Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Beberapa hari lalu, umat muslim telah merayakan tahun baru 1446 H dengan semarak. Peringatan tahun ini mengambil tema, "Melalui Moment Tahun Baru Hijriyah, Mari Menjalin Persaudaraan dan Meningkatkan Iman". Berbagai kegiatan pun sudah dilaksanakan, mulai dari pawai obor, istighotsah, parade shalawat, doa bersama, pembagian santunan bagi fakir miskin, pembagian insentif bagi guru ngaji non PNS, lomba berjanji, tabligh akbar, dan lain-lain.
Sungguh terharu memang. Tapi akankah cita-cita terjalinnya persaudaraan demi meningkatkan iman itu dapat tercapai? Secara, kaum muslim saat ini tersekat oleh sukuisme, dan nasionalisme. Jangankan peduli pada muslim beda negara, beda propinsi, beda kabupaten, dengan muslim yang rumahnya tetanggaan pun kadang tidak peduli dengan alasan bukan kerabat dekat/saudara kandung.
Entah persaudaraan macam apa yang dimaksud. Apalagi dengan semakin canggihnya teknologi. Handphone keberadaannya bisa mendekatkan yang jauh juga menjauhkan yang dekat. Say hello hanya diucapkan kepada yang jauh, sementara yang dekat, orang yang berada serumah, sekedar basa-basi menyapa pun tidak. Terlalu asyik dengan teman di dunia maya hingga lupa teman di dunia nyata.
Lunturnya jiwa sosial terkikis oleh faham individualis. Dengan dalih demi menjunjung HAM, padahal kenyataannya memang "I don't care!", "Bukan urusanku!", "Yang penting bukan keluargaku yang susah, yang penting bukan menimpa saudaraku, terserah yang selainnya mau berbuat salah kek, mau berbuat jahat kek!". Tidak ada lagi keinginan untuk nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Tengok saja, betapa banyak kemungkaran yang mendapat pengabaian bahkan sudah dianggap biasa. Perzinaan mulai dari yang mendekati sampai terjerumus. Campur-baur laki-laki dan perempuan malah diacungi jempol dan dianggap kemajuan sebagai keberhasilan project barat dengan senjata kesetaraan gendernya. Pernikahan dipersulit dengan berbagai aturan batasan usia calon pengantin, sementara pacaran dilegalkan bahkan difasilitasi. Berbagai tempat hiburan dan wisata sengaja dibangun agar pacaran makin happy.
Perjudian begitu membumi dari kota hingga pelosok desa, dari judi online hingga offline bahkan banyak yang berakhir dengan jeratan pinjaman online kemudian menyebar pada kemaksiatan lain, kekerasan bahkan pembunuhan. Yang lebih miris, pelakunya bukan hanya masyarakat awam karena ketidaktahuan atau terlilit utang dan biaya hidup, tetapi para wakil rakyat bergaji besar pun malah ikut terlibat, jumlahnya pun ribuan.
Hari ini, kita hidup dalam bayang-bayang rezim yang menindas: pajak tinggi, korupsi menggurita, dan aset bangsa tergadai. Rakyat dipaksa hidup dalam ketakutan dan kemiskinan. Kejahatan makin merajalela, bahkan tingkat kesadisannya terus meningkat. Pembunuhan disertai mutilasi, pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri, guru ngaji melakukan sodomi, dan sebagainya. Para pejabat yang korupsi, menerima gratifikasi, memamerkan kehidupan mewah di media sosial dari harta haramnya, juga terus menjadi fenomena. Belum lagi kejahatan yang terstruktur, dilakukan secara berjemaah dan merugikan negara dalam jumlah yang luar biasa. Akibat kejahatan seperti ini, rakyat menjadi korban. Kehidupan mereka makin sulit, pengangguran bertambah, iklim usaha juga meredup.
Jelas ini bukan kesalahan individu, bukan salah tempat (kota/desa), bukan perkara waktu pula. Kekacauan ini terjadi sistematis. Sistem yang dipakai saat ini menggiring pemujanya terhadap berbagai situasi diluar nalar dan jauh dari aturan sejati. Karena sistem ini dibuat oleh makhluk lemah penuh kekurangan. Sistem kapitalis telah terbukti gagal mensejahterakan, gagal menjalin persaudaraan, apalagi meningkatkan iman. Jangan berharap demikian.
Memang benar, seharusnya melalui moment Tahun Baru Hijriah dapat menjalin persaudaraan untuk kemudian dapat meningkatkan keimanan. Hijrah selama ini dimaknai dengan berpindah dari kondisi yang buruk ke kondisi yang lebih baik atau dari maksiat menuju taat. Banyak di antara kaum muslim yang telah menjalankan hijrah dalam definisi ini. Namun, seiring berlalunya waktu, tidak kita lihat adanya pengaruh yang signifikan dari hijrahnya individu-individu menjadi pribadi yang lebih baik. Kita justru melihat kerusakan di masyarakat makin bertambah. Dalam keadaan seperti ini, mereka yang berhijrah terkadang juga sulit untuk istikamah. Oleh karenanya, hijrah secara individu itu baik hanya untuk individu, tetapi tidak akan mampu memperbaiki kondisi masyarakat secara keseluruhan.
Bila ingin hijrah total, maka perbaikannya pun harus total. Terutama mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam. Sebab Islam yang diterapkan oleh sistem inilah yang menjadikan setiap individu mampu istikamah dalam hihijrah sebagaimana hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat hingga kemudian makin meluas pengaruhnya sampai ke seluruh jazirah Arab. Lantas menyeberangi lautan sampai ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَا لَّذِيْنَ هَا جَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰٓئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 218).
Sudah saatnya umat muslim bersatu karena sesungguhnya sesama muslim adalah saudara tanpa tersekat oleh selainnya karena semua terikat oleh satu ikatan aqidah yang sama. Sebagaimana Nabi saw. melakukannya, maka kita umat Islam pun harus berjalan mengikuti langkah beliau saw. tanpa menyimpang sehelai rambut pun. Sebagaimana beliau saw. dan para sahabatnya bersabar, demikianlah kita mesti bersabar. Sebagaimana beliau saw. dan para sahabatnya yang mulia berkorban, kita berkorban, dan kita mengorbankan apa yang paling berharga, baik nyawa, waktu, pikiran, maupun harta, demi suatu tujuan yang kita sadari sangat krusial, yaitu diterapkannya hukum-hukum Allah secara riil oleh Khilafah Islam.Hanya dengan penerapan sistem Islam, maka semua itu dapat teraih sempurna. Maukah kita berganti sistem?
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar