut baik berbagai program pemberdayaan ekonomi termasuk digerakkannya program UMKM. Mereka menilai program itu adalah jawaban atas kesulitan ekonomi yang mungkin akan atau sedang dihadapi. Berkaca pada peluncuran outlet wifepreneur BUMA, yang notabene merupakan perempuan-perempuan dari keluarga mampu khususnya perempuan dari isteri pekerja tambang pun ikut diberdayakan. 

Dalam tatatan hidup era kapitalisme saat ini, perempuan dijadikan alat untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Mereka dinilai berdaya ketika mampu menghasilkan uang. Perempuan bekerja adalah perempuan berdaya. Begitulah kapitalisme memandang perempuan sebagai lumbung cuan. Hal yang sangat perlu diwaspadai, dorongan kondisi ini justru akan mengalihkan kesibukan perempuan dalam kegiatan mencari uang dibandingkan menjalankan kewajiban dalam rumah tangga. Tenaganya diperas, perannya sebagai ibu dipangkas. Sang ayah bekerja, sang ibu pun juga sama-sama dilejitkan potensinya untuk berpartisipasi dalam pergerakan roda ekonomi. 

Pola pikir pemberdayaan perempuan ala kapitalisme meniscayakan teralihkannya peran utama perempuan sebagai ummu wa robbatul bayt (ibu sekaligus pengurus rumah tangga). Potensi keibuan dan pengabdian perempuan dalam rumah tangga dapat terganggu. Kesibukan perempuan di luar untuk bekerja akan mengurangi porsi perhatian pada suami. Begitu pun anak, kurangnya kasih sayang dan pendidikan dari orang tua, khususnya ibu, menyebabkan anak mencari pelarian, seperti gadget, salah pergaulan, dsb. Sedangkan peran Negara yang ada justru memberikan fasilitas kepada perempuan untuk meningkatkan perekonomian seperti kemunculan UMKM. Tanpa disadari, semua itu bisa mengeluarkan perempuan dari fitrahnya.

Sebenarnya, tidak salah perempuan itu berdaya. Namun, “berdaya” yang diartikan disini harus benar sesuai dengan fitrahnya manusia. Bukan dengan artian “berdaya” dalam kacamata kapitalisme yang justru menumbalkan peran istri serta ibu. Pemberdayaan perempuan dalam Islam bukanlah dengan menjadikan mereka produktif menghasilkan materi, melainkan menjadikan para ibu optimal dalam seluruh perannya yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunah. 

Islam memiliki aturan yang terperinci tentang peran serta perempuan dan kiprahnya dalam masyarakat. Perempuan boleh bekerja dan aktif di masyarakat asalkan tidak menyalahi kewajiban utamanya, yaitu sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Perempuan telah dititipkan Rahim oleh Allah SWT untuk mengandung dan melahirkan seorang anak, maka pengasuhan anak adalah perkara yang wajib baginya. Ibu juga harus menciptakan rumah agar nyaman dan kondusif bagi penghuninya untuk beribadah dengan optimal. Pada bahu ibu, seluruh anggota keluarga mendapatkan aliran kasih sayang yang berlimpah. Maka, sejatinya peran seorang ibu bukan kaleng-kaleng. Di tangan mereka, baik buruknya generasi terbentuk atas pola asuh dan pendidikan yang diberikan. 

Pemberdayaan perempuan dalam Islam juga mengoptimalkan potensi dan peran publiknya untuk kemaslahatan umat, yaitu dalam urusan dakwah, amar makruf nahi mungkar, dan membina umat dengan tsaqafah Islam. Dalam Islam, kewajiban nafkah hanya dibebankan kepada laki-laki. Oleh karenanya, negara akan memberikan kesempatan dan lapangan kerja kepada laki-laki. Negara juga akan memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan maksimal sehingga perempuan tidak perlu banting tulang mencari tambahan penghasilan. 

Pemberdayaan ibu yang sesuai dengan syariat membutuhkan sebuah sistem kehidupan yang memuliakan perannya sehingga jauh dari eksploitasi atas nama pemberdayaan ekonomi. Mereka akan fokus pada amanah utamanya dan tidak terbebani kewajiban mencari nafkah. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan yang mampu mewujudkan itu semua. Wallahu a’lam.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar